Kajian Indeks Kekeringan Keetch-Byram (Ikkb) Daerah Sumatera Selatan Dan Kalimantan Timur dan Kasus Uji Pembakaran Lahan Di Jasinga
Abstract
Beragam masalah yang timbul dari kebakaran hutan memerlukan penanganan secara serius, oleh karena itu manajemen kontrol kebakaran berusaha melakukan penekanan pada upaya pencegahan selain penekanan terhadap pengendalian setelah tejadi kebakaran. Dalam rangka upaya pencegahan (deteksi) kebakaran hutan maka dilakukan pengembangan sistem peringkat bahaya kebakaran hutan (Fire Danger Ratir~gS yster?~F/ DW. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat bahaya kebakaran hutan berdasarkan pengelolaan data cuaca adalah metode Indeks Kekeringan Keetch Byram (IKKB). Metode ini digunakan dalam sistem peringkat bahaya kebakaran hutan yang dikembangkan pertama kali oleh Kanada, sehingga agar dapat diterapkan di Indonesia yang berbeda iklim maka diperlukan suatu evaluasi terhadap UCKB ini. Evaluasi ini dilakukan dengan membandingkan hasil metode IKKB yang diterapkan untuk daerah Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur dengan data luasan kebakaran hutan dan jumlah hot spot pada daerah tersebut. Daerah Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur mengalami dua puncaW bimodal dalam pola curah hujan bulanan rata-ratanya. Untuk Sumatera Selatan, puncak curah hujan dicapai pada bulan Maret dan Desember, sedangkan curah hujan terendah dicapai bulan September. Untuk Kalimantan Timur, puncak curah hujan dicapai pada bulan Mei dan Desember, sedangkan curah hujan terendah dicapai pada bulan yang sama dengan daerah Sumatera Selatan yaitu bulan September. Daerah Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur mempakan daerah tropik yang berada di dekat ekuator sehingga kedua daerah tersebut mempunyai pola hujan bimodal. Sedangkan untuk suhu udara maksimum, terjadi time lag sekitar 1-2 bulan lebih awal terhadap curah hujan. Untuk mengetahui keeratan hubungan antara Indeks Kekeringan Keetch Byram (IKKB) dengan unsur-unsur cuaca, terutama curah hujan dan suhu udara maksimum, dapat ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi (r) . Dari hasil analisis didapatkan nilai r yang lebih besar dari regresi linier antara IKKB dengan curah hujan (0.8027 untuk Kalimantan Timur dan 0.7745 untuk Sumatera Selatan) dibandingkan nilai r untuk hubungan IKKB dan Tmaks. Sehingga dapat diketahui bahwa nilai MKB sangat dipengaruhi oleh nilai curah hujan, di mana nilai CH ini akan berbanding terbalik dengan nilai LKKB. Pola IKKB bulanan ini berlawanan dengan pola curah hujan, di mana IKKB akan bernilai tinggi hila curah hujannya hernilai rendah. Selama periode 1996-2000 untuk daerah Sumatera Selatan mengalami indeks kekeringan bulanan rata-rata dengan tingkat bahaya rendah pada bulan April dan Desember serta tingkat bahaya sedang pada bulan Januari-Maret, Mei-Juni, dan Oktober-November. Hal ini disebabkan karena pada bulan-bulan tersebut mempakan bulan basah dengan curah hujan yang tinggi dan suhu maksimumnyapun rendah. Berbeda dengan bulan Juli, Agustus, dan September yang mempunyai indeks kekeringan dengan tingkat bahaya Tinggi di mana curah hujan pada bulan-bulan tersebut rendah dan suhu maksimumnya cukup tinggi. Untuk Kalimantan Timur, dilihat dari nilai IKKB bulanan rata-rata nilai IKKB bulanan berada pada tingkatan sedang sepanjang tahun dengan IKKB tertinggi dicapai pada bulan Agustus-September, sesuai dengan nilai curah hujan yang hampir merata sepanj& t&n. - Dilihat dari grafik maupun dari nilai R2 yang diperoleh, didapatkan bahwa pola luasan kebakaran hutan tidak mengikuti pola IKKB baik untuk daerah Sumatera Selatan maupun Kalimantan Timur. Begitu pula untuk pola jumlah hot spot , di mana polanya kurang mengikuti pola IKKB dilihat dari nilai R2-nya, tetapi dilihat dari grafiknya maka pola hot spot ini tidak mengikuti pola LKKB. Hal ini membuktikan bahwa kebakaran yang terjadi di Indonesia akibat dari pembakaran. Karena untuk melakukan pembakaran tidak memerlukan nilai IKKB yang tinggi. Jika suatu lahan kering di mana curah hujan tidak tejadi selama beberapa hari dan suhu udaranya cukup tinggi maka pembakaran bisa dilakukan. Hal ini juga didukung dengan data nilai IKKB bulanan pada saat peristiwa kebakaran hutan periode 1997-1998 yang menunjukkan bahwa kejadian kebakaran tersebut tejadi pada saat nilai IKKB berada pada tingkatan bahaya yang bervariasi dari rendah, sedang maupun tinggi. Mengingat bahwa kebakaran yang tejadi di Indonesia adalah sebenarnya adalah kegiatan yang disengaja (pembakaran), maka dilakukan uji pembakaran untuk mengetahui gambaran kondisi cuaca, kondisi bahan bakar, dan perilaku api. Dari uji pembakaran tersebut dapat diketahui bahwa kondisi cuaca sangat berpengamh terhadap pembakaran sehubungan dengan pengamhnya terhadap kadar air bahan hakar, tinggi api dan penjalaran api. Kondisi cuaca sangat berpengamh terhadap kadar air bahan bakar. Di mana kadar air bahan bakar hersama-sama potensi dan ketebalan bahan bakar mempengamhi tinggi api. Sedangkan penjalaran api ternyata dipengamhi oleh kelerengan lahan, kecepatan angin, dan kadar air bahan bakar. Besarnya intensitas api ini dipengamhi oleh tinggi api dari masing-masing plot. Sedangkan panas per unit area mempakan fungsi dari tinggi api dan kecepatan penjalaran api masing-masing plot. Berdasarkan hasil uji t-student, diketahui bahwa daerah Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur mempunyai nilai indeks kekeringan yang tidak berbeda nyata. Tetapi bila dibandingkan dengan daerah Jasinga, kedua daerah tersebut nilai indeks kekeringannya lebih besar dibandingkan Jasinga karena perbedaan kondisi iklimnya. Ketiga daerah tersebut pada umumnya mengalami kondisi cuaca yang sesuai untuk pembakaran pada bulan Juni-September, di mana kondisinya kering tetapi tidak ekstrim sehingga pembakaran akan terkendali dan mengbasilkan asap yang minimum.

