Pengaruh Tarif dan Non-Tarif Terhadap Ekspor Tuna Beku Indonesia

Abstract

Ikan tuna beku merupakan salah satu jenis ikan tuna yang memilliki nilai ekonomis tinggi serta permintaan tinggi di pasar internasional, yakni rata-rata sebesar 1.61 juta ton dengan nilai sebesar 386 ribu US$. Negara pengimpor utama tuna beku Indonesia adalah Thailand, Jepang, China dan Vietnam. Walaupun ke-empat negara tersebut merupakan negara importir utama akan tetapi pada tahun 2005 sampai 2020 perkembangan ekspor tuna beku Indonesia di Thailand dan Jepang cenderung meningkat, sementara di China dan Vietnam relatif stagnan atau tidak mengalami peningkatan yang sginifikan. Hal ini, dikarenakan penerapan tarif dan non-tarif yang relatif tinggi yang sampai saat ini masih tetap diberlakukan ke-empat negara importir terhadap tuna beku Indonesia. Hambatan tarif dikenakan untuk melindungi konsumen, produsen dalam negeri, memberikan kesempatan bagi produsen dalam negeri untuk meningkatkan produknya, mengurangi dumping dan lain-lain. Sementara, non-tarif diterapkan negara importir secara teknis untuk melindungi kesehatan masyarakat, hewan, tumbuh-tumbuhan dan lingkungan dari berbagai hama atau organisme penyebab penyakit yang berasal dari produk impor dan untuk memastikan produk yang masuk ke wilayah tersebut bebas, bersih dan aman untuk dikonsumsi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tarif dan non-tarif yang diberlakukan negara importir terhadap ekspor tuna beku Indonesia dan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ekspor tuna beku Indonesia. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data panel yang diobservasi dari tahun 2005 hingga 2020 (16 tahun). Metode analisis pada penelitian ini menggunakan deskriptif dengan pendekatan Invetory berupa Coverage ratio dan metode kuantitatif berupa regresi data panel dengan pendekatan gravity model. Cakupan rasio merupakan indikator untuk mengestimasi seberapa besar persentase non-tarif Sanitary and Phitosanitary (SPS) serta Technical Barrier to Trade (TBT) yang dikenakan negara pengimpor terhadap produk tuna Indonesia termasuk tun beku. Model gravity merupakan model empiris yang digunakan untuk menganalisis aliran perdagangan yang dijalankan oleh dua negara yang secara positif berpengaruh terhadap ukuran ekonomi (pendapatan, populasi, nilai tukar dan lain-lain), namun secara negatif jarak memengaruhi perdagangan antara kedua negara. Secara deskriptif memaparkan bahwa penurunan tarif dari tahun 2005 sampai 2020 yang dilakukan negara importir Thailand dari 5% menjadi 0% , China menurunkan tarif dari 12% menjadi 7% dan Vietnam mengurangi tarif dari 30% menjadi 15% terhadap tuna beku Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan salah satu negara anggota organisasi internasional yakni WTO, sehingga sesama negara anggota wajib menurunkan tarif terhadap negara anggota lainnya sebab penurunan tarif adalah salah satu tujuan WTO. Selain itu, Indonesia juga anggota dari organisasi ASEAN dan lain-lain. Walaupun China dan Vietnam menurunkan tarif terhadap produk tuna Indonesia, namun tidak meningkatkan volume ekspor di ke-2 negara tersebut disebabkan China dan Vietnam masih menerapkan non-tarif yang relatif tinggi. Sementara, penurunan tarif di Thailand dapat meningkatkan volume ekspor tuna sebab Thailand merupakan negara eksportir tuna olahan terbesar di dunia maka tuna yang dibutuhkan dalam industri pengolahan juga bertambah. Sedangkan, Jepang juga mengalami peningkatan jumlah ekspor tuna Indonesia karena Jepang adalah negara yang mengkonsumsi ikan tuna terbesar di dunia sehingga tuna merupakan produk yang sangat dibutuhkan (need goods) di negara tersebut. Akan tetapi persentase tarif relatif tinggi yakni 3,5% dari tahun 2005 sampai 2020, sedangkan non-tarif yang diberlakukan relatif kecil yakni 8% daripada ketiga negara importir. Penerapan non-tarif SPS dan TBT yang sering diberlakukan negara importir terhadap tuna beku Indonesia adalah persyaratan pelabelan (labelling), pengujian, pengolahan, pengemasan dan sertifikasi (certification). Dengan penerapan tarif dan non-tarif dapat memberikan manfaat bagi kedua negara dalam mengekspor serta mengimpor produk. Berdasarkan hasil coverage ratio memperlihatkan bahwa negara importir yang sering memberlakukan non-tarif SPS dengan persentase tinggi adalah Vietnam dengan 17,86% pada 2013, Thailand menerapkan 10,13% pada 2008 , China memberlakukan 9,38% pada 2009 dan yang jarang menerapkan non-tarif SPS adalah Jepang dengan 8,17% pada tahun 2015. Kemudian, non-tarif TBT yang sering diterapkan China dengan persentase sebesar 36,12% terjadi pada tahun 2017. Pada 2013 Vietnam menerapkan persentase TBT sebesar 17,86%, berikutnya Thailand dengan 10,13% di tahun 2008, sedangkan Jepang menerapkan persentase terendah sekitar 8,17% pada tahun 2015 namun di tahun berikutnya sampai 2020 tidak ada penerapan non-tarif TBT. Penurunan persentase coverage ratio non-tarif SPS dan TBT yang dilakukan negara importir dikarenakan Indonesia sudah memenuhi persyaratan dan ketentuan yang diinginkan negara importir melalui penerapan GMP (Good Manufacturing Practices), SSOP (Standard Sanitation Operating Procedure), Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (SJMKHP), SNI, prinsip-prinsip biosecurity, biosafety serta melakukan penelusuran (traceability), Hazard Analisys Critical Control Point (HACCP) dan pembuktian sertifikat-sertifikat yang diperoleh seperti seritikat ekolabel Marine Stewardship Council (MSC), Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) dan sertifikat HACCP membutktikan bahwa produk tuna yang dihasilkan Indonesia dimulai dari tahap penerimaan bahan baku, pemilihan bahan baku terbaik dan berbagai proses pengolahan perikanan hingga tahap pengemasan sudah sesuai urutan tahapan mutu dan keamanan produk yang diminati negara pengimpor. Hasil analisis gravity model menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi ekspor tuna beku Indonesia secara positif dan signifikan ialah populasi negara pengimpor, nilai tukar, coverage ratio SPS dan coverage ratio TBT. Sementara, faktor-faktor yang secara negatif memengaruhi ekspor tuna beku Indonesia ialah harga ekspor tuna beku Indonesia di negara pengimpor. Akan tetapi, faktor-faktor yang tidak berpengaruh signifikan terhadap kuantitas ekspor tuna beku Indonesia yaitu GDP perkapita negara importir, jarak ekonomi dan variable dummy berupa tarif impor. Berdasarkan hasil tersebut, maka implikasi kebijakannya yaitu: Indonesia perlu fokus mengekspor ikan tuna yang berkualitas tinggi ke negara pengimpor. Pemerintah diharapkan untuk selalu bekerjasama dan membantu para eksportir (produsen) dalam menjaga kualitas produk ekspor tuna beku agar tetap terjaga dan eksis di negara pengimpor. Indonesia perlu meningkatkan industri tuna dari hulu sampai hilir agar bisa memperoleh nilai tambah yang tinggi bagi Indonesia. Kata kunci: data panel, ekspor, gravity model, tuna beku

Frozen tuna is one type of tuna product that has a high economic value and high demand in the international market, which is an average of 1.61 million tons with a value of 386 thousand US dollars. The main importing countries of Indonesian’s frozen tuna are Thailand, Japan, China and Vietnam. Eventhough, these four countries are the main importing countries, from 2005 to 2020 the development of Indonesia's frozen tuna exports in Thailand and Japan tends to increase, while in China and Vietnam it is relatively stagnant or does not have a significant increase. This is due to the relatively high application of tariffs and non-tariffs which until now are still applied by the four importing countries to Indonesia's frozen tuna. Tariff barriers are imposed to protect consumers, domestic producers, provide opportunities for domestic producers to improve their products, reduce dumping and others. While, non-tariffs are imposed by importing countries technically to protect public health, animals, plants and the environment from various pests or disease-causing by organisms derived from imported products and to make sure that the products entering the region are free, clean and safe for consumption. This study aims to analyze tariffs and non-tariffs imposed by importing countries on Indonesia's frozen tuna exports and to analyze the factors affecting Indonesia's frozen tuna exports. This study used panel data that observed from 2005 to 2020 (16 years). The analysis method in this study uses descriptive with an Inventory approach like Coverage ratio and quantitative methods used regression of panel data with a gravity model approach. The coverage ratio is an indicator to estimate how much the percentage of non-tariff like Sanitary and Phytosanitary (SPS) and Technical Barrier to Trade (TBT) implemented by importing countries on Indonesian tuna products including frozen tun. The gravity model is an empirical model used to analyze trade flows run by two countries that positively affect the size of the economy (income, population, exchange rate etc.), but negatively distance affects trade between the two countries. Descriptively explained that the tariff reduction from 2005 to 2020 by importing country Thailand from 5% to 0%, China lowered tariffs from 12% to 7% and Vietnam reduced tariffs from 30% to 15% on frozen tuna Indonesia. This is because Indonesia is one of the member countries of the international organization, namely the WTO, so fellow member countries are obliged to reduce tariffs on other member countries because reducing tariffs is one of the goals of the WTO. Moreover, Indonesia is also a member of the ASEAN organization and others. Although China and Vietnam minimize tariffs on Indonesian tuna products but export volumes in the two countries did not incerease because China and Vietnam still imposed relatively high non-tariffs. While, the reduction of tariffs in Thailand can increase export volumes of tuna because Thailand is the largest exporter of processed tuna in the world so that the tuna needed in the processing industry is also increased. Meanwhile, Japan also increased the number of Indonesian tuna exports because Japan is a country that consumes the largest tuna in the world so that tuna is goods need in Japan. However the percentage of tariffs is relatively high at 3,5% from 2005 to 2020, while the non-tariffs applied are relatively small compared to the three importing countries. The implementation of non-tariff SPS and TBT that is often applied by importing countries to Indonesian frozen tuna is the requirements for labeling, testing, processing, packaging and certification. The application of tariffs and non-tariffs can provide benefits for both countries in exporting and importing products. Based on the results of the coverage ratio finds that importer countries that often apply non-tariff SPS with a high percentage are Vietnam with 17,86% in 2013, Thailand applies 10,13% in 2008, China applies 9,38% in 2009 and which rarely applies non-tariff SPS is Japan with 8,17% in 2015. Then, non-tariff TBT that China often applies with a percentage of 36,12% occurred in 2017. In 2013 Vietnam applied the percentage of TBT at 17,86%, followed by Thailand with 10,13% in 2008, while Japan applied the lowest percentage at around 8,17% in 2015 but in the following year until 2020 there was no application of non-tariff TBT. The decrease in the percentage of non-tariff coverage ratio of SPS and TBT carried out by importing countries is because Indonesia has met the requirements and conditions desired by importing countries through the application of GMP (Good Manufacturing Practices), SSOP (Standard Sanitation Operating Procedure), Fishery Product Quality Assurance and Safety System (SJMKHP), SNI, principles of biosecurity, biosafety and traceability, Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) and proof The certificates obtained such as the Marine Stewardship Council (MSC) ecolabel certificate, Processing Feasibility Certificate (SKP) and HACCP certificate require that tuna products produced by Indonesia starting from the stage of receiving raw materials, selecting the best raw materials and various fishery processing processes to the packaging stage are in accordance with the sequence of quality and safety stages of products of interest to importing countries. The results of the gravity model analysis found that the factors that affect Indonesia's frozen tuna exports positively and significantly are the population of importing countries, exchange rates, SPS coverage ratio and TBT coverage ratio. Otherwise, factors that negatively affect Indonesia's frozen tuna exports are the export prices of Indonesian frozen tuna in importing countries. However, factors that do not have a significant effect on the quantity of Indonesia's frozen tuna exports are GDP per capita of importing countries, economic distance and dummy variable import tariffs. According to these results, Indonesia needs to focus on exporting high-quality tuna to importing countries. The government must to always collaborate and support the exporters (producers) to maintaining the quality of frozen tuna to be maintained and continue exist in importing countries. Indonesia needed to increase the tuna industry from upstream to downstream in order to obtain high added value for Indonesia.