Transformasi Perdesaan-Perkotaan dan Status Keberlanjutan Metropolitan Kedungsepur
Date
2025Author
Wardana, Ardiansyah Putra
Pravitasari, Andrea Emma
Panuju, Dyah Retno
Metadata
Show full item recordAbstract
Pada abad ini, urbanisasi menjadi salah satu tren dunia yang berkembang
pesat. Pada tahun 2050 diproyeksikan dua dari tiga orang akan tinggal di kawasan
perkotaan. Pada negara berkembang seperti Indonesia, urbanisasi diperkirakan akan
tumbuh 2,3% per tahun antara 2000 hingga 2030. Urbanisasi merupakan bagian
tidak terpisahkan dari proses menuju negara maju. Kota berperan sebagai pusat
perekonomian dengan menciptakan efisiensi biaya produksi, memperluas
jangkauan pasar, dan meningkatkan produktivitas secara keseluruhan. Kawasan
Kedungsepur yang meliputi Kabupaten Kendal, Demak, Semarang, Salatiga, dan
Grobogan di Provinsi Jawa Tengah diprioritaskan sebagai area pembangunan
metropolitan. Lokasi yang strategis serta ketersediaan infrastruktur, seperti
pelabuhan internasional Tanjung Mas, jalur Pantai Utara (Pantura), serta tol Trans
Jawa memberikan dorongan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan kawasan ini.
Seiring dengan pesatnya urbanisasi, Kedungsepur mengalami perubahan
besar dalam tutupan lahan dan penggunaan ruang, yang turut mempengaruhi
dinamika sosial, ekonomi, lingkungan, struktur demografi, serta fungsi wilayahnya.
Proses urbanisasi yang berlangsung di Kedungsepur membawa dampak signifikan
terhadap
perubahan tutupan/penggunaan lahan, yang pada gilirannya
mempengaruhi transformasi wilayah perdesaan menjadi perkotaan juga berpotensi
mengubah karakteristik sosial dan demografi kawasan. Dengan pesatnya
pembangunan yang terjadi, sangat penting untuk memperhatikan keberlanjutan
wilayah ini. Oleh karena itu, diperlukan strategi pembangunan yang tepat agar
perkembangan metropolitan di Kedungsepur dapat berjalan secara berkelanjutan,
menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan
perlindungan lingkungan.
Analisis perubahan tutupan/penggunaan lahan dilakukan dengan teknik
reclassify dan overlay, yang kemudian dilanjutkan dengan analisis gain and losses
untuk menentukan matriks transisi perubahan tutupan/penggunaan lahan.
Selanjutnya, transformasi perdesaan-perkotaan dianalisis melalui Rural-Urban
Index (RUI), yang diikuti dengan identifikasi spatial autocorrelation menggunakan
Moran’s I dan Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA). Untuk menilai
status keberlanjutan wilayah, pendekatan Multiaspect Sustainability Analysis
(MSA) diterapkan dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Terakhir, saran dan
rekomendasi kebijakan disusun melalui analisis IFAS (Internal Factor Analysis
Summary), EFAS (External Factor Analysis Summary), dan Decision Table.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 2012, wilayah Kedungsepur
didominasi oleh kelas tutupan/penggunaan lahan sawah dan hutan. Namun, pada
tahun 2022, sawah dan lahan terbangun menjadi kelas penggunaan lahan utama
yang mendominasi kawasan ini. Tutupan/penggunaan lahan hutan mengalami
penurunan luas yang signifikan. Di sisi lain, lahan pertanian non-sawah dan lahan
terbangun mengalami peningkatan yang cukup besar. Berdasarkan analisis matriks
transisi atau net gain and losses sebagian besar area hutan yang berkurang,
terkonversi menjadi pertanian non-sawah, lahan terbangun, dan perkebunan.
Analisis R UI di Kedungsepur menunjukkan peningkatan jumlah wilayah
berkarakteristik perkotaan, dari 235 wilayah pada tahun 2012 menjadi 302 wilayah
pada tahun 2022. Kabupaten Kendal tercatat sebagai wilayah dengan tingkat
transformasi tertinggi, sementara Salatiga dan Grobogan menunjukkan tingkat
transformasi perdesaan-perkotaan yang terendah.
Analisis Moran’s I menghasilkan nilai 0,83, yang menunjukkan bahwa
wilayah-wilayah yang mengalami transformasi perdesaan-perkotaan cenderung
mengelompok. Selain itu, analisis LISA menunjukkan terjadinya peningkatan
wilayah yang mengalami autokorelasi spasial, yang mencerminkan adanya
peningkatan keterkaitan spasial antar wilayah selama periode tersebut. Hal ini
mengindikasikan perubahan dalam pola pembangunan dan intensifikasi interaksi
antar wilayah di kawasan metropolitan Kedungsepur. Dalam analisis keberlanjutan,
nilai keberlanjutan paling rendah pada dimensi sosial dan lingkungan terdapat di
Kabupaten Kendal dengan status "keberlanjutan sedang". Sementara itu, pada
dimensi ekonomi, Kabupaten Semarang mencatatkan nilai paling rendah dengan
status "keberlanjutan sedang". Berdasarkan temuan ini, rekomendasi yang
diberikan berfokus pada konsep urban-rural linkages untuk menciptakan
keseimbangan pembangunan yang berkelanjutan di Kedungsepur.
Collections
- MT - Agriculture [3987]
