dc.description.abstract | Lahan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi keuntungan usahatani. Semakin luas lahan yang digarap, semakin banyak keuntungan yang diperoleh. Indonesia mengalami permasalahan dalam penguasaan lahan pertanian yang tidak merata. Sebanyak 75 persen petani Indonesia adalah petani kecil yang mengelola lahan sawah kurang dari 0,5 ha. Selain masalah lahan, petani padi juga harus menghadapi risiko usahatani yang tidak kecil dan memengaruhi keuntungan petani. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, petani menggunakan skema penguasaan lahan bukan milik, salah satunya dengan sistem bagi hasil.
Sistem bagi hasil pertanian merupakan bentuk kerjasama antara pemilik lahan dan penggarap lahan. Dalam skema bagi hasil pemilik lahan dan penggarap membagi input dan output produksi yang akan diperoleh sesuai dengan kesepakatan bersama. Selain input dan output, sistem bagi hasil juga membagi risiko antar pihak. Khusus di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan, terdapat 2 tipe bagi hasil yang berdampak terhadap perbedaan keuntungan dan risiko produksi. Tujuan dari penelitian ini yaitu (1) menganalisis keuntungan dan tingkat risiko produksi usahatani padi berdasarkan tipe bagi hasil serta (2) menganalisis pengaruh faktor tipe bagi hasil terhadap risiko produksi. Penelitian ini menggunakan data primer dari 117 petani di Kecamatan Berebbo Kabupaten Bone. Data dianalisis menggunakan analisis usahatani, tingkat risiko produksi dan risiko produksi. Tingkat risiko dianalisis menggunakan koefisien variasi sedangkan faktor-faktor yang memengaruhi risiko produksi dianalisis menggunakan model risiko Just and Pope dengan beberapa penysuaian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem bagi hasil dipraktikkan secara turun-temurun menurut adat dan tidak berpedoman pada undang-undang No 2 tahun 1960 tentang sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil dilakukan secara lisan berlandaskan kepercayaan dan kepedulian antar pihak. Selain meningkatkan perekonomian, sistem bagi hasil juga meningkatkan solidaritas masyarakat tani hingga membuat sistem bagi hasil bertahan hingga sekarang. Terdapat dua skema bagi hasil gabah yang diterapkan di Kabupaten Boneyaitu tipe 1 (1:2) dan tipe 2 (1:1). Pada tipe 1 pemilik lahan hanya menyediakan lahan, setengah biaya transportasi serta pajak lahan sedangkan penggarap yang menyediakan bibit, pupuk, pestisida, TK, traktor, combain, dan setengah biaya transportasi. Pada tipe 2 pemilik lahan menyediakan lahan, pajak lahan, setengah biaya pupuk, setengah biaya pestisida dan setengah biaya transportasi, sedangkan penggarap membiayai bibit, traktor, combain, setengah biaya pupuk, setengah biaya pestisida dan setengah biaya transportasi. Keuntungan usahatani pada tipe 1 sedikit lebih rendah daripada tipe 2 tetapi tidak berbeda nyata. Hal tersebut disebabkan karena walaupun terdapat perbedaan pada penyedia input, input yang digunakan sama. Permasalahan yang dihadapi dalam menyediakan input produksi baik pada tipe 1 dan 2 juga sama sehingga tidak memberikan perbedaan yang signifikan.
Faktor-faktor berpengaruh terhadap risiko produksi pada sistem bagi hasil ada yang bersifat meningkatkan (risk inducing factor) dan mengurangi (risk reducing factor). Faktor yang meningkatkan risiko produksi yaitu bibit dan tenaga kerja sedangkan faktor yang menurunkan risiko produksi yaitu ponska dan pestisida. Adapun pengaruh tipe 1 dan 2 terhadap risiko produksi tidak berbeda secara nyata.
Pelaksanaan perjanjian bagi hasil dapat efektif jika kedua pihak mengedepankan kejujuran dan kepercayaan. Pada tipe 1, pemilik lahan sebaiknya melakukan sistem control terhadap penggarap agar menghindari peluang penggarap melakukan ekploitasi hasil produksi. Adapun pada tipe 2, penggarap lahan dapat membuat pembukuan usahatani agar meningkatkan kepercayaan pemilik lahan mengenai jumlah penggunaan input produksi. Dengan hal tersebut pelaksanaan pada sistem bagi hasil baik pada tipe 1 dan tipe 2 dapat mencapai efektivitasnya. Untuk peneliti selanjutnya, disarankan melakukan kajian mengenai perbedaan risiko pada sistem bagi hasil dengan non bagi hasil agar dapat membuktikan teori-teori dari stiglitz mengenai transactional cost, risiko serta asimentri informasi dalam sistem bagi hasil. | id |
dc.description.abstract | The land is one of the factors that affect farm income. The more land that is cultivated, the more income is obtained. Indonesia experiences problems with uneven agricultural land tenure. As many as 75 percent of Indonesian farmers are small farmers who manage paddy fields of less than 0.5 ha. In addition to land problems, rice farmers must also face farming risks that are not small and affect farmers' income. To overcome these problems, farmers use non-owned land tenure schemes. One of them is the sharecropping system.
A sharecropping system is a form of cooperation between landowners and tenants. In the sharecropping scheme, landowners and tenants divide the production inputs and outputs obtained according to mutual agreement. In addition to inputs and outputs, the sharecropping system also shares risks between parties. Specifically in Bone Regency, South Sulawesi, two types of sharecropping affect differences in income and production risks. The purposes of this study are (1) to analyze the profit and level of production risk based on the type of sharecropping, and (2) to analyze the effect on the type of profit sharing factor on production risk. This study used primary data from 117 farmers in Berebbo District, Bone Regency. Data were analyzed using farm analysis, production risk level and factor analysis of production. The level of risk is analyzed using the coefficient of variation, while the factors that influence production risk are analyzed using the Just and Pope risk model with some adjustments.
The results showed that the sharecropping system is practiced from generation to generation according to custom and is not guided by Law No. 2 of 1960 concerning the sharecropping system. The sharecropping system is carried out verbally based on trust and concern between parties. In addition to improving the economy, the sharecropping system also increases the solidarity of the farming community, making the sharecropping system persist until now. There are 2 grain sharing schemes, namely type 1 (1:2) and type 2 (1:1). In type 1 the land owner only provides the land, half of the cost of transportation and land tax while the tenants provide the seeds, fertilizers, pesticides, TK, tractors, combain, and half of the transportation costs. In type 2 land, the landowner provides land, land tax, half the cost of fertilizer, half the cost of pesticides and half the transportation costs. At the same time, tenants pay the seeds, tractors, and combines, half the cost of fertilizer, half the cost of taxes and half of the transportation costs. The income of type 1 tenants is higher than that of type 2 tenants. This is because even though there are differences in input providers, the inputs used are the same. The problems encountered in providing production inputs for types 1 and 2 are the same, so they do not make a significant difference.
Factors influencing production risk in the sharing system are risk-inducing and risk-reducing factors. Factors that increase production risk are seeds and labour, while factors that reduce production risk are ponska and pesticides. The effect of types 1 and 2 on production risk is not significantly different.
Implementation of sharecropping agreements can be effective if both parties hold honesty and trust. In type 1, the landowner should implement a control system for tenants to avoid opportunities for tenants to exploit production. As for type 2, tenants can keep farm records to increase landowners' confidence regarding the amount of production inputs used. With this, the implementation of a good sharecropping system for type 1 and type 2 can achieve its effectiveness. Future researchers should conduct a study on the differences in risks in sharecropping systems and non-sharecropping systems to prove Stiglitz's theories regarding transactional costs, risks, and information asymmetry in sharecropping systems. | id |