Pengukuran Kuantitatif Tingkat Keberlanjutan Urban Form dalam Perencanaan Wilayah Koridor Selatan Konurbasai Jakarta-Bandung Mega-Urban Region (JBMUR)
View/ Open
Date
2023-12Author
Jatayu, Anoraga
Rustiadi, Ernan
Juanda, Bambang
Pribadi, Didit Okta
Metadata
Show full item recordAbstract
Urban form adalah pola spasial dari aktivitas manusia yang menciptakan jejak perkotaan (urban footprint). Hal ini mencakup karakteristik fisik yang membentuk konfigurasi spasial dari suatu wilayah, dan pola spasialnya. Urban form juga mencakup hubungan antara konfigurasi fisik dan elemen-elemen yang membentuk sebuah wilayah. Urban form dan hubungan antara elemen-elemen tersebut adalah hasil dari faktor multidimensional, termasuk demografi, status sosial-ekonomi, perencanaan, dan proses budaya. Urban form terus berkembang untuk menanggapi dinamika sosial, ekonomi, lingkungan, dan teknologi. Untuk mencapai pembangunan perkotaan yang berkelanjutan, strategi perencanaan harus mempertimbangkan keterkaitan perkotaan-pedesaan dan pengaturan urban form baik pada kawasan perkotaan, peri-urban, maupun perdesaan di sekitarnya. Konfigurasi urban form yang berhasil mendukung berbagai sistem perkotaan, menggunakan sumber daya secara berkelanjutan, dan memberikan dasar ekonomi yang kuat untuk menghasilkan kualitas hidup yang tinggi bagi penduduknya.
Jakarta-Bandung Mega-Urban Region (JBMUR) telah berkembang dan bertransformasi menjadi sebuah kawasan mega-urban yang memiliki multi-inti dan karakterstik aglomerasi secara terus menerus membentuk koridor konurbasi melalui proses mega-urbanisasi yang terjadi selama beberapa decade ini. Hal ini menyebabkan banyak timbulnya permasalahan alih fungsi lahan dan perubahan urban form yang akan mengakibatkan pertumbuhan yang tidak terkendali sehingga pola chaotic land-use, sprawl, dan desakota banyak terbentuk pada koridor-koridor konurbasi mega-urban ini. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan perencanaan berbasis objektif-kualitatif yang mempertimbangkan konfigurasi spasial wilayahnya melalui pendekatan quantitative zoning. Tujuan penelitian ini yaitu: (1) Menganalisis tipologi wilayah koridor selatan JBMUR; (2) Menganalisis dinamika pola spasial perkembangan wilayah dan urban form wilayah koridor Selatan JBMUR; dan (3) Mengembangkan metode pengukuran tingkat keberlanjutan wilayah koridor selatan JBMUR dalam perspektif urban form dan formulasi zonasi berbasis Form-Based Code (FBC).
Rustiadi’s Quantitative Zoning Method sebagai metode quantitative zoning digunakan untuk membentuk tipologi wilayah berdasarkan karakteristik fisik, sosial, ekonomi, dan formasi spasialnya. LDT Tools merupakan metode kuantifikasi landscape berbasis metrik dan spasial yang dapat menjelaskan dinamika urban form suatu wilayah. Keseluruhan elemen-elemen keberlanjutan urban form pada masing-masing zona tersebut kemudian diukur menggunakan kerangka pengukuran kuantitatif sustainable urban form secara multi-temporal untuk dapat mengetahui tingkat keberlanjutan serta tren keberlanjutan pada masing-masing zona. Kerangka metodologis untuk pengukuran kuantitatif tingkat keberlanjutan urban form ini juga merupakan novelty dalam penelitian ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipologi wilayah pada koridor selatan konurbasi JBMUR memiliki tipologi utama berupa: (1) urban; (2) rural; (3) peri-urban. Berdasarkan konfigurasi tersebut, terdapat empat zona perkotaan utama: (1) zona kawasan perkotaan Bogor; (2) zona perkotaan Puncak-Cipanas; (3) zona perkotaan Cianjur; dan (4) zona perkotaan Bandung Barat, dua zona peri-urban yang berupa koridor Bogor-Puncak dan koridor Cianjur-Bandung, serta zona perdesaan di sekelilingnya. Zonasi yang terbentuk dari pendekatan quantitative zoning ternyata memiliki ketidakselarasan yang cukup besar antara kebijakan perencanaan dengan kondisi eksistingnya, dengan tingkat inkonsistensi sebesar 30% antara kedua rumusan zonasi (quantitative zoning dan kebijakan perencanaan). Hal ini membuktikan bahwa gap antara scientific projection dan kebijakan yang berlaku masih ada.
Dinamika urban form yang diamati melalui LDT menunjukkan pola perkembangan ribbon, dengan koridor perkotaan utama pada kawasan perkotaan Bogor yang berbatasan langsung dengan inti metropolitan Jabodetabekpunjur dan meluas sepanjang wilayah Cianjur Utara dan Bandung Barat membentuk zona-zona perkotaan dan koridor-koridor peri-urban. Pola compaction/aggregation terlihat mendominasi di dalam zona perkotaan (mengindikasikan peningkatan intensitas aktivitas perkotaan) dan fragmentation/sprawling pada zona-zona diluarnya yang juga menandakan lemahnya kendali terhadap pemanfaatan ruang yang berbasis pola spasial.
Dinamika urban form tersebut juga tercermin dalam tingkat keberlanjutannya, di mana zona-zona peri-urban cenderung memiliki nilai compactness, contiguity, dan connectivity yang relatif rendah dibandingkan zona perkotaannya. Zona perkotaan baru dan terbentuk secara organik (Puncak-Cipanas, kawasan perkotaan Bogor) memiliki tingkat keberlanjutan lebih rendah dibandingkan dengan zona perkotaan yang terencana (Cianjur, Bandung Barat). Secara keseluruhan, zona perkotaan memiliki nilai keberlanjutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan peri-urban, dengan perkotaan Cianjur sebagai zona yang memiliki tingkat keberlanjutan tinggi diikuti dengan perkotaan Bandung Barat, kawasan perkotaan Bogor, dan Puncak-Cipanas yang memiliki tingkat keberlanjutan sedang.
Rekomendasi yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah melalui perencanaan zonasi berbasis quantitative zoning dan Form-Based Code (FBC). Tingkat perkembangan JBMUR yang saat ini mencapai tahap urban corridor menunjukkan adanya urban-rural transect yang beragam pada zona peri-urban dan perdesaannya. Zona perkotaan perlu di-buffer dengan zona peri-urban dengan intensitas yang lebih rendah, diikuti dengan zona rural untuk mewujudkan integrasi dan interaksi urban-rural yang lebih baik. Dalam hal ini, zona kawasn perkotaan Bogor, koridor Bogor-Puncak, dan Cianjur-Bandung perlu mendapat perhatian utama. Arahan yang perlu diberikan terutama adalah pada penetapan pengendalian pemanfaatan ruang yang lebih terarah menyesuaikan dengan kepadatan urban-rural transect serta kondisi penggunaan lahan dan konfigurasi spasial di sekitarnya, untuk membentuk suatu wilayah koridor mega-urban yang lebih efisien dan berkelanjutan.