Show simple item record

dc.contributor.advisorAchsani, Noer Azam
dc.contributor.advisorHakim, Budiman
dc.contributor.advisorAlamsyah, Halim
dc.contributor.authorSuwandi
dc.date.accessioned2024-11-07T06:25:01Z
dc.date.available2024-11-07T06:25:01Z
dc.date.issued2019
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/159399
dc.description.abstractPenelitian mengenai analisis prediksi kegagalan BPR/BPRS dilatarbelakangi karena tingginya jumlah BPR/BPRS yang masuk ke dalam status Bank Dalam Status Pengawasan (BDPK). Terhadap BPR/BPRS dalam status BDPK yang tidak lagi dapat disehatkan oleh lembaga pengawas perbankan (saat ini OJK, sebelumnya Bank Indonesia), kemudian diserahkan sebagai bank gagal kepada LPS. Setelah dilakukan analisis pemenuhan persyaratan untuk dapat diselamatkan, tidak ada satupun BPR/BPRS gagal yang dapat diselamatkan. Hal ini berarti seluruh BPR/BPRS tersebut dilikuidasi. Sejak LPS beroperasi tahun 2005 hingga saat ini, tercatat dari total 1.915 BPR/BPRS yang pernah beroperasi sampai dengan 31 Desember 2017, sejumlah 184 bank masuk ke dalam status BDPK, dan 84 bank (45%) telah dicabut izin usahanya oleh BI/OJK, tidak termasuk self liquidation. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh LPS pada tahun 2016, penyebab utama dari banyaknya BPR/BPRS yang dilikuidasi tersebut adalah karena disebabkan tindakan penyimpangan (fraud) yang dilakukan baik oleh pemilik, pengurus maupun karyawan bank. Temuan dari LPS atas tindakan penyimpangan tersebut antara lain penyaluran kredit fiktif, angsuran kredit yang tidak dicatat dalam pembukuan bank, pencairan deposito tanpa sepengetahuan nasabah, dan kredit yang tidak didukung dengan agunan yang memadai. Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) digunakan sebagai pertimbangan utama OJK untuk menetapkan BPR/BPRS dalam status BDPK. Apabila bank yang bermasalah memiliki CAR kurang dari 4% (empat persen), lembaga pengawas perbankan menetapkan status bank tersebut sebagai BDPK. Tujuan penelitian ini adalah pertama untuk menguji analisis rasio keuangan yaitu CAR yang dihitung berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan BPR/BPRS adalah andal untuk memprediksi kegagalan. Kedua, untuk menyusun model kegagalan BPR/BPRS berbasis implementasi tata kelola. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi LPS dalam mengembangkan analisis prediksi kegagalan bank khususnya BPR/BPRS. Bagi OJK, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam melakukan tindakan penyehatan bank khususnya BPR/BPRS misalnya keharusan dilakukan audit laporan keuangan oleh Akuntan Publik tanpa melihat jumlah aset yang dimiliki BPR/BPRS, ketentuan mengenai perangkapan jabatan antara pemegang saham, komisaris dan/atau direksi. Penelitian ini dilakukan dengan membuat forecasting terhadap data CAR BPR/BPRS yang dipublikasikan sebelum ditetapkan BDPK untuk menguji apakah data CAR tersebut dapat digunakan untuk memprediksi bank akan ditetapkan sebagai BDPK. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik forecasting ARIMA, trend analysis dan pengujian signifikansinya dengan sign test. Fraud terjadi karena lemahnya implementasi tata kelola yang baik (good corporate governance). Penelitian ini menguji beberapa variabel sebagai proxy kelemahan implementasi tata kelola yaitu (1) ketidaklengkapan surat pernyataan tanggung jawab apabila menjadi bank gagal dari komisaris; (2) ketidaklengkapan surat pernyataan tanggung jawab apabila bank menjadi bank gagal dari direksi; (3) Penelitian mengenai analisis prediksi kegagalan BPR/BPRS dilatarbelakangi karena tingginya jumlah BPR/BPRS yang masuk ke dalam status Bank Dalam Status Pengawasan (BDPK). Terhadap BPR/BPRS dalam status BDPK yang tidak lagi dapat disehatkan oleh lembaga pengawas perbankan (saat ini OJK, sebelumnya Bank Indonesia), kemudian diserahkan sebagai bank gagal kepada LPS. Setelah dilakukan analisis pemenuhan persyaratan untuk dapat diselamatkan, tidak ada satupun BPR/BPRS gagal yang dapat diselamatkan. Hal ini berarti seluruh BPR/BPRS tersebut dilikuidasi. Sejak LPS beroperasi tahun 2005 hingga saat ini, tercatat dari total 1.915 BPR/BPRS yang pernah beroperasi sampai dengan 31 Desember 2017, sejumlah 184 bank masuk ke dalam status BDPK, dan 84 bank (45%) telah dicabut izin usahanya oleh BI/OJK, tidak termasuk self liquidation. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh LPS pada tahun 2016, penyebab utama dari banyaknya BPR/BPRS yang dilikuidasi tersebut adalah karena disebabkan tindakan penyimpangan (fraud) yang dilakukan baik oleh pemilik, pengurus maupun karyawan bank. Temuan dari LPS atas tindakan penyimpangan tersebut antara lain penyaluran kredit fiktif, angsuran kredit yang tidak dicatat dalam pembukuan bank, pencairan deposito tanpa sepengetahuan nasabah, dan kredit yang tidak didukung dengan agunan yang memadai. Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) digunakan sebagai pertimbangan utama OJK untuk menetapkan BPR/BPRS dalam status BDPK. Apabila bank yang bermasalah memiliki CAR kurang dari 4% (empat persen), lembaga pengawas perbankan menetapkan status bank tersebut sebagai BDPK. Tujuan penelitian ini adalah pertama untuk menguji analisis rasio keuangan yaitu CAR yang dihitung berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan BPR/BPRS adalah andal untuk memprediksi kegagalan. Kedua, untuk menyusun model kegagalan BPR/BPRS berbasis implementasi tata kelola. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi LPS dalam mengembangkan analisis prediksi kegagalan bank khususnya BPR/BPRS. Bagi OJK, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam melakukan tindakan penyehatan bank khususnya BPR/BPRS misalnya keharusan dilakukan audit laporan keuangan oleh Akuntan Publik tanpa melihat jumlah aset yang dimiliki BPR/BPRS, ketentuan mengenai perangkapan jabatan antara pemegang saham, komisaris dan/atau direksi. Penelitian ini dilakukan dengan membuat forecasting terhadap data CAR BPR/BPRS yang dipublikasikan sebelum ditetapkan BDPK untuk menguji apakah data CAR tersebut dapat digunakan untuk memprediksi bank akan ditetapkan sebagai BDPK. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik forecasting ARIMA, trend analysis dan pengujian signifikansinya dengan sign test. Fraud terjadi karena lemahnya implementasi tata kelola yang baik (good corporate governance). Penelitian ini menguji beberapa variabel sebagai proxy kelemahan implementasi tata kelola yaitu (1) ketidaklengkapan surat pernyataan tanggung jawab apabila menjadi bank gagal dari komisaris; (2) ketidaklengkapan surat pernyataan tanggung jawab apabila bank menjadi bank gagal dari direksi; (3) v adanya perangkapan peran antara pemegang saham dan anggota direksi; (4) kondisi status BPR/BPRS yang sebelumnya pernah ditetapkan sebagai BDPK; (5) tingkat kepatuhan BPR/BPRS dalam membayar premi dengan jumlah yang tepat, memiliki pengaruh terhadap probabilitas kegagalan BPR/BPRS. Selanjutnya berdasarkan hasil pengujian, dengan menggunakan analisis stepwise dan regresi logistik dibuat permodelannya. Hasil penelitian menunjukan bahwa CAR BPR/BPRS yang dihitung berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan BPR/BPRS setiap triwulan adalah tidak andal untuk memprediksi kegagalan BPR/BPRS. Selain itu, hasil penelitian juga membuktikan terdapat pengaruh signifikan atas kelemahan implementasi tata kelola terhadap kegagalan BPR/BPRS, yaitu (1) adanya perangkapan peran antara pemegang saham dan anggota direksi; (2) kepatuhan BPR/BPRS dalam membayar premi dengan jumlah yang tepat; (3) kelengkapan surat pernyataan dari direksi; (4) kelengkapan surat pernyataan dari komisaris; dan (5) kondisi status BPR/BPRS sebelumnya apakah pernah ditetapkan sebagai BDPK. Berdasarkan hasil penelitian, model prediksi kegagalan BPR/BPRS berdasarkan implementasi tata kelola, adalah sebagai berikut: ���� = �� (�� + ��−(��.������������−��.������������+��.������������+��.������������ + ��.������������ −��.��������)) dimana: Pi : Probabilitas BPR/BPRS gagal X1 : Perangkapan peran pemegang saham dan anggota direksi X3 : Kepatuhan bank dalam membayar premi dengan jumlah yang tepat X5 : Ketidaklengkapan surat pernyataan dari direksi X6 : Ketidaklengkapan surat pernyataan dari pemegang saham pengendali X8 : Bank telah ditetapkan sebagai BDPK Implikasi manajerial terhadap hasil penelitian ini adalah perlunya perbaikan tata kelola BPR/BPRS, yaitu (1) kebijakan mengenai larangan perangkapan peran pemegang saham dan anggota direksi BPR/BPRS; (2) menghilangkan pengecualian bagi BPR/BPRS untuk tidak dilakukan audit laporan keuangan oleh akuntan publik; (3) penerapan sanksi bagi pemegang saham pengendali atau anggota direksi BPR/BPRS yang tidak menyampaikan surat pernyataan kepada LPS untuk mematuhi seluruh ketentuan program penjaminan LPS dan bertanggung jawab secara pribadi atas kelalaian dan/atau perbuatan yang melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian atau membahayakan kelangsungan usaha bank; dan (4) peningkatan pengawasan oleh OJK dengan lebih difokuskan pada implementasi tata kelola bank yang baik (Good Corporate Governance).
dc.publisherIPB Universityid
dc.subject.ddcManajemen Keuanganid
dc.titleModel Prediksi Kegagalan Bpr/Bprs Berbasis Tata Kelolaid
dc.subject.keywordManajemen Keuanganid
dc.subject.keywordBank Gagalid
dc.subject.keywordCapital Eduquacy Ratio (Car)id
dc.subject.keywordFailed Bankid
dc.subject.keywordForecastingid
dc.subject.keywordFroudid
dc.subject.keywordGood Coorporate Governance (Gcg)id
dc.subject.keywordManajemen Keuangan bank gagalid
dc.subject.keywordcapital adequacy ratioid
dc.subject.keywordfailed bankid
dc.subject.keywordforecastingid
dc.subject.keywordfraudid
dc.subject.keywordgood corporate governance. capital adequacy ratioid
dc.subject.keywordfailed bankid
dc.subject.keywordforecastingid
dc.subject.keywordfraudid
dc.subject.keywordgood corporate governanceid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record