Show simple item record

dc.contributor.advisorDharmawan, Arya
dc.contributor.advisorSumarti, Titik
dc.contributor.advisorMaksum, Mochammad
dc.contributor.authorKurniawan, Kharis Fadlan Borni
dc.date.accessioned2023-12-27T03:16:33Z
dc.date.available2023-12-27T03:16:33Z
dc.date.issued2023-12-20
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/133316
dc.description.abstractPermintaan pasar global atas produk ekonomi berbahan dasar sawit, telah memantik minat pemerintah Indonesia mengembangkan industri perkebunan sawit. Kini, Indonesia telah menjadi negara produsen dan pengekspor sawit terbesar dunia. Masuknya industrialisasi perkebunan sawit ke desa telah mengintegrasikan sistem ekonomi tradisional desa dan masyarakat adat ke dalam sistem ekonomi modern. Ikatan sosial produksi ekonomi ini belum menjamin sepenuhnya stabilitas ekonomi, kesejahteraan sosial dan lingkungan desa. Kabupaten Sintang di Kalimantan Barat adalah salah satu kabupaten yang memilih jalan industrialisasi perkebunan sawit sebagai media membangun kesejehtaraan daerah. Dengan pendekatan kualitatif dan metode studi kasus konflik antara masyarakat adat (Dayak) dengan perusahaan perkebunan sawit swasta berskala besar di empat desa (Perembang, Begori, Bedaha dan Tanjung Raya) dan meminjam pisau analisis, teori konflik dialektika Ralf Dahrendorf, disertasi ini membongkar relasi kuasa, yaitu i) relasi kuasa perusahaan vs petani dengan menitikberatkan pada platform kemitraan, ii) relasi kuasa pemerintah pusat dengan pemerintah desa dalam hal kebijakan pengadaan lahan untuk perusahaan perkebunan sawit dan iii) relasi kuasa antara pemerintah dengan masyarakat adat dalam hal okupasi lahan adat untuk perusahaan. Hasilnya, pertama, skema kemitraan yang dikembangkan oleh pemerintah dan dijalankan oleh perusahaan melahirkan benefit sharing yang tidak adil dan merugikan petani. Kerugian petani ini bersumber pada relasi kemitraan yang eksploitatif, penuh ketidakpercayaan, asimetrik dan dipaksakan. Kedua, proses-proses pengadaan lahan untuk pembangunan perkebunan sawit dilakukan melalui kebijakan teritorialisasi yang menafikan kedaulatan dan hak ulayat masyarakat Dayak. Akibatnya, masyarakat Dayak kehilangan lahan, karena status penguasaan lahan telah beralih ke tangan korporasi. Ketiga, desentralisasi politik dan pemerintahan yang berkelindan dengan laju ekspansi perkebunan sawit berskala besar telah membuka jalan kesejahteraan dan mobilitas vertikal masyarakat Dayak, hingga dapat mendominasi panggung politik kebijakan daerah. Sayangnya, dominasi elit Dayak dalam landscape politik kebijakan lokal belum mampu melahirkan kebijakan publik yang melindungi kedaulatan masyarakat Dayak dari struktur ekonomi yang meminggirkan.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB Universityid
dc.titleDesa dan Masyarakat Adat Dalam Arus Transformasi Agraria dan Ekspansi Sawitid
dc.typeDissertationid
dc.subject.keyworddesaid
dc.subject.keywordekspansi perkebunan sawitid
dc.subject.keywordmasyarakat adatid
dc.subject.keywordrelasi kuasaid
dc.subject.keywordOil palm plantations axpansionid
dc.subject.keywordindigenous peoplesid
dc.subject.keywordpower relations and villageid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record