Mempelajari Beberapa Aspek Agroklimat Tanaman Tebu (Saccharum officinarum) Di Pertkebunan Pabrik Gula Tersana Baru, PTP XIV-Cirebon
Abstract
Sebelum Perang Dunia II, Indonesia merupakan negara kedua pengekspor gula di dunia setelah Cuba, dengan produksi hampir mencapai tiga juta ton pertahun (Kartasasmita, 1980). Setelah Perang Dunia II, produksi gula Indonesia menurun sekitar 30 persen dari produksi yang pernah dicapai sebelum Perang Dunia II. Hal ini akibat terjadinya krisis ekonomi dunia serta banyak pabrik gula yang rusak dan pengelolaan kebun tebu yang tidak memadai. Dengan keadaan gula seperti sekarang, Indonesia telah menjadi negara pengimpor gula untuk dapat memenuhi kebutuhan gula dalam negeri.
Konsumsi gula dalam negeri dari tahun ke tahun meningkat 3 sampai 4 persen akibat pertambahan penduduk dan meningkatnya kebutuhan gula perorangan untuk berbagai macam keperluan. Menurut Viton (1972), pada negara yang sedang berkembang dengan pendapatan kurang dari US $ 100, maka konsumsi gula akan meningkat 12 persen dengan meningkatnya pendapatan sebesar 10 persen.
Soeparto (1981) menyatakan bahwa bila pada tahun 1988 jumlah penduduk Indonesia mencapai 177 286 808 jiwa dan apabila konsumsi gula sebesar 17.66 kg per kapita setahun, maka akan dibutuhkan gula sebanyak 3 131 855 ton. Kapasitas produksi gula yang ada sekarang di Jawa dan pabrik-pabrik gula yang mulai berproduksi antara tahun 1979 dan tahun 1983, hanya dapat mencapai produksi sebesar 1 433 844 ton.