MODEL JURNALISME DAMAI DALAM PEMBERITAAN KONFLIK LAHAN KOMUNITAS ADAT SUNDA WIWITAN : ANALISIS AGENDA-SETTING MEDIA UNTUK KOMUNIKASI PEMBANGUNAN INKLUSIF

Abstract

Konflik sering kali menjadi faktor utama dalam menentukan apakah suatu peristiwa layak diberitakan di media massa. Isu-isu yang melibatkan konflik cenderung mendapatkan lebih banyak perhatian dibandingkan dengan topik yang menekankan harmoni atau perdamaian. Dalam konteks peliputan berita mengenai isu-isu suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA), konflik tampak mendominasi berita yang dipublikasikan, terutama di media siber. Media siber cenderung memberikan liputan yang lebih luas untuk berita-berita yang berkaitan dengan perselisihan, benturan kepentingan, dan kontroversi antar kelompok. Berita yang menyoroti upaya menuju perdamaian, dialog antar kelompok, atau harmoni sosial lebih jarang ditemukan di ruang publik digital. Konflik lahan yang melibatkan komunitas adat Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, telah mendapat perhatian luas di media siber. Media siber, baik nasional maupun lokal, secara konsisten meliput sengketa terkait pembangunan makam leluhur Sunda Wiwitan serta konflik atas lahan dan rumah adat mereka. Konflik ini sering kali menjadi topik yang menarik bagi media digital di Indonesia, karena mencerminkan isu yang lebih besar terkait hak-hak tanah adat dan upaya mempertahankan warisan budaya oleh komunitas lokal. Liputan yang berfokus pada konflik ini memperlihatkan bagaimana media cenderung menyoroti aspek-aspek perselisihan yang terjadi antara masyarakat adat dan pihak-pihak yang berkonflik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemberitaan media siber, baik internasional, nasional, maupun lokal, terkait konflik lahan yang melibatkan komunitas adat Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Fokus utama penelitian ini adalah untuk memahami bagaimana konflik tersebut diberitakan di berbagai tingkat media dan bagaimana perbedaan dalam framing isu tersebut antara media yang berbeda. Selain itu, penelitian ini juga berupaya untuk menggali lebih dalam peran jurnalis dan narasumber dalam menyampaikan isu tersebut kepada publik, termasuk bagaimana mereka mempengaruhi narasi dan perspektif yang diambil dalam pemberitaan. Melalui pendekatan ini, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang komprehensif mengenai bagaimana media mengkonstruksi pemberitaan tentang konflik lahan adat, serta mengeksplorasi dinamika antara jurnalis dan narasumber dalam membentuk wacana publik terkait hak-hak komunitas adat Sunda Wiwitan. Penelitian ini mengunakan metode gabungan (mix method) yang mengombinasikan analisis isi (content analysis) terhadap berita-berita terkait konflik lahan Sunda Wiwitan dan wawancara mendalam serta mengadakan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) dengan melibatkan jurnalis serta narasumber terkait. Pendekatan ini membuat peneliti untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai bagaimana media membentuk narasi konflik melalui teori agenda-setting dan framing. Selain itu, penelitian ini

mengeksplorasi bagaimana prinsip-prinsip jurnalisme damai dapat diterapkan dalam peliputan konflik tersebut, dengan tujuan untuk mengurangi ketegangan dan mempromosikan resolusi yang lebih damai serta adil bagi semua pihak yang terlibat. Penelitian ini menemukan adanya keterkaitan yang erat antara jurnalisme damai dengan teori agenda-setting dan framing dalam membentuk opini serta persepsi publik melalui media. Dalam penerapan jurnalisme damai, media memiliki peran penting dan tanggung jawab untuk melaporkan konflik dengan pendekatan yang mendukung perdamaian, yakni dengan mempromosikan pemahaman, dialog, serta solusi yang konstruktif. Hal ini menunjukkan bahwa cara media menyajikan berita tidak hanya mempengaruhi pandangan masyarakat, tetapi juga dapat berkontribusi dalam menciptakan suasana yang kondusif untuk penyelesaian konflik secara damai dan berkelanjutan. Dalam kasus konflik lahan komunitas adat Sunda Wiwitan, media memainkan peran krusial dalam menetapkan agenda dan membentuk narasi konflik. Ini dilakukan dengan memfokuskan pada dampak konflik, solusi potensial, dan perspektif komunitas adat. Penekanan diberikan pada verifikasi informasi dan eksplorasi solusi yang berorientasi pada perdamaian. Dengan demikian, media siber, baik lokal maupun nasional, menunjukkan komitmen terhadap jurnalisme yang berkualitas dan berorientasi pada solusi, berkontribusi pada pembentukan persepsi publik yang lebih positif dan konstruktif terhadap konflik yang terjadi. Penelitian ini memberikan beberapa saran penting bagi berbagai pihak. Bagi media dan jurnalis, disarankan untuk meningkatkan kesadaran dan pelatihan tentang prinsip-prinsip jurnalisme damai, yang mencakup teknik pemberitaan yang mempromosikan pemahaman, dialog, dan pencarian solusi, serta cara menghindari bias dalam pelaporan. Narasumber juga harus berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan media, memberikan informasi yang akurat untuk membangun kepercayaan. Dari sisi akademis, perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang dampak jurnalisme damai dalam membentuk opini publik, terutama dalam konteks konflik. Kurikulum pendidikan jurnalistik harus mengintegrasikan prinsip-prinsip ini, dan kolaborasi multidisiplin perlu didorong. Bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, diperlukan regulasi yang mendukung jurnalisme damai serta pelatihan bagi jurnalis. Kerjasama dengan media, pemantauan independen, dan peningkatan literasi media akan mendukung pemberitaan yang lebih seimbang dan mendukung perdamaian.

Conflict often becomes a key factor in determining whether an event is deemed newsworthy in mass media. Issues involving conflict tend to receive more attention compared to topics that emphasize harmony or peace. In the context of news coverage on issues of ethnicity, religion, race, and inter-group relations (SARA), conflict seems to dominate the published news, especially in cyber media. Cyber media tends to provide broader coverage for news related to disputes, clashes of interest, and controversies between groups. News highlighting efforts toward peace, intergroup dialogue, or social harmony is less frequently found in the digital public sphere. The land conflict involving the Sunda Wiwitan indigenous community in Cigugur, Kuningan, West Java, has received widespread attention in cyber media. Both national and local cyber media consistently cover disputes related to the construction of Sunda Wiwitan ancestral graves and conflicts over their customary land and houses. This conflict often becomes an attractive topic for digital media in Indonesia, as it reflects broader issues related to indigenous land rights and the efforts of local communities to preserve their cultural heritage. Coverage focusing on this conflict shows how media tends to highlight the aspects of disputes occurring between indigenous communities and conflicting parties. This research aims to analyze cyber media coverage, both international, national, and local, related to the land conflict involving the Sunda Wiwitan indigenous community in Cigugur, Kuningan, West Java. The main focus of this research is to understand how the conflict is reported at various levels of media and how differences in framing of the issue occur between different media outlets. Additionally, this research seeks to delve deeper into the role of journalists and sources in conveying the issue to the public, including how they influence the narratives and perspectives taken in the coverage. Through this approach, this research is expected to provide a comprehensive overview of how media constructs reporting on indigenous land conflicts, as well as explore the dynamics between journalists and sources in shaping public discourse related to the rights of the Sunda Wiwitan indigenous community. This research employs a mixed-methods approach, combining content analysis of news related to the Sunda Wiwitan land conflict with in-depth interviews and focus group discussions involving journalists and related sources. This approach allows researchers to gain a comprehensive understanding of how media shapes conflict narratives through agenda-setting and framing theories. Additionally, this research explores how the principles of peace journalism can be applied in covering the conflict, aiming to reduce tensions and promote more peaceful and fair resolutions for all parties involved.

This research finds a close connection between peace journalism and agenda-setting and framing theories in shaping public opinion and perception through the media. In the application of peace journalism, the media plays a crucial role and has a responsibility to report conflicts with an approach that supports peace, namely by promoting understanding, dialogue, and constructive solutions. This shows that the way media presents news not only affects public views but can also contribute to creating a conducive atmosphere for peaceful and sustainable conflict resolution. In the case of the Sunda Wiwitan indigenous community land conflict, the media plays a crucial role in setting the agenda and shaping the conflict narrative. This is done by focusing on the impact of the conflict, potential solutions, and the perspectives of indigenous communities. Emphasis is placed on information verification and exploring peace-oriented solutions. Thus, cyber media, both local and national, demonstrate a commitment to quality and solution-oriented journalism, contributing to the formation of a more positive and constructive public perception of the ongoing conflict. This research provides several important recommendations for various parties. For media and journalists, it is recommended to increase awareness and training on the principles of peace journalism, which includes reporting techniques that promote understanding, dialogue, and the search for solutions, as well as ways to avoid bias in reporting. Sources should also communicate openly and honestly with the media, providing accurate information to build trust. From an academic perspective, further research on the impact of peace journalism in shaping public opinion, especially in the context of conflict, is needed. Journalism education curricula should integrate these principles, and multidisciplinary collaboration should be encouraged. For the government and other stakeholders, regulations supporting peace journalism and training for journalists are needed. Collaboration with the media, independent monitoring, and increased media literacy will support more balanced and peace-promoting reporting.