Analisis pendapatan dan daya dukung lahan program management regime (Studi kasus di Bkph Tangen Kph Surakarta Pt. Perhutani Unit I Jawa Tengah)
Abstract
BKPH Tangen merupakan salah satu kawasan hutan di KPH Surakarta PT Perhutani Unit I Jawa Tengah yang sebagian besar wilayahnya dikelilingi pemukiman penduduk, sehingga hutannya mudah dijangkau oleh masyarakat_ Secara administratifwilayah BKPH Tangen terletak di Kabupaten Sragen Jawa Tengah. Desa-desa di sekitar BKPH Tangen memiliki lahan yang kurang produktif. Untuk mencukupi kebutuhan kayu bakar, rumput. kayu pertukangan dan kebutuhan hidup sehari-hari, masyarakat memenuhi kebutuhannya dengan cara menggembala di hutan dan mengambil tegakan jati yang ada. Akibatnya tegakan jati yang sudah dibangun oleh PT. Perhutani tidak pernah mencapai tegakan tua (akhir daur). karena gangguan keamanan tersebut. Unluk mengatasi hal tersebut, pada tahun 1994 PT. Perhutani bekerjasama dengan Fakultas Kelmtanan Universitas Gajah Mada Yogyakarta meluncurkan program management regime (MR). Melalui program ini masyarakat diperbolehkan menanam berbagai jenis tanaman pertanian selama daur tegakan jati, dengan kewajiban memelihara tegakan yang ada. Program management regime ini diharapkan dapat memenuhi kepentingan baik dari PT. Perhutani sebagai pengelola hutan, maupun masyarakat yang kehidupannya tergantung pada sumber daya hutan. Program management regime telah dilaksanakan selama delapan tahun, namun belum memberikan hasil yang memuaskan bagi petani. Pendapatan yang didapat dari lahan management regime masih relatif keeil, sehingga masyarakat mencari kayu bakar dan kayu pertukangan dari hUIan untuk dijual, akibatnya kelestarian hutan menjadi terganggu_ Berbagai pola telah dicoba namun hasilnya kurang menggembirakan. Pola terbaru yang dikembangkan adalah dengan menanam tanaman lebu di bawah tegakan tanaman pakok. Dengan pola tersebut diharapkan pendapatan masyarakat meningkat. Namun belum pernah diketahui secara pasti berapa sebenarnya pendapatan yang diterima masyarakat dan lahan management regime serta daya dukung lahan management regime. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui besamya pendapatan petani dari program management regime, serta kontnbusinya terhadap pendapatan total rumah tangga, membandingkan pendapatan petani peserta management regime dengan pendapatan petani bukan peserta management regime serta menganalisis daya dukung lahan management regime di BKPH Tangen_ Penelitian ini dilakukan di BKPH Tangen KPH Surakarta PT. Perhutani Unit I Jawa Tengah. Pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2002, berupa wawancara terhadap petani peserta management regime dan petani bukan peserta management regime. Data sekunder diperoleh dari PT. Perhutani, Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sragen dan Biro Pusat Statistik Kabupaten Sragen. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dan petani peserta program management regime dan petani non management regime, serta observasi lapangan. Data sekunder adalah data yang menyangkut kondisi biofisik serta sosia1 ekonomi rnasyarakat yang berhubungan dengan penelitian. Data sekunder diperoleh dari Desa/Kecamatan, PT Perhutani serta instansi lainnya. Data kuantitatif diolah dan dianalisis dengan rnenggunakan rumus-rumus untuk mendapatkan nilai pendapatan petani dan nilai daya dukung lahan MR. Sedangkan kriteria kesejahteraan yang digunakan adalah pendapatan perkapitaltahun penduduk Sragen, Sajogjo (1977) serta Upah Minimum Regional Kabupaten Sragen. Oaya dukung lahan MR dihitung dengan rumus Bayliss-Smith yang menggunakan luas lahan, nilai produksi laban, dan konsumsi aktual petani. Metode pengambilan contoh yang digunakan adalah (Purposive Random Sampling), yaitu masyarakat yang ada di sekitar hutan yang telah diketahui sifalsifal berupa pala-pola agroforestry yang dikembangkan, kemudian responden dipilih secara acak. Adapun pola-pola agrafarestry yang dikembangkan di BKPH Tangen terdiri dan 4 pola yailu : lahan management regime dengan tanaman dibawah tegakan pokok berupa lebu (1); lahan management regime dengan tanaman dibawah tegakan pakok berupa lanaman palawija (2); laban dengan sislem tumpangsari tanaman pembangunan dengan tanaman dibawah tegakan pakok berupa tanaman palawija (3); dan lahan management dengan tanaman dibawah tegakan pakak berupa palawija serta terdapat sawab hulan yang ter1etak di lembah-Iembah laban management regime (4). Hasil analisis dan laban agroforestry baik lahan MR dan lahan Non MR (Tumpangsari Tanaman Pembangunan) menunjukkan bahwa pendapatan seluruh responden pada pola I mempunyai pendapatanlhaltahun paling tinggi dibandingkan pendapatan pola lainnya yaitu sebesar Rp. 2.638.171 Pendapatan yang tingsi tersebut disebabkan karena tanah di Tangen cocok ditanami tebu, sehingga produksinya linggi. Dan lahan MR dengan tanaman palawija yang terdapat pada pala II dan IV pesanggem mendapat pendapatan bersih/haltahun masing-masing sebesar Rp. 887.080 dan Rp. 744.166. Sedangkan pada pala III yaitu lahan hutan dengan sistem tumpangsari tanaman pembangunan petani mengalami kerugian sebesar Rp. -605.071/haltahun {pendapatan bersih setelah dikurangi biaya tennasuk tenaga kerja}. Walaupun pesanggem merugi mereka tetap melakukan kegiatan tumpangsari karena mereka tidak menghitung pengeluaran untuk tenaga kerja keluarga, sehingga pendapatan yang diperoleh dirasakan mereka tetap positif, selain itu tidak ada pilihan altematif lainnya untuk mendapatkan kebutuhan pangan. Apabila biaya tenaga kerja tidak diperhitungkan, maka pendapatan dari Pola III sebesar Rp 480.643/haltahun. Dibandingkan dengan pendapatan tumpangsari biasa, maka pendapatan dan lahan MR dengan tanaman palawija mengalami sedikit peningkatan. Data dan KPH Randublatung menyebutkan bahwa pendapatan dari lahan tumpangsari biasa sebesar Rp. 1.722.900lha/tahun, sedangkan pendapatan dari lahan MR di BKPH Tangen sebesar L893.240/haltahun, berarti terdapat kenaikan pendapatan sebesar Rp. 170.340/tahunlha. Kondisi fisik KPH Randublatung harnpir sarna dengan kondisi fisik di BKPH Tangen, karena KPH Randublatung juga rnasih terrnasuk rangkaian pegunungan Kendeng atau Kapur tengah yang rnernbujur dari arah Mojokerto sampai dengan Sragen. Antara KPH Randublatung dan BKPH Tangen juga terletak pada daerah yang sarna yaitu sebelah utara Bengawan Solo yang sebagian besar jenis tanahnya alluvial kelabu, litosol dan grurnosol (Yulianto,2002). Pendapatan total petani pada pola I mempunyai pendapatanltahun tertinggi dibandingkan pola lainnya yaitu sebesar Rp. 2.251.227. Pendapatan dari lahan MR dengan tanaman tebu memberikan sumbangan pendapatan terbesar. Pada pola II pendapatanltahunnya sebesar Rp. 1.510.939. Sedangkan pendapatanltahun pada pola III hanya sebesar Rp. 923.245 atau merupakan pendapatanltahun paling rendah dari semua pola yang ada. Lahan hutan yang tandus serta kepemilikan lahan milik yang sempit menjadi faktor penyebab pendapatan petani pada pola III rendah. Adapun pendapatan pada pola IV yaitu tumpangsari lahan MR dengan tarnhahan sawah hutan di lembahnya sebesar Rp. 2.118.712. Pendapatanltahun petani pada pola IV ini merupakan pendapatan terbesar kedua dari pola yang ada. Lahan MR dengan tanaman tebu pada Pola I rnemberikan kontribusi pendapatan per talun paling tinggi yaitu sebesar 39,84 % Sedangkan lahan MR dengan tanaman pa1awija pada Pola II hanya mernberikan kontribusi sehesar 15,96 'Yo. Adapun Pola III atau sistem turnpangsari pada lahan tumpangsari tanaman pembangunan memberikan kontribusi yang negatif (-22,90 %)_ Apabila pendapatan dari lahan tersehut tidak dikurangi dengan biaya tenaga kerja maka akan memberikan kontribusi sebesar 18,22 %. Sedangkan laban MR dengan tanaman palawija pada pola IV memberikan kontribusi pendapatan sebesar 10,54 %. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lahan MR dengan tanaman tebu di wilayah hutan Tangen lebih rnenguntungkan untuk dikembangkan, dibandingkan lahan MR dengan tanaman palawija maupun lahan hutan dengan sistem tumpangsari tanaman pembangunan. Pendapatan perkapitaltahun daTi seluruh responden menunjukkan bahwa pendapatan perkapitaltahun petani pada pola IV lebih tinggi dibandingkan pendapatan perkapitaltahun pada pola lainnya, yaitu sebesar Rp. 529.678. Petani pada pola IV tidak terlalu menggantungkan pemenuhan kebutuhannya pada lahan MR saja. Petani pada pola ini telah menyadari bahwa basil yang diperoleh dari lahan MR kecil untuk itu mereka lebih mengoptimalkan pekerjaan lain seperti pendapatan dari sawah hutan dan buruh tani. Sedangkan pendapatan perkapitaltahun terendah dialami petani pada pola Ill, yaitu sebesar Rp_ 230.811. Walaupun pendapatan yang diperoleh petani pada pola IV dari sawah hutan dan non pertanian tingg~ tetapi karena pendapatan dari lahan MR negatif (pesanggem rugi) maka akan mempengaruhi pendapatan total rumah tangga petani. Pendapatan perkapitaltahun petani pada pola I lebih rendah dibandingkan petani pola IV, karena jumlah anggota keluarga pada pola I lebih banyak, walaupun pendapatanltahun petani pola I lebih tinggi bila dibandingkan pendapatanltahun petani pola IV. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sragen tahun 2001 menyatakan bah.wa pendapatan perkapitaltan.m Kabupaten Sragen sebesar Rp. 2.258.059,92, maka pendapatan perkapitaltahun petani di BKPH Tangen masih jauh dari standar yang ada. Pendapatan perkapitaltahun terbesar petani yang diperoleh pada pola IV hanya sebesar Rp. 529.678. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa dengan program MR di BKPH Tangen masyarakat masih belum mampu terlepas dari garis kemiskinan, walaupun pendapatannya meningkat. Indikator ini diperkuat dengan pengukuran tingkat kemiskinan (Sajogjo, 1977) yang menyatakan bahwa seseorang dikatakan miskin apabila pendapatan perkapita Itahun lebih rendah dari nilai tukar 320 kg beras. Jika digunakan harga betas di daerah penelitian ratarata Rp. 25001kg, maka garis kemiskinan di daerah penelitian berada pada standar Rp. 800.000,-. Pendapatan petanilbulan didapat dari pendapatan bersih petani setiap tahunnya dibagi dua belas (bulan). Pendapatan/tahun yang terbesar yaitu pendapatan petani pada pola I sebesar Rp. 2.251.228 Jika dihitung pendapatan perbulannya maka didapat basil pendapatanlbulan petani pada pola I sebesar Rp. 187.602. Pendapatan petani tersebut masih dibawah upah minimum regional kabupaten Sragen yaitu sebesar Rp. 316.000,- (Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sragen, 2002). Dengan demikian pendapatan petani dari semua pola yang diteliti menunjukkan bahwa petani masih di bawah garis kemisk.inan. Indeks daya dukung pada pola I menyatakan daya dukung tebu pada lahan MR. bukan merupakan indeks yang menyatakan daya dukung laban seperti pada pola 11, ill dan IV. Daya dukung lahan pada pola I tidak bisa dihitung karena tidak ada konversi produksi neto dan nilai kalori gula seperti produk pertanian lainnya dari Direktorat Gizi Departemen Kesehatan (Sontang manik, 1986). Oleh karena itu pada pola I hanya bisa dihitung daya dukung tanaman saja. Penghitungan daya dukung lahan dari seluruh responden menunjukkan bahwa pada pola yanG dikernbangkan sebagian besar mempunyai indeks Kx < t. kecuali pada pola I. Pada pola I indeks Kx > I yaitu sebesar 3.84, nHai yang tinggi tersebut diperoleh karena konsumsi gula yang rendah sedangkan produksi tebu tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa tanaman tebu yang ditanam pada lahan tersebut mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan gula. Sedangkan lndeks Kx pada Pola II sebesar 0.44, Pola III sebesar 0.20 dan Pola IV sebesar 0.45 Pola-pola yang lahannya mempunyai indeks Kx < I menunjukkan bahwa lahan pada pola tersebut belum memberikan daya dukung yang optimal. AI1inya lahan MR maupun lahan hutan tumpangsari tanaman pembangunan belum bisa memenuhi kebutuhan petani dengan jenis-jenis tanaman yang dikembangkan. Faktor penyebabnya adalah produksi lahan yang rendah sedangkan konsumsi petani terhadap jenis tanaman palawija tinggi.
Collections
- UT - Forest Management [2977]