Show simple item record

dc.contributor.authorKusrini, Mirza D.
dc.date.accessioned2024-03-18T02:49:20Z
dc.date.available2024-03-18T02:49:20Z
dc.date.issued2023
dc.identifier.citationAllison A. 2006. Reptiles and Amphibians of the Trans-Fly Region, New Guinea. Honolulu, Hawaii: Magnolia Press. Burwos HR, Heatubun CD, Worabai MS. 2020. Keanekaragaman jenis reptil di sekitar Sungai Asei Kampung Saokorem Kabupaten Tambrauw. Jurnal Kehutanan Papuasia. 6(2): 122 Gaveau D, Santos L, Locatelli B, Salim MA, Husnayaen H, Meijaard E, Heatubun C, Sheil D. 2021. Forest loss in Indonesian New Guinea (2001–2019): trends, drivers and outlook. Biological Conservation. 261:109225. Gillespie GR, Howard S, Stroud JT, Ul-Hassanah A, Campling M, Lardner B, Scroggie MP, Kusrini M. 2015. Responses of tropical forest herpetofauna to moderate anthropogenic disturbance and effects of natural habitat variation in Sulawesi, Indonesia. Biological Conservation 192: 161–173. Heyer WR, MA Donnelly, RW McDiarmid, LC Hayek, Foster MS. 1994. Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standard Methods for Amphibians. Washington (US): Smithsonian Institution Press. Iskandar DT. 2000. Kura-kura & Buaya Indonesia & Papua Nugini Dengan Catatan Mengenai Jenis-jenis di Asia Tenggara. Bandung: PALMedia Citra. Iyai DA, Sada Y, Koibur JF, Bauw A, Worabay M, Wajo MJ, Pakage S, Wambrauw H. 2020. Potensi dan pemanfaatan satwa liar di Kampung Pasir Putih Kabupaten Fakfak Papua Barat. Jurnal Biologi Tropis. 20(2):203-210. Jaya INS, Saleh MB, Kuncahyo B, Prihanto B, Puspaningsih N, Tiryana T. 2022. Kajian Pelaksanaan Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala Berbasis Citra di Kabupaten Merauke Papua. Bogor : Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB. Kartikasari SN, Marshall AJ, Beehler BM. 2012. Seri Ekologi Indonesia, Jilid VI: Ekologi Papua. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Kraus F. 2013. A new species of Hylophorbus (Anura: Microhylidae) from Papua New Guinea. Current Herpetology. 32(2):102-111. Krey K, Burwos H. 2019. Keanekaragaman Katak dan Reptil dari Areal Koperasi Masyarakat Adat Papua Kami-Nassey, Teluk Wondama, Papua Barat. Igya Ser Hanjop. 1(1): 25-36. Krey K, Tuwurutubun P. 2021. Herpetofauna dari Hutan Desa Ubadari Fakfak: Keanekaragaman, kepadatan, dan upaya konservasi. Igya Ser Hanjop. 3(2):159-176. Kusrini MD. 2019. Metode Survei dan Penelitian Herpetofauna. Bogor, Indonesia: IPB Press. Kusrini MD, Khairunnisa LR, Nusantara A, Kartono AP, Prasetyo LB, Ayuningrum NT, Faz FH. 2020. Amphibians and reptiles in various anthropogenic disturbance habitats in Nantu Forest, Sulawesi, Indonesia. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 26(3):291-302. Moy MS, Mardiastuti A, Kahono S. 2016. Response of Dung Beetle communities (Coleoptera: Scarabaeidae) across gradient of disturbance in the tropical low-land forest of Buton, Sulawesi. Zoo Indonesia, 25(1):58–70. O’Shea M. 1996. A Guide to The Snakes of Papua New Guinea: The First Comprehensive Guide to the Snake Fauna of Papua New Guinea. Rooij ND. 1915. The Reptiles of the Indo-Australian Archipelago. Lacertilia, Chelonia, Emydosauria Volume I. Leiden (NLD): E J Brill Ltd. Rooij ND. 1917. The Reptiles of the Indo-Australian Archipelago II. Leiden: E.J. Brill Ltd. Syazali M, Idrus A Al, Hadiprayitno G. 2017. Analisis Multivariat dari Faktor Lingkungan yang Berpengaruh terhadap Struktur Komunitas Amfibi di Pulau Lombok. Jurnal Pendidikan Biologi. 10:68-75. Tajalli A., Kusrini MD, Abdiyansyah R, Kartono A. 2021. Keanekaragaman jenis reptil dan amfibi di Kawasan Lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur. Zoo Indonesia. 30(2): 68– 84. Willson D. 2006. On green python the ecology and conservation of Morelia Viridis [tesis]. Australia: Australian National University Zug GR, Allison A. 2006. New Carlia fusca complex lizards (Reptilia: Squamata: Scincidae) from New Guinea, Papua-Indonesia. Zootaxa. 1237id
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/142052
dc.description89 hlm.id
dc.description.abstractProvinsi Papua merupakan salah satu bagian dari kepulauan Indonesia timur yang secara astronomis memiliki panjang 2800 km dengan lebar 750 km dan terbentang dari garis khatulistiwa hingga 12 LS dan 129-155 BT (Kartikasari et al. 2012). Letak astronomis yang demikian menyebabkan wilayah Papua memiliki berbagai macam tipe ekosistem dan daerah biogeografis (Iyai et al. 2020). Wilayah ini memiliki berbagai tipe ekosistem seperti ekosistem pantai, dataran rendah, gua, pegunungan rendah, dan pegunungan tinggi (Kartikasari et al. 2012). Keunikan ekosistem ini menjadi habitat yang ideal bagi kehidupan satwa endemik maupun eksotik. Tingginya potensi keanekaragaman hayati yang dimiliki tersebut menyebabkan semakin tinggi pula tantangan dalam mempertahankannya. Pemanasan global dan perusakan habitat akibat adanya pembangunan menjadi ancaman terbesar terhadap kepunahan biodiversitas tersebut (Lovejoy dan Hannah 2005). Provinsi Papua memiliki sungai-sungai besar dengan lebar melebihi 50 m yang melewati berbagai tipe lanskap, mulai dari kawasan urban, peri-urban, pertanian sampai hutan. Sungai sungai ini terhubung dengan rawa-rawa permanen maupun rawa banjir yang menjadi sumber air utama bagi kehidupan di sekitarnya. Lanskap perairan tawar di Papua bagian selatan masuk ke dalam ecoregion perairan tawar Southwest New Guinea –Trans Fly Lowland (Abell et al. 2008). Kabupaten Digul yang terletak di propinsi Papua bagian selatan memiliki beberapa sungai besar. Paling tidak terdapat sungai Digul yang kemudian bercabang menjadi sungai Uwin Merah atau sungai Kao. Sungai Digul merupakan sungai yang dalam dan lebar, yang memungkinkan kapal-kapal besar masuk ke Boven Digul. Sungai Uwin merah lebih sempit dari sungai Digul namun memiliki lebar lebih dari 50 m. Makin ke hulu, lebar sungai makin menyempit namun masih lebih lebar dari 30 m. Di kiri-kanan sungai ini adalah kawasan konsesi pengusahaan hutan dan hutan tanaman milik Korindo Grup. Korindo Group di kabupaten Boven Digul terdiri dari 11 perusahaan dengan bergerak di bidang pengelolaan hutan, perkebunan sawit dan tanaman industri. PT Inocin Abadi merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan kayu hutan alam (HPH) di Provinsi Papua. Perusahaan ini berlokasi di Kampung Asiki, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua. PT Inocin Abadi memiliki luas keseluruhan kurang lebih 99,665 Ha yang terdiri atas berbagai tipe habitat berupa hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, belukar, belukar rawa, semak, lahan terbuka, dan badan air (Jaya et al. 2022). Kawasan PT Inocin Abadi ini terbagi menjadi beberapa wilayah RKT (Rencana Kinerja Tahunan). Setiap tahun RKT tersebut memiliki tipe habitat dan tutupan lahan yang bervariasi. Kondisi kawasan setelah dilakukan penebangan berbeda antara lahan yang baru ditebang dan sudah lama ditebang. Variasi tutupan lahan yang berbeda menyebabkan tingkat keanekaragaman yang berbeda pula (Kwatrina et al. 2018). Menurut Kartikasari et al. (2012), terdapat 150 jenis amfibi di Papua yang sebagian besar masih belum diketahui jenisnya. Penelitian terkait keanekaragaman herpetofauna telah dilakukan Krey dan Burwos (2019) di Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Indrayani et al. (2020) terkait keanekaragaman katak di Pegunungan Arfak, Provinsi Papua Barat. Papua sebagai salah satu pulau besar, namun penelitian keanekaragaman khususnya amfibi di Papua belum banyak dilakukan, terutama di wilayah kabupaten dan wilayah terbangun lainnya. Penelitian keanekaragaman amfibi di lokasi ini penting dilakukan untuk mengetahui perbedaan keanekaragaman amfibi pada kawasan tebangan lama dan kawasan tebangan baru sekaligus melihat data keanekaragaman amfibi dan reptil terbaru di Papua, terutama di Kabupaten Boven Digoel dalam upaya manajemen dan konservasi. Beberapa jenis satwa yang ada di sekitar sungai di areal Korindo Group dapat menjadi spesies bendera (flagship species) yang penting untuk mempromosikan konservasi hidupan liar kepada masyarakat, yaitu Kura-kura moncong babi (Carettochelys insculpta). Carettochelys insculpta merupakan salah satu kura-kura yang jenisnya di Indonesia hanya terdapat di Papua bagian selatan, menyebar dari wilayah Merauke sampai ke Kaimana. Saat ini, C. insculpta dimasukkan ke dalam Apendix II CITES (Convention International Trade in Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna) (UNEP-WCMC, 2011) dengan status Endangered oleh The IUCN Red List of Threatened Species (Eisemberg et al., 2018). Di Indonesia Carettochelys insculpta merupakan satwa dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/5/1978 dan dikuatkan pula oleh PP No. 7 Tahun 1999 serta PP Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MenLHK/Setjen/Kum.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Tekanan pada kura-kura moncong babi telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, khususnya di Papua Barat (Indonesia) dan Papua New Guinea, terutama karena pertumbuhan populasi manusia, kecenderungan yang lebih besar bagi pembangunan desa-desa di tepi sungai setelah penghentian perang suku dan pengenalan teknologi baru (Alvarenga 2010), sedangkan kegiatan pertanian dan drainase pada Daerah Aliran Sungai (DAS) di Australia Utara potensi memberikan dampak serius bagi populasi kura-kura moncong babi (Georges et al. 2008). Pada degradasi habitat kura-kura, Carriére dan Demers (2010) menyampaikan bahwa kehilangan tempat berjemur alami, pertumbuhan rumput pada tepi, hilangnya vegetasi air, dan pembangunan dermaga, dapat memberikan dampak buruk bagi berkurangnya populasi kura-kura Graptemys geographica. Penelitian kura-kura moncong babi yang dipublikasikan lebih banyak dilakukan di Australia dan Papua New Guinea (Doody et al. 2000, Georges et al. 2008, Eisemberg 2005). Di Indonesia, laporan mengenai Carettochelys insculpta di alam hanya ada di Sungai Vriendschap, Asmat dan Kaimana sementara di DAS Digul tidak ada. Oleh karena itu, mulai tahun 2022 dilakukan penelitian pendahuluan yang menganalisa perlu dilakukan penelitian lebih mendalam mengenai ekologi, populasi dan pemanfaatan tradisional di kawasan ini. Namun demikian, untuk melestarikan jenis ini perlu dilakukan pembinaan habitat secara baik. Pemahaman tentang pergerakan dan home range kura-kura dan peran mereka dalam komunitas akuatik dapat ditingkatkan lebih lanjut dengan studi menggunakan radio telemteri. Peralatan radio telemetri merupakan salah satu teknik mengamati pergerakan satwa liar. Radio telemetri tetap menjadi metode yang paling populer untuk menemukan hewan berulang kali (White dan Garrott 1990). Teknik ini memungkinkan para peneliti untuk menjaga kontak dengan hewan yang diteliti, memberikan kesempatan untuk menjawab berbagai pertanyaan mengenai biologi dan konservasi hewan. Secara tradisional, telemetri radio sangat penting untuk menentukan ekologi spasial suatu spesies, pergerakan dan penggunaan habitat. Ujvari dan Korsos (2000) meyatakan bahwa radio telemetri mampu menghasilkan data ekologi yang tidak bisa didapatkan dengan teknik pengamatan langsung tradisional, serta memungkinkan untuk mengukur data tersebut dalam bentuk kuantitatif. Data yang diperoleh dari satwaliar yang dipantau berupa daerah jelajah, aktivitas harian dan musiman, penggunaan substrat dan mikrohabitat yang diperlukan untuk konservasi in-situ satwaliar. Penggunaan telemetri ini menggunakan objek individu dari satwaliar yang terpilih kemudian dianalisis data ekologinya (Rogers and White 2007). Selain itu penggunaan radio telemetri dalam pengamatan langsung pergerakan satwaliar dianggap lebih efisien dibandingan metode pengamatan langsung manual, karena penggunaan radio tracking dapat menghasilkan data yang lebih akurat dibandingkan metode manual. Menurut Doody (2009) Reptil menjadi subjek yang baik untuk telemetri radio karena beberapa alasan. Pertama, reptil dewasa dari sebagian besar spesies cukup ukuran yang besar untuk membawa pemancar dengan masa pakai baterai yang cukup untuk beberapa bulan pelacakan. Kedua, permukaan keras beberapa reptil, seperti kura-kura dan buaya, memudahkan pemasangan radio-tag dan tubuh panjang ular dan biawak sangat cocok untuk menanamkan radio-tag dan antena terkait. Ketiga, reptil bersifat tertutup dan banyak yang tetap tidak aktif hampir sepanjang hari atau musim. Dalam banyak kasus, pemahaman tentang biologi mereka hanya dapat diungkapkan melalui radio telemetri. Beberapa penelitian menggunakan radio telemetri telah dilakukan pada, kura-kura, penyu, mamalia, dan burung baik di Indonesia. Hasil dari penelitian memberikan nilai positif terhadap upaya konservasi di Negara tersebut. Di Indonesia, penelitian menggunakan radio telemetri dilakukan sejak 1986 (Crompton dan Andau 1986). Hingga saat ini, penelitian menggunaan metode ini di Indonesia baru dilakukan untuk melihat pergerakan beberapa jenis satwa liar saja seperti yang pernah dilakukan pada katak pohon jawa di Taman Nasional Gede Pangrango oleh Siregar (2013), lemur oleh Tsuji et al. di Pangandaran (2019), poksai sumatera di Sumatera Utara oleh Busina et al. (2018), pada kura-kura Ambon oleh Aini (2021). Carettochelys insculpta (Kura-kura moncong babi, pig-nosed turtle) termasuk dalam famili Carettochelyidae dan merupakan satu-satunya spesies dari famili ini yang masih tersisa di dunia. Kura-kura ini merupakan salah satu jenis berukuran besar dengan sebaran terbatas di Selatan New Guinea dan Australia Utara dengan populasi perkembangbiakan cukup baik terdapat di sungai Daly pada aliran Alligator Timur dan Alligator Selatan (Doody et al. 2000; Georges dan Kennett 1989) dan di Indonesia (IUCN 2010) yang hanya terdapat di Papua bagian selatan, menyebar dari wilayah Merauke sampai ke Kaimana. C. insculpta merupakan satwa reptil yang hampir seluruh hidupnya selalu di dalam air (aquatic) dan hanya ke darat saat bertelur saja. Salah satu upaya pelestariannya adalah melalui pembinaan habitat alami. Untuk dapat melakukan pembinaan habitat secara baik, salah satunya diperlukan informasipergerakan dan home range. Dengan mengetahui perilaku dan luas daerah jelajah tersebut maka dapat diketahui tindakan yang diperlukan dalam pembinaan habitat. Informasi terkait pergerakan dan home range spesies C. insculpta di Indonesia sangatlah kurang walau dengan status vulnerable pada daftar merah IUCN. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai pergerakan dan home range oleh kura-kura moncong babi. Dengan mengetahui informasi terkait pergerakan dan home range serta informasi pendukung lainnya, maka manajemen pengelolaan terhadap kelestarian spesies C. insculpta dapat dilakukan dengan baik. Dalam upaya mendapatkan informasi terkait C. insculpta maka dalam penelitian ini perlu diketahui pergerakan dan home range.id
dc.description.sponsorshipKORINDOid
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB Universityid
dc.subject.ddcDepartment of Forest Resources Conservation & Ecotourism - Faculty of Forestry and Environmentid
dc.titlePENELITIAN KURA-KURA MONCONG BABI DAN HERPETOFAUNA DI KORINDO GROUP 2023id
dc.typeIPBana / Research Reportid
dc.subject.keywordKura-kura moncong putihid
dc.subject.keywordKura-kura moncong babiid
dc.subject.keywordReptilid
dc.subject.keywordAmphibiid
dc.subject.keywordHutan produksiid
dc.subject.keywordBoven digoelid
dc.subject.keywordPapua selatanid
dc.subject.keywordCamera trapid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record