Show simple item record

dc.contributor.advisorIrawan, Tony
dc.contributor.advisorAmpofo, Akwasi
dc.contributor.authorMursalin, Destrianto
dc.date.accessioned2024-01-30T06:04:07Z
dc.date.available2024-01-30T06:04:07Z
dc.date.issued2023
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/136692
dc.description.abstractThe implementation of fiscal decentralization has been going on for more than two decades in Indonesia, but the issue of economic inequality between regions continues to be the main focus. Regions that are rich in resources or experiencing rapid growth tend to outperform other regions. The central government responded to this challenge by allocating funds through a fiscal decentralization scheme. This research explores the dynamics of 509 districts/cities from 2015 to 2022 to understand the condition of inequality in Indonesia. The main focus is on factors that influence per capita income, both conventionally and spatially, as well as their direct and indirect effects. The research also seeks to identify the impact of the COVID-19 pandemic on the models that have been developed. In evaluating inequality between regions, the Theil and Williamson index is used as a guide. Conventional modeling is carried out through panel data analysis, while spatial modeling is implemented through various spatial panel data models such as Spatial Autoregressive (SAR), Spatial Error Model (SEM), Spatial Autocorrelation Error Model (SAC/SARAR), dan Spatial Durbin Model (SDM), complete with direct and indirect impacts. A similar approach was applied to assess the impact of COVID-19 by dividing the data into two conditions, before and after the pandemic. The research findings illustrate the disparities in per capita income that still occur, especially in the Western Territory of Indonesia (KBI), especially Java and Kalimantan. Of the various fiscal decentralization instruments and variables used, only four factors were proven to significantly influence per capita income in the conventional Fixed Effect model, namely profit sharing funds (DBH), special autonomy and adjustment funds (DOPS), number of hospital facilities (HOPITAL), and domestic investment (INVEST), with DBH emerging as the most influential factor. Further findings indicate the existence of a spatial influence on per capita income, with the SDM being the best model showing a positive relationship. However, SDM also brings complexity, where DBH, although contributing directly to an area's income, has a negative impact on surrounding areas due to inefficiencies in the allocation system. This highlights the need for a more careful approach in designing and implementing fiscal decentralization policies. Amid these findings, policymakers are encouraged to adopt a three-step approach. First, to reduce the income gap between the West and East regions, the central government needs to understand the unique challenges of each region and implement asymmetric policies. Second, the DBH allocation system needs to receive a thorough review in order to minimize negative impacts and increase overall regional economic efficiency. Additionally, creating an enabling environment for domestic investment, perhaps through incentive policies, could further stimulate economic activity and contribute to a more balanced and resilient economy. Third, the government needs to encourage public participation in monitoring and criticizing the use of the expenditure budget so that it is of higher quality and transparency through the Satu Data Indonesia website. Apart from gaining real-time control from the community, the central government can also more easily monitor the quality of regional spending.id
dc.description.abstractPenerapan desentralisasi fiskal telah berlangsung selama lebih dari dua dekade di Indonesia, namun isu ketidaksetaraan ekonomi antarwilayah terus menjadi fokus utama. Daerah yang kaya sumber daya atau mengalami pertumbuhan pesat cenderung unggul dibandingkan dengan daerah lainnya. Pemerintah pusat merespon tantangan ini dengan mengalokasikan dana melalui skema desentralisasi fiskal. Penelitian ini mengeksplorasi dinamika 509 kabupaten/kota dari tahun 2015 hingga 2022 untuk memahami kondisi ketidaksetaraan di Indonesia. Fokus utamanya adalah faktor-faktor yang memengaruhi pendapatan per kapita, baik secara konvensional maupun spasial, serta efek langsung dan tidak langsungnya. Penelitian juga berusaha mengidentifikasi dampak pandemi COVID-19 pada model yang telah dikembangkan. Dalam mengevaluasi ketidaksetaraan antarwilayah, digunakan indeks Theil dan Williamson sebagai panduan. Pemodelan konvensional dilakukan melalui analisis data panel, sementara pemodelan spasial diimplementasikan melalui beragam model data panel spasial seperti Spatial Autoregressive (SAR), Spatial Error Model (SEM), Spatial Autocorrelation Error Model (SAC/SARAR), dan Spatial Durbin Model (SDM), lengkap dengan dampak langsung dan tidak langsungnya. Pendekatan serupa diterapkan untuk menilai dampak COVID-19 dengan membagi data menjadi dua kondisi, sebelum dan sesudah pandemi. Temuan penelitian menggambarkan disparitas pendapatan per kapita yang masih terjadi, terutama di Kawasan Barat Indonesia (KBI), khususnya Pulau Jawa dan Kalimantan. Dari berbagai instrumen desentralisasi fiskal dan variabel yang digunakan, hanya empat faktor yang terbukti signifikan memengaruhi pendapatan per kapita dalam model konvensional Fixed Effect, yaitu dana bagi hasil (DBH), dana otonomi khusus dan penyesuaian (DOPS), jumlah fasilitas rumah sakit (HOPITAL), dan investasi dalam negeri (INVEST), dengan DBH muncul sebagai faktor paling berpengaruh. Temuan selanjutnya mengindikasikan adanya pengaruh spasial pada pendapatan per kapita, dengan SDM menjadi model terbaik yang menunjukkan hubungan positif. Akan tetapi, SDM juga membawa kompleksitas, dimana DBH, meskipun memberikan kontribusi langsung pada pendapatan suatu daerah, memiliki efek limpahan negatif pada daerah sekitarnya akibat ketidakefisienan dalam sistem alokasi. Hal ini menyoroti perlunya pendekatan yang lebih cermat dalam merancang dan melaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal. Di tengah temuan ini, para pembuat kebijakan didorong untuk mengadopsi pendekatan tiga langkah. Pertama, untuk mengurangi kesenjangan pendapatan antara wilayah Barat dan Timur, pemerintah pusat perlu memahami tantangan unik masing-masing wilayah dan menerapkan kebijakan asimetris. Kedua, sistem alokasi DBH perlu mendapat tinjauan menyeluruh guna meminimalkan dampak negatif dan meningkatkan efisiensi ekonomi regional secara keseluruhan. Selain itu, menciptakan lingkungan yang mendukung investasi dalam negeri melalui kebijakan insentif diduga dapat merangsang lebih cepat aktivitas ekonomi dan berkontribusi pada perekonomian yang lebih seimbang dan tangguh. Ketiga, pemerintah perlu mendorong partisipasi masyarakat dalam memantau dan mengkritisi penggunaan anggaran belanja sehingga lebih berkualitas dan transparan melalui website Satu Data Indonesia. Selain memperoleh kontrol dari masyarakat secara real-time, pemerintah pusat juga dapat lebih mudah melakukan monitoring kualitas belanja daerah.id
dc.description.sponsorshipBadan Pusat Statistik (BPS) & Australia Awards Scholarship (AAS)id
dc.language.isoenid
dc.publisherIPB Universityid
dc.titleBalancing Regional Growth, Equity, and Spatial: The Dilemma of Decentralization in Indonesia's Developmentid
dc.title.alternativeMenyeimbangkan Pertumbuhan Regional, Pemerataan, dan Kewilayahan: Dilema Desentralisasi dalam Pembangunan Indonesiaid
dc.typeThesisid
dc.subject.keyworddecentralizationid
dc.subject.keywordspatialid
dc.subject.keyworddisparitiesid
dc.subject.keywordspilloverid
dc.subject.keyworddesentralisasiid
dc.subject.keywordspasialid
dc.subject.keywordketimpanganid
dc.subject.keywordefek limpahanid


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record