Disertasi_S3 P0602211023_Rodiah Nurbaya Sari
Date
2025Author
Sari, Rodiah Nurbaya
Marimin
Uju
Riani, Etty
Sukoraharjo, Sri Suryo
Metadata
Show full item recordAbstract
Indonesia sejak tahun 2016 telah berkomitmen dalam implementasi Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/Sustainable Development Goals (SDGs),
khususnya indikator 14 yang terkait dengan pelestarian ekosistem laut. Komoditas
rajungan (Portunus pelagicus) menjadi salah satu andalan ekspor Indonesia, dengan
nilai ekspor mencapai USD 513,35 juta pada tahun 2024. Komoditas ini menempati
peringkat keempat terbesar dalam ekspor perikanan tangkap.
Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 712,
yang mencakup perairan Laut Jawa, menyumbang 46,6% dari total produksi
rajungan nasional. Kabupaten Rembang di Jawa Tengah merupakan salah satu
daerah potensial penghasil rajungan. Kabupaten ini memiliki Pelabuhan Perikanan
Karanganyar dan sebelas Tempat Pelelangan Ikan (TPI) aktif yang tersebar di lima
kecamatan. Alat tangkap yang digunakan berupa bubu, dan terdapat lima Unit
Pengolahan Ikan (UPI) berorientasi ekspor. Kondisi ini menunjukkan bahwa
Rembang memiliki potensi besar dalam pengembangan agroindustri rajungan.
Pengembangan ekspor rajungan di Rembang menghadapi sejumlah
tantangan. Masih rendahnya pemahaman nelayan terhadap praktik penangkapan
yang ramah lingkungan dan pencatatan logbook menjadi salah satu kendala utama.
Kapasitas kelembagaan juga masih terbatas. Standar mutu pascapanen belum
optimal, serta daya jangkau nelayan terbatas karena ukuran kapal yang kecil (< 3
GT), sehingga pengelolaan berbasis kelestarian sangat diperlukan untuk mencegah
eksploitasi yang berlebihan.
Penelitian ini dilakukan selama periode Maret 2023 hingga April 2024.
Tujuannya adalah mengevaluasi manajemen agroindustri rajungan, menganalisis
peran stakeholder yang terlibat dalam agroindustri rajungan, menganalisis mutu
rajungan, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan, dan
merumuskan strategi yang dapat diadopsi oleh semua stakeholder yang terlibat
dalam agroindustri rajungan. Kebaruan penelitian ini terletak pada sistem
manajemen agroindustri rajungan yang telah diterapkan di Kabupaten Rembang,
meliputi informasi kondisi penangkapan rajungan menggunakan bubu saat ini,
peran pemangku kepentingan, dan mutu (fisikokimia dan mikrobiologi) rajungan
secara terintegrasi dari penangkapan sampai pascapanen, kajian dampak dari sistem
yang ada terhadap keberlanjutan ekologi rajungan dan ekonomi nelayan penangkap
rajungan, sehingga dapat menjamin adanya keseimbangan antara produksi dan
konservasi, dan skenario kebijakan dalam pengelolaan sumber daya perikanan
rajungan berkelanjutan dengan alat tangkap bubu di Kabupaten Rembang, Jawa
Tengah.
Penangkapan rajungan di Rembang umumnya menggunakan kapal kecil (< 3
GT), dengan lama melaut yang bervariasi antara satu, empat, hingga delapan hari.
Hasil tangkapan berkisar antara 3-140 kg, tergantung dari durasi trip. Lokasi
penangkapan dicatat menggunakan teknologi GPS dan dipetakan dengan ArcGIS
online. Hasil pemetaan menunjukkan bahwa sebagian aktivitas penangkapan telah
melewati batas 12 mil laut, yang termasuk wilayah kewenangan pemerintah pusat.
v
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama Asosiasi Pengelolaan
Rajungan Indonesia (APRI) menjadi aktor kunci dalam pengelolaan agroindustri
rajungan nasional. Tujuan utama yang diusung adalah tercapainya SDGs 14.
Keberhasilan pengelolaan rajungan sangat bergantung pada kerja sama antara
berbagai pihak, termasuk nelayan, pengepul, miniplant, UPI pengekspor, serta
pemerintah pusat dan daerah.
Sisi mutu, daging rajungan yang diolah di miniplants menunjukkan kualitas
yang lebih baik dibanding hasil olahan rumah tangga nelayan. Nilai TVB-N pada
semua sampel masih berada di bawah batas maksimum standar nasional (< 30
mgN/100g), yang menunjukkan produk masih layak dikonsumsi. Namun, nilai
Total Plate Count (TPC) dari daging rajungan yang dikupas, baik di miniplants
maupun skala rumah tangga nelayan, melebihi ambang batas aman. Hal ini
menunjukkan perlunya peningkatan sanitasi dan higienitas dalam proses
penanganan dan pengolahan. Secara umum, mutu fisikokimia dan mikrobiologi
rajungan asal Rembang masih tergolong baik.
Analisis keberlanjutan dilakukan dengan pendekatan lima dimensi: ekologi,
ekonomi, teknologi, sosial, dan etik dengan nilai stress dan RSQ/R2 yaitu antara
10,0-18,9% dan 96,8-99,1%. Hasil analisis menunjukkan skor berkisar antara 65-
73 dengan kategori sebagai “cukup atau relatif berkelanjutan”. Ke depannya agar
dapat bertahan atau meningkatkan status keberlanjutan tersebut harus tetap
didukung oleh pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan semua stake holder yang
terlibat dalam pengelolaan yang ada.
Model kebijakan dibangun menggunakan pendekatan sistem dinamik dan
berbagai skenario pengelolaan diuji. Hasil simulasi menunjukkan bahwa
pengurangan frekuensi nelayan melaut, peningkatan nilai SPR, dan pengendalian
fraksi tangkapan rajungan sesuai ketentuan pemerintah dapat menjaga
keberlanjutan stok rajungan serta meningkatkan pendapatan nelayan. Skenario
moderat yang menekankan pada dilibatkannya aktor lokal dan perbaikan tata kelola
menunjukkan hasil terbaik dalam jangka panjang, dengan demikian, sinergi antara
pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat lokal merupakan kunci keberhasilan
implementasi pengelolaan rajungan berkelanjutan di Kabupaten Rembang.
