Pola Distribusi Jasa Ekosistem di Kawasan Perkotaan Jabodetabek dengan Pendekatan Spatial Clustering
Abstract
Jabodetabek, sebagai aglomerasi perkotaan terbesar dan berkembang paling
pesat di Indonesia, menghadapi tantangan yang semakin meningkat akibat
pertumbuhan penduduk yang cepat dan degradasi lingkungan. Ekspansi kawasan
perkotaan yang terus berlanjut telah menyebabkan perubahan besar dalam
penggunaan lahan, mengurangi ruang hijau yang memiliki peran penting dalam
menjaga keseimbangan ekologi. Perubahan ini secara langsung berdampak pada
penyediaan jasa ekosistem, yang mengakibatkan peningkatan suhu perkotaan,
peningkatan erosi tanah, serta meningkatnya risiko banjir. Untuk merespons
tantangan ini, berbagai penelitian telah merekomendasikan kawasan peri-urban
sebagai wilayah strategis dalam mendukung penyediaan jasa ekosistem bagi kota
kota metropolitan, termasuk Jabodetabek. Namun, meskipun rekomendasi ini telah
banyak disampaikan, masih terdapat kesenjangan pengetahuan yang signifikan
terkait kapasitas aktual kawasan peri-urban dalam menyediakan jasa ekosistem
yang esensial. Hingga saat ini, belum ada pengukuran komprehensif yang dilakukan
untuk menilai efektivitas kawasan tersebut dalam mengurangi risiko lingkungan
dan mendukung keberlanjutan perkotaan.
Untuk mengatasi kesenjangan ini, penelitian ini memiliki tiga tujuan utama:
(1) mengidentifikasi indikator utama jasa ekosistem, yaitu mitigasi panas perkotaan
(Urban Heat Mitigation/UHM), retensi sedimen (Sediment Retention/SR), dan
mitigasi risiko banjir (Flood Risk Mitigation/FRM); (2) menganalisis pola distribusi
spasial jasa ekosistem serta menentukan zona pengelolaannya di Jabodetabek; dan
(3) mengembangkan strategi berbasis bukti untuk mengelola dan meningkatkan jasa
ekosistem di kawasan metropolitan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini mengombinasikan pemodelan
jasa ekosistem dan analisis spasial dengan mengintegrasikan model InVEST serta
metode Rustiadi Quantitative Zoning Method II (RQZM). Pendekatan ini
memungkinkan analisis mendalam mengenai bagaimana setiap wilayah di
Jabodetabek berfungsi dalam penyediaan jasa ekosistem serta mengidentifikasi area
yang memerlukan intervensi prioritas. Hasil penelitian menunjukkan adanya
disparitas spasial yang signifikan dalam kapasitas jasa ekosistem di Jabodetabek.
Wilayah yang sangat terurbanisasi, seperti Jakarta, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi,
Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang, dan Kota Depok,
mengalami tekanan lingkungan yang parah akibat tingginya kepadatan
infrastruktur, alih fungsi lahan yang cepat, serta berkurangnya ruang hijau. Faktor
faktor ini berkontribusi terhadap efek pulau panas perkotaan yang semakin intensif
serta peningkatan risiko banjir, yang mengancam ketahanan dan keberlanjutan
wilayah perkotaan. Sebaliknya, kawasan peri-urban di bagian selatan Jabodetabek,
seperti Bogor, memiliki kapasitas ekologis yang lebih tinggi, terutama dalam hal
infiltrasi air dan regulasi suhu. Namun, meskipun memiliki keunggulan ekologi,
kawasan ini semakin rentan terhadap erosi dan degradasi lingkungan akibat
ekspansi perkotaan yang tidak terkendali serta perubahan penggunaan lahan yang
didorong oleh efek limpahan metropolitan.
Untuk memahami lebih dalam distribusi spasial jasa ekosistem, dilakukan
analisis spatial clustering dengan tiga skenario klasifikasi spasial (tipologi): tiga
klaster, empat klaster, dan lima klaster. Ketiga skenario ini divalidasi menggunakan
rasio coefficient of variance serta rasio distribusi piksel dan poligon (nilai k). Hasil
analisis menunjukkan bahwa model dengan empat klaster memberikan klasifikasi
distribusi jasa ekosistem yang paling kompak dan berkesinambungan secara
spasial. Berdasarkan hasil analisis klaster, wilayah Jabodetabek dikategorikan ke
dalam empat zona jasa ekosistem yang berbeda: very low regulating service, yang
didominasi oleh area perkotaan dengan fungsi ekologi yang sangat rendah; low
regulating service, yang ditandai oleh tingkat urbanisasi sedang dengan kapasitas
jasa ekosistem yang terbatas; moderate to high regulating service, yang merupakan
zona transisi dengan kombinasi lanskap perkotaan dan alami; serta very high
regulating service, yang berada di bagian selatan Jabodetabek dan memiliki peran
krusial dalam menjaga keseimbangan ekologi metropolitan.
Hasil penelitian ini menyoroti ketidakseimbangan yang semakin meningkat
antara meningkatnya permintaan jasa ekosistem perkotaan dan menurunnya
kapasitas kawasan peri-urban dalam menyediakan jasa ekosistem tersebut.
Meskipun wilayah dengan kategori very high regulating service memiliki cakupan
area paling luas dan terkonsentrasi di bagian selatan Jabodetabek, wilayah ini tetap
mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan ekosistemnya sendiri akibat
ekspansi perkotaan yang terus berlanjut dan perubahan penggunaan lahan yang
masif. Transformasi lanskap alami menjadi kawasan permukiman dan komersial
menjadi faktor utama yang memperburuk ketidakseimbangan ini, yang pada
akhirnya meningkatkan kerentanan lingkungan secara keseluruhan.
Untuk mengatasi tantangan ini, penelitian ini mengusulkan penerapan
kerangka Nature-Based Solutions (NBS) yang mengintegrasikan restorasi ekologi
dengan perencanaan perkotaan yang strategis. Sebagai bagian dari pendekatan ini,
metode decision table digunakan sebagai alat bantu dalam pengambilan keputusan
guna memprioritaskan strategi pengelolaan. Berdasarkan kerangka ini, penelitian
ini mengusulkan tiga zona utama pengelolaan jasa ekosistem: (1) konservasi di
wilayah selatan untuk melindungi fungsi ekologi yang masih ada; (2) restorasi dan
rehabilitasi lanskap di wilayah tengah untuk meningkatkan ketahanan ekosistem
serta mengurangi risiko lingkungan; dan (3) penerapan ekosistem buatan yang
mengombinasikan proses alami dengan inovasi teknologi di wilayah utara
Jabodetabek, di mana kepadatan penduduk tinggi dan fungsi ekosistem alami telah
mengalami degradasi yang signifikan.
Collections
- MT - Agriculture [3987]
