Studi Potensi Ekstrak Etanol 96% Biji Jintan Hitam (Nigella sativa) Pada Kultur Sel Lestari B16f10 Sebagai Alternatif Pengobatan Vitiligo
Date
2025Author
Pratiwi, Dian
Setiyono, Agus
Mariya, Silmi
Rayendra, Raendi
Metadata
Show full item recordAbstract
Vitiligo merupakan penyakit depigmentasi kulit akibat kerusakan selektif sel
melanosit, ditandai dengan bercak berwarna putih kapur di kulit, mukosa, dan
rambut. Lamanya pengobatan, jangka waktu pemakaian obat yang terbatas, dan
keterbatasan obat di Indonesia merupakan alasan penting mencari agen alternatif
yang aman, efektif, dapat digunakan jangka panjang, serta tersedia dengan mudah
dan murah di Indonesia. Aktivitas utama dari biji jintan hitam berasal dari
timoquinon (TQ), senyawa fitokimia aktif golongan terpenoid, yaitu monoterpen,
yang terkandung dalam biji jintan hitam sekitar 0,010-48% bergantung lokasi
geografis dan metode ekstraksi. Sel lestari mouse melanoma B16F10 umum
digunakan dalam uji sintesis melanin in-vitro karena mekanisme melanogeniknya
yang mirip dengan melanosit epidermal manusia. Belum ada penelitian mengenai
potensi ekstrak etanol 96% biji jintan hitam (EE BJH) lokal Indonesia untuk
meningkatkan produksi melanin serta efek modulasi melanogenesisnya melalui
ekspresi protein, serta jalur pensinyalan yang terlibat pada sel lestari mouse
melanoma B16F10.
Penelitian tahap pertama merupakan proses pembuatan ekstraksi biji jintan
hitam dan penapisan fitokimia dengan gas chromatography–mass spectrometry
(GC-MS), serta pemeriksaan kadar TQ dengan High Performance Liquid
Chromatography (HPLC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstraksi dengan
etanol 96% dari 450 gram biji jintan hitam menghasilkan ekstrak sebanyak 64,38
gram (rendemen 14,31%). Analisis GC-MS mengidentifikasi 20 senyawa fitokimia,
terutama 9,12-Octadecadienoic acid - methyl ester (E,E) (45.88%), 9,12-
octadecadienoic acid (Z,Z) (25.17%), dan isopropyl linoleate (11.59%). Senyawa
dominan 9,12-octadecadienoic acid - methyl ester (E,E) merupakan senyawa asam
linoleat termetilasi (asam lemak omega-6), dikethaui memiliki aktivitas
antiinflamasi. Senyawa 9,12-octadecadienoic acid (Z,Z) atau asam linoleat
(25,17%), n-hexadecanoic acid atau asam palmitat (5,18%), dan isopropyl linoleate
(11,59%) diketahui memiliki aktivitas antioksidan dan anti-inflamasi. Analisis
HPLC menunjukkan bahwa EE BJH mengandung 0,04% TQ, lebih rendah
dibandingkan kandungan TQ pada ekstrak BJH impor.
Penelitian tahap kedua bertujuan untuk persiapan kultur sel lestari mouse
melanoma B16F10, uji toksisitas menggunakan metode 3-(4,5-dimethylthiazol-2-
yl)- 2,5-diphenyl-2H-tetrazolium bromide (MTT), uji bioaktivitas tirosinase dengan
menggunakan L-3,4-dihydroxyphenylalanine (L- DOPA) dan penilaian persentase
peningkatan produksi melanin pada kultur sel lestari mouse melanoma B16F10
pada sel kontrol tanpa perlakuan dan sel yang diberi perlakuan EE BJH, TQ, serta
3-isobutyl-1-methylxanthine (IBMX) sebagai kontrol positif melanogenesis. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa viabilitas sel tertinggi EE BJH didapatkan pada
konsentrasi 6,25 ppm (97,61%) dan viabilitas terendah pada konsentrasi 800 ppm
(12,92%), dengan nilai IC50 56,41 ppm. Viabilitas tertinggi dari TQ pada penelitian
ini didapatkan pada konsentrasi 0,75 ppm (59,06%), terendah pada konsentrasi 100
ppm (2,69%), dengan nilai IC50 1,01 ppm. Viabilitas tertinggi dari IBMX pada
ii
konsentrasi 1,60 ppm (100%), terendah pada konsentrasi 200 ppm (11,77%),
dengan nilai IC50 25,60 ppm. Nilai IC50 TQ yang lebih rendah dibandingkan EE
BJH menunjukkan TQ memiliki potensi yang lebih tinggi untuk bekerja pada
konsentrasi rendah. Namun, hal ini tidak selalu berarti lebih baik. Senyawa poten
dengan IC50 rendah dapat menyebabkan ketidakseimbangan fisiologis, terutama
jika dosisnya sulit dikendalikan atau jika memiliki efek di luar target.
Hasil pengujian aktivitas tirosinase pada EE BJH, TQ dan IBMX yang
terpapar L-DOPA menunjukkan peningkatan dopakuinon dalam sel dibandingkan
kontrol sel tanpa perlakuan pada konsentrasi EE BJH 6,25 ppm (p<0,05) dan 12,50
ppm (p<0,01) dan tidak berbeda bermakna dengan IBMX 6,25 ppm dan TQ 0,25
ppm (p>0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa EE BJH 6,25 ppm dan 12,50 ppm
dapat meningkatkan indeks melanin sebanding dengan IBMX 6,25 ppm dan TQ
0,25 ppm. Hasil pengujian peningkatan produksi melanin menunjukkan hasil yang
bermakna dari EE BJH pada seluruh konsentrasi yang diberikan yaitu 3,13 ppm
(p<0,05), serta 6,25 dan 12,50 ppm (p<0,01) dibandingkan kontrol sel tanpa
perlakuan, namun tidak berbeda bermakna dengan IBMX 6,25 ppm dan TQ 0,25
ppm (p>0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa EE BJH 3,13 ppm, 6,25 ppm dan
12,50 ppm dapat meningkatkan indeks melanin sebanding dengan IBMX 6,25 ppm
dan TQ 0,25 ppm. Respons yang bergantung konsentrasi (concentration-dependent
response) diamati pada aktivitas tirosinase maupun produksi melanin sel B16F10
setelah perlakuan EE BJH. Konsentrasi optimal untuk meningkatkan aktivitas
tirosinase dan jumlah melanin pada penelitian ini adalah 12,50 ppm.
Penelitian tahap ketiga bertujuan untuk melakukan pemeriksaan terhadap
ekspresi protein dengan Western blot meliputi PKA, GSK-3?, MAPK, TYR, TRP-
1, TRP-2, dan MITF. Hasil menunjukkan adanya ekspresi MAPK dan TRP-1 yang
membuktikan adanya peran protein tersebut dalam proses melanogenesis di tingkat
molekuler pada sel B16F10 yang diberi perlakuan EE BJH.
Penelitian ini membuktikan pemberian EE BJH meningkatkan aktivitas
tirosinase dan produksi melanin pada kultur sel lestari B16F10. Karakteristik
fitokimia yang unik, dengan kandungan TQ yang rendah dan senyawa antioksidan
serta anti-inflamasi yang tinggi, menjadikan EE BJH Indonesia potensial sebagai
kandidat bahan alami alternatif untuk pengobatan vitiligo.
Collections
- DT - Veterinary Science [302]
