Rancangan Pegembangan Agroforestri Kompleks Berbasis Aren di Zona Rehabilitasi SPTN II Ambulu, Taman Nasional Meru Betiri
Abstract
HEKMATYAR AULIA AYUBA. Rancangan Pengembangan Agroforestri
Kompleks Berbasis Aren di Zona Rehabilitasi SPTN II Ambulu, Taman Nasional
Meru Betiri. Dibimbing oleh ERVIZAL A. M. ZUHUD dan AGUS HIKMAT.
Taman Nasional Meru Betiri menghadapi tekanan berupa perambahan dan
penebangan liar yang berdampak serius terhadap degradasi tanah, erosi, dan
penurunan keanekaragaman hayati. Sebagai upaya pemulihan, zona rehabilitasi
dikembangkan untuk mengembalikan fungsi ekologis kawasan. Salah satu
pendekatan yang digunakan adalah sistem agroforestri. Namun, implementasi
agroforestri di zona ini masih belum optimal, karena dominasi tanaman sela seperti
Pueraria javanica lebih tinggi dibandingkan tanaman pokok. Keberadaan tanaman
hutan asli pun masih terbatas. Salah satu spesies potensial yang direkomendasikan
untuk dikembangkan adalah aren (Arenga pinnata Merr.), yang merupakan
tanaman asli kawasan dan memiliki manfaat ekologi serta nilai ekonomi tinggi.
Aren juga telah terbukti tumbuh alami di kawasan hutan Taman Nasional Meru
Betiri dan memiliki prospek yang baik untuk mendukung keberlanjutan konservasi
sekaligus
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penelitian bertujuan
mengidentifikasi profil petani berdasarkan tingkat kinerja terhadap standar
agroforestri, menginventarisasi keanekaragaman spesies tanaman di lahan
agroforestri Zona Rehabilitasi SPTN II Ambulu, Taman Nasional Meru Betiri,
menduga potensi regenerasi alami aren di Zona Rimba SPTN II Ambulu, Taman
Nasional Meru Betiri, dan menyusun rancangan pengembangan agroforestri
kompleks berbasis aren di Zona Rehabilitasi SPTN II Ambulu, untuk mewujudkan
peningkatan kesejahteraan masyarakat petani dan sekaligus kelestarian ekosistem
Taman Nasional Meru Betiri.
Penelitian dilaksanakan pada Januari hingga Februari 2025 di Zona
Rehabilitasi SPTN II Ambulu, khususnya pada Resor Andongrejo, Wonoasri, dan
Sanenrejo. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, pengamatan lapangan,
dan analisis vegetasi. Data yang dianalisis meliputi karakteristik petani, tingkat
keberhasilan penanaman, uji Kruskal-Wallis, pendapatan dari hasil agroforestri,
potensi regenerasi alami aren (kerapatan, pola sebaran, dan kategori kelestarian),
daya kecambah benih, preferensi spesies yang berpotensi meningkatkan
kesejahteraan, persepsi masyarakat, serta strategi pengembangan melalui analisis
SWOT.
Pemenuhan standar agroforestri menurut Permen LHK No.?23 Tahun?2021
yang mensyaratkan minimal 400 pohon pokok/ha masih rendah, rata-rata hanya
mencapai 34,29%. Resor Wonoasri menunjukkan performa terbaik, dengan rata
rata pemenuhan mencapai 157,51%, diikuti oleh Andongrejo dan Sanenrejo yang
hanya memiliki satu petani yang hampir memenuhi standar. Hal ini
mengindikasikan bahwa secara umum, kinerja petani masih belum optimal.
Keanekaragaman tanaman pokok pada keseluruhan resor menunjukkan keragaman
tinggi, dengan 23–24 spesies dari 14–16 famili, seperti alpukat, petai, durian, dan
mangga. Namun, dominasi tanaman sela masih sangat tinggi, terutama di
Andongrejo, yang memiliki 41 spesies tanaman sela (95% dari total), menunjukkan
orientasi petani lebih pada hasil jangka pendek daripada tujuan rehabilitasi.
Sanenrejo lebih fokus pada tanaman pokok, khususnya durian yang memberikan
pendapatan tinggi, sedangkan Wonoasri dan Andongrejo lebih bergantung pada
tanaman sela seperti jagung, cabai, dan peje.
Tegakan aren yang tumbuh alami di zona rimba menunjukkan pola sebaran
mengelompok, dengan kerapatan pohon tertinggi (51,5 ind/ha). Namun, kategori
kelestarian aren masih tergolong poor, menandakan rendahnya kemampuan
regenerasi alami. Oleh karena itu, kegiatan budidaya aren perlu dilakukan melalui
pembibitan terkontrol. Hasil uji daya kecambah menunjukkan tingkat keberhasilan
tinggi (95,88%) dengan metode pengeraman pada media campuran tanah dan
serbuk gergaji. Preferensi masyarakat terhadap aren cukup tinggi, terbukti dari skor
persepsi di atas 4 pada berbagai bagian tanaman seperti kolang-kaling, ijuk, dan
nira. Resor Wonoasri menunjukkan tingkat penerimaan tertinggi, baik dari sisi
ekologi maupun ekonomi, menjadikannya lokasi potensial untuk pengembangan
agroforestri berbasis aren.
Komposisi ideal untuk sistem agroforestri kompleks berbasis aren meliputi:
30% aren, 25% MPTS (durian, alpukat, petai), 20% tanaman hutan (beringin apak,
bindung, kepuh), 10% tanaman pelengkap (melinjo, sukun, keluwek, pinang), 10%
tanaman semusim (jagung, cabai, kunyit, jahe), dan 5% rerumputan. Strategi
prioritas hasil analisis SWOT adalah regenerasi aren melalui pembibitan terkontrol
dan pelibatan masyarakat dalam menjaga pohon induk penghasil benih (ST1),
dengan skor tertinggi 0,66. Strategi ini dinilai paling efektif dalam menjawab
ancaman terhadap keberlanjutan populasi aren dan meningkatkan peran serta
masyarakat dalam konservasi.
Kata kunci: agroforestri, aren, keanekaragaman, pemulihan ekosistem, partisipasi HEKMATYAR AULIA AYUBA. Development Plan for Complex Aren-Based
Agroforestry in the Rehabilitation Zone of SPTN II Ambulu, Meru Betiri National
Park. Supervised by ERVIZAL A. M. ZUHUD and AGUS HIKMAT.
Meru Betiri National Park is facing pressure from encroachment and illegal
logging, which have severely impacted soil degradation, erosion, and a decline in
biodiversity. As a restoration effort, rehabilitation zones have been developed to
restore the ecological functions of the area. One approach implemented is the
agroforestry system. However, the application of agroforestry in these zones
remains suboptimal due to the dominance of intercrops such as Pueraria javanica,
which outweigh the presence of main tree species. The existence of native forest
tree species is also still limited. One potential species recommended for
development is sugar palm (Arenga pinnata Merr.), a native species of the park that
holds significant ecological benefits and high economic value. Arenga has also been
proven to grow naturally in the forest areas of Meru Betiri National Park and
presents a promising opportunity to support conservation sustainability while
enhancing local community livelihoods. The study aims to identify farmer profiles
based on their performance level in meeting agroforestry standards, to inventory
the plant species diversity in agroforestry lands within the Rehabilitation Zone of
SPTN II Ambulu, Meru Betiri National Park, to estimate the potential for natural
regeneration of Arenga pinnata in the Wilderness Zone, and to develop a complex
Arenga-based agroforestry development plan in the Rehabilitation Zone of SPTN
II Ambulu. This effort seeks to enhance the welfare of farming communities while
ensuring the conservation of the Meru Betiri National Park ecosystem
This research was conducted from January to February 2025 in the
Rehabilitation Zone of SPTN II Ambulu, specifically in the Andongrejo, Wonoasri,
and Sanenrejo Resort areas. Data collection involved interviews, field observations,
and vegetation analysis. The data analyzed included farmer characteristics, planting
success rates, Kruskal-Wallis tests, agroforestry income, natural regeneration
potential of Arenga (density, distribution pattern, and conservation status), seed
germination rate, species preference for improving livelihoods, community
perceptions, and development strategies through SWOT analysis.
The fulfillment of agroforestry standards based on the Indonesian Ministry of
Environment and Forestry Regulation No. 23 of 2021, which requires a minimum
of 400 main trees per hectare, remains low, with an average achievement of only
34.29%. Wonoasri Resort showed the best performance, with an average fulfillment
rate of 157.51%, followed by Andongrejo and Sanenrejo, where only one farmer in
each came close to meeting the standard. This indicates that, in general, farmers'
performance in agroforestry management is still suboptimal.
In terms of tree species diversity, all resorts exhibited high diversity, with 23
24 tree species from 14–16 families such as avocado, bitter bean (petai), durian,
and mango. However, intercrops still dominated significantly, especially in
Andongrejo, which recorded 41 intercrop species (95% of the total), indicating a
stronger focus on short-term yields than on the park’s long-term ecological goals.
Sanenrejo focused more on main crops such as durian, which provided high income,
while Wonoasri and Andongrejo relied more on intercrops like corn, chili, and peje.
Natural stands of Arenga in the wilderness zone showed a clustered
distribution pattern, with the highest tree density at 51.5 individuals/ha. However,
the conservation category of Arenga was classified as "poor," indicating low natural
regeneration capacity. Therefore, Arenga cultivation needs to be supported through
controlled nursery practices. Germination tests showed a high success rate
(95.88%) using incubation methods in a growing medium composed of soil and
sawdust.
Community preference for Arenga was relatively high, as reflected in
perception scores above 4 for various plant parts such as kolang-kaling (fruit), fiber
(ijuk), and sap (nira). Wonoasri Resort recorded the highest acceptance levels in
terms of both ecological awareness and economic potential, making it the most
suitable location for developing Arenga-based agroforestry.
The ideal composition for a complex Arenga-based agroforestry system
includes: 30% Arenga, 25% MPTS (durian, avocado, petai), 20% forest trees (e.g.,
Ficus apak, Bindung, Kepuh), 10% complementary plants (e.g., Gnetum, breadfruit,
keluwek, areca), 10% seasonal crops (corn, chili, turmeric, ginger), and 5% grasses.
Based on SWOT analysis, the top-priority strategy is the regeneration of Arenga
through controlled nursery practices and community involvement in maintaining
seed-producing parent trees (ST1), which obtained the highest score of 0.66. This
strategy is considered the most effective to ensure the sustainability of Arenga
populations while empowering local communities in conservation efforts.
Keywords: agroforestry, Arenga pinnata, biodiversity, ecosystem restoration,
participation
Collections
- MT - Forestry [1505]
