Teknik kriopreservasi Acacia mangium willd dan paraserianthes falcataria (L) Nielsen sebagai model tanaman kehutanan
View/ Open
Date
1999Author
Arifani, Rino
Farisy, Salman
Sudarmonowati, Enny
Metadata
Show full item recordAbstract
Kegiatan konservasi semakin diperlukan akibat eksploitasi hutan yang berlebihan dan bencana alam yang sebenarnya banyak di sebabkan oleh faktor manusia. Menurut habitatnya kegiatan konservasi dapat dilakukan di dalam habitat (in situ) maupun di luar habitat (ex situ). Salah satu metode konservasi ex situ yang sedang dikembangkan dewasa ini adalah teknik kultur jaringan. Dengan teknik ini kegiatan konservasi tidak lagi memerlukan tempat yang luas, adanya kemungkinan penyediaan benih di luar musim, mampu menyimpan bahan tanaman yang tidak menghasilkan biji. menghasilkan biji sedikit, bahkan steril, maupun spesies yang hanya bisa dibiakkan secara vegetatif Juga bisa dihasilkan tanaman yang bebas virus, terhindar dari bencana alam seperti banjir, kebakaran. musim kemarau yang panjang, dan serangan hama serta penyakit.
Konservasi dengan teknik kultur jaringan (konservasi in vitro) yang menghambat pertumbuhan (slow growth technique) masih memungkinkan perubahan genetik pada tanaman selama penyimpanan maupun akibat subkultur yang berulang-ulang. Oleh karena itu dikembangkan teknik kriopreservasi, yaitu teknik penyimpanan organ, jaringan, atau sel tanaman pada suhu ultra rendah (- 196°), yaitu dalam nitrogen cair. Pada suhu tersebut metabolisme terhenti sehingga tidak dimungkinkan adanya perubahan genetik selama penyimpanan.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mencari metode kriopreservasi terbaik untuk dua jenis tanaman kehutanan, yaitu Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen dan Acacia mangium Willd sebagai model tanaman kehutanan dengan membandingkan dua teknik kriopreservasi, yaitu teknik vitrifikasi atau enkapsulasi-dehidrasi.
Perlakuan yang dicoba adalah dua jenis konsentrasi sukrosa yang ditambahkan pada media prakultur (0,4 M atau 0,8 M), metode dan lamanya dehidrasi (kering udara dalam laminar air flow atau menggunakan silika gei selama 06 jam), lamanya vitrifikasi (10, 20, atau 30 menit), dan lamanya pencairan (thawing). Media standar yang dipakai adalah MS (Murashige dan Skoog, 1962) yang mengandung 2 mg/L BAP dan 2% sukrosa. Untuk mengetahui perbedaan persentase tunas yang bertahan hidup (memproduksi kalus atau membentuk tunas baru) pada tiap perlakuan digunakan uji wilayah berganda Duncan (Duncan multiple range test).
Enkapsulasi dan prakultur dalam media cair tidak mempengaruhi persentase hidup semua tumas pucuk yang dicoba. Kecuali untuk tunas pucuk sengon dari lapangan yang semuanya mati ketika diprakulturkan di media caîr MS+ 0,8 M sukrosa. Berkurangnya kadar air selama dehidrasi dapat menjadi sebab utama menurunnya persentase hidup semua tunas pucuk yang tidak dibekukan.
Collections
- UT - Forest Management [2977]