| dc.contributor.advisor | Utami, Anisa Dwi | |
| dc.contributor.advisor | Rifin, Amzul | |
| dc.contributor.author | Asiffa, Shafira Yaumil | |
| dc.date.accessioned | 2023-08-11T07:33:07Z | |
| dc.date.available | 2023-08-11T07:33:07Z | |
| dc.date.issued | 2023-08-11 | |
| dc.identifier.uri | http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/123683 | |
| dc.description.abstract | SHAFIRA YAUMIL ASIFFA. Pengaruh Non-Tariff Measures (NTMs) terhadap
Permintaan Udang Beku Indonesia di Pasar Internasional. Dibimbing oleh AMZUL
RIFIN dan ANISA DWI UTAMI.
Udang beku merupakan salah satu komoditas perikanan Indonesia dengan
nilai perdagangan tertinggi mencapai 1,72 juta US$. Seiring dengan pergeseran
preferensi konsumen global dari daging merah ke konsumsi daging putih, Indonesia
berpeluang memanfaatkan potensi permintaan yang tinggi di pasar internasional.
dang merupakan komoditas yang rentan terhadap kontaminasi dan kerusakan
sehingga negara-negara pengimpor menerapkan tindakan non-tarif (NTMs) untuk
melindungi konsumen dan memastikan kualitas produk. Oleh karena itu, penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis dampak NTMs (SPS dan TBT) terhadap
permintaan udang beku Indonesia di pasar internasional.
Komoditas yang digunakan pada penelitian ini yaitu udang beku dengan
Harmonized System 6 digit versi tahun 1996 yaitu HS 030613. Data yang digunakan
yaitu data sekunder dengan jenis data panel dengan cross-section sebanyak 11
negara importir dan time series sebanyak 15 tahun pada tahun 2005-2019 dan
dianalisis menggunakan regresi data panel.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis NTMs memiliki dampak yang
berbeda terhadap permintaan udang beku. SPS berdampak negatif yang artinya
semakin banyak jumlah regulasi SPS yang diterapkan oleh negara importir, maka
permintaan akan semakin turun. Jumlah regulasi SPS yang diterapkan oleh negara
pengimpor sebanyak 211 item dengan 31 jenis kode dan penambahan yang cukup
signifikan setiap tahunnya. Jenis SPS yang paling banyak diterapkan yaitu A21 (30
item, batas toleransi residu atau kontaminasi kandungan tertentu) dan A31 (29 item,
persyaratan pelabelan). Namun, pada tahun 2010-2020, kasus penolakan impor
udang beku Indonesia di Amerika Serikat, sebagai negara importir utama udang
beku, paling banyak disebabkan oleh kontaminasi bakteri patogen yang melebihi
batas maksimum yang diatur dalam regulasi A41. Artinya, Indonesia sudah mampu
memenuhi persyaratan regulasi SPS jenis A21 dan A31, namun belum mampu
memenuhi jenis A41. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa regulasi yang paling
banyak diterapkan bukan berarti menjadi hambatan yang paling besar bagi
Indonesia.
Sebaliknya, TBT berpengaruh signifikan positif terhadap permintaan impor
udang beku Indonesia. Apabila jumlah regulasi TBT bertambah, maka permintaan
udang beku Indonesia meningkat. TBT yang diterapkan sebanyak 93 item dan
berjumlah 18 jenis. Jenis yang paling banyak diterapkan yaitu B31 (persyaratan
pelabelan) dan B83 (persyaratan sertifikasi). Kasus penolakan udang beku
Indonesia terkait TBT pun hanya terjadi satu kali pada tahun 2013 yang disebabkan
oleh misbranding yang berkaitan dengan TBT jenis B31. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa Indonesia telah mampu memenuhi persyaratan regulasi TBT
yang diterapkan oleh negara importir.
Langkah yang dapat diambil dari hasil penelitian ini yaitu kerja sama antara
pemerintah dan pelaku budidaya untuk lebih fokus dalam pengendalian sanitasi
karena permasalahan kontaminasi mikroorganisme (bakteri patogen) merupakan
sebagian besar alasan udang beku Indonesia ditolak di negara importir dan
pengembangan teknologi dalam pembenihan atau budidaya untuk meningkatkan
hasil produksi dan sistem digitalisasi untuk efisiensi rantai pasok. | id |
| dc.description.abstract | SHAFIRA YAUMIL ASIFFA. The Impact of Non-Tariff Measures (NTMs) on the
Demand for Indonesian Frozen Shrimp in the International Market.. Supervised by
AMZUL RIFIN and ANISA DWI UTAMI.
Frozen shrimp is one of Indonesia's fishery commodities with the highest
trade value, reaching 1.72 million US dollars. As global consumer preferences shift
from red meat to white meat consumption, Indonesia has the opportunity to
leverage the high demand potential in the international market. However, shrimp
is a commodity vulnerable to contamination and damage, leading importing
countries to implement non-tariff measures (NTMs) to protect consumers and
ensure product quality. Therefore, this research aims to analyze the impact of
NTMs (SPS and TBT) on the demand for Indonesian frozen shrimp in the
international market.
The study employs frozen shrimp as the commodity, specifically under the
Harmonized System 6-digit version of 1996, HS 030613. Secondary panel data from
11 importing countries and a time series spanning 15 years (2005-2019) are used
for analysis, employing panel data regression.
The results of this research indicate that different types of NTMs have
varying impacts on the demand for frozen shrimp. SPS has a negative impact,
meaning that the more SPS regulations imposed by importing countries, the lower
the demand for Indonesian frozen shrimp. The importing countries apply a total of
211 SPS regulations, classified into 31 types of codes, with a significant increase
each year. The most frequently implemented SPS types are A21 (30 items, tolerance
limits for specific residue or contamination) and A31 (29 items, labeling
requirements). However, from 2010 to 2020, most cases of rejection of Indonesian
frozen shrimp imports by the United States, the main importing country, were due
to contamination by pathogenic bacteria exceeding the maximum limits set in
regulation A41. This indicates that Indonesia has been able to meet the
requirements of SPS regulations A21 and A31 but has not yet met the requirements
of A41. Therefore, it can be concluded that the most frequently implemented
regulations do not necessarily present the most significant barriers for Indonesia.
On the other side, TBT has a significantly positive effect on the demand for
Indonesian frozen shrimp imports. As the number of TBT regulations increases, the
demand for Indonesian frozen shrimp also rises. The importing countries impose a
total of 93 TBT regulations, categorized into 18 types. The most frequently applied
types are B31 (labeling requirements) and B83 (certification requirements).
Incidents of Indonesian frozen shrimp rejection related to TBT only occurred once
in 2013, caused by misbranding associated with TBT type B31. Consequently, it
can be concluded that Indonesia has been able to meet the requirements of TBT
regulations imposed by importing countries.
Based on the findings of this research, possible steps that can be taken
include collaborative efforts between the government and shrimp cultivators to
focus more on sanitation control since microbial contamination (pathogenic
bacteria) is a significant reason for Indonesian frozen shrimp rejection by
importing countries. Additionally, there should be further investment in breeding
or cultivation technologies to increase production yields and the implementation of
digitalization in the supply chain to enhance efficiency. | id |
| dc.language.iso | id | id |
| dc.publisher | IPB University | id |
| dc.title | PENGARUH NON TARIFF MEASURES (NTMs) TERHADAP PERMINTAAN UDANG BEKU INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL | id |
| dc.title.alternative | The Impact of Non-Tariff Measures (NTMs) on the Demand for Indonesian Frozen Shrimp in the International Market | id |
| dc.type | Thesis | id |
| dc.subject.keyword | data panel, impor, non tarif , permintaan, regresi, udang | id |
| dc.subject.keyword | demand, import, non-tariff, panel data, regression, shrimp | id |