Manajemen Konflik Penyadapan Getah Pinus Berbasis Analisis Akses di Taman Buru Masigit Kareumbi
Abstract
Taman Buru Masigit Kareumbi membuka akses penyadapan getah pinus bagi 11 Kelompok Tani Hutan (KTH) pada tahun 2019 - 2022. Pemberian akses terbatas hanya kepada 11 KTH berkemungkinan menimbulkan kecemburuan sosial serta konflik lain. Penelitian ini bertujuan menganalisis akses masyarakat setempat terhadap penyadapan getah pinus di TBMK, konflik akibat adanya beragam akses
tersebut, dan bagaimana manajemen konfliknya. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi lapang, dan studi literatur, dianalisis secara kualitatif memakai Teori Akses serta Teori Konflik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akses berbasis hak diperoleh melalui Perjanjian Kerja Sama antara KTH mitra dengan BBKSDA Jawa Barat. Akses berbasis struktural dan relasional diperoleh KTH mitra dan KTH non-mitra menggunakan faktor pembentuk: pengetahuan, teknologi, identitas sosial, relasi sosial, pasar, dan otoritas. Konflik yang timbul dari adanya akses tersebut yaitu konflik: (1) penyadapan ilegal, (2) perebutan anggota KTH dan ketidaksesuaian pengepul, (3) pemilihan pengepul, serta (4) persaingan bisnis. Manajemen konflik yang dapat diterapkan yaitu intervensi pihak ketiga secara litigasi dan non-litigasi. Peningkatan dan pengembangan program kemitraan konservasi yang akan datang secara kolaboratif menjadi rekomendasi manajemen konflik yang dapat diakomodasi oleh semua pihak berkepentingan. Masigit Kareumbi Hunting Park opened pine resin harvesting access for 11 Forest Farmer Groups (KTH) in 2019 - 2022. Granting access limited to only 11 KTH is likely to cause social jealousy and other conflicts. This study aims to analyze the local community's access to pine resin harvesting in TBMK, the conflicts resulting from various accesses and the conflict management efforts. Data were collected through interviews, field observations, and literature studies, analyzed qualitatively using Access Theory and Conflict Theory. This study's results show rights-based access obtained through a Cooperation Agreement between partner KTHs and the West Java BBKSDA. Structural and relational-based access is obtained by partner KTHs and non-partner KTHs using forming factors: knowledge, technology, social identity, social relations, markets, and authority. Conflicts arising from this access are conflicts: (1) illegal harvesting, (2) competition for KTH members and collectors' discrepancies, (3) collectors selection, and (4) business competition. Feasible conflict management efforts are third-party interventions, both litigation and non-litigation. Collective improvement and development of future conservation partnership programs is a conflict management recommendation that can be accommodated by all stakeholders in TBMK.