Penguatan institusi pengelolaan hutan alam produksi dalam rangka otonomi daerah di Maluku Tengah
View/ Open
Date
2003Author
Ohorella, Abd.Latif
Kartodihardjo, Hariadi
Darusman, Dudung
Metadata
Show full item recordAbstract
Penelitian bertujuan untuk mengetahui peran penguatan institusi pengelolaan hutan alam produksi di Maluku Tengah pasca pemberlakuan otonomi daerah. Penguatan institusi pengelolaan hutan dapat diwujudkan apabila kebijakan pengelolaan hutan dapat memperjelas transfer hak pengelolaan, pengaturan batas jurisdiksi dan aturan representasi yang efektif, minimasi biaya transaksi dan distribusi manfaat ekonomi (gross income) yang adil antar para pihak dan efektifnya penanggulangan illegal logging serta peningkatan kapasitas dan kapabilitas lembaga kehutanan daerah.
Kapasitas dan kapabilitas lembaga kehutanan daerah diketahui dengan melakukan analisis terhadap variabel sumberdaya birokrasi meliputi konfigurasi struktural nomenklaktural, sumberdaya manusia aparatur, proses manajemen publik dan teknologi organisasi. Dengan menggunakan analisis isi, dinilai beberapa komponen kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan alam produksi. Struktur hak, batas jurisdiksi dan aturan representasi dianalisis hubungannya dengan perilaku dan kinerja dengan tabel analisis model Finsterbusch. Efektivitas kebijakan penanganan illegal logging dianalisis secara kausalitas, sedangkan distribusi manfaat ekonomi (gross income) pemanfaatan hutan alam produksi dianalisis secara diskriptif.
Melalui analisis sumberdaya birokrasi, ternyata lembaga kehutanan daerah Maluku Tengah memiliki kelemahan dalam perumusan dan implementasi kebijakan pengelolaan hutan alam produksi karena konfigurasi struktural yang kaku, keterbatasan kemampuan sumberdaya manusia aparatur, proses manajemen publik yang tidak transparan dan birokratis, serta terbatasnya teknologi organisasi. Substansi kebijakan daerah di bidang pengelolaan hutan alam produksi lebih ditujukan untuk melakukan redistribusi asset hutan kepada masyarakat dan daerah, sementara tujuan pokok pengelolaan hutan berupa memanfaatkan sekaligus melestarikan sumberdaya hutan belum diperhatikan.
Kinerja pemanfaatan hutan lebih dominan pada aspek produksi, sementara upaya perlindungan stock hutan meliputi penataan batas wilayah kelola, pembinaan hutan dan pemenuhan tenaga teknis kehutanan kurang dari 25% sesuai yang ditetapkan dan hal ini merupakan adaptasi dari rendahnya strata hak pelaku usaha, tingginya peran pemerintah dalam aktivitas pemanfaatan hutan yang berimplikasi terhadap tingginya biaya transaksi. Tujuan redistribusi manfaat hutan kepada masyarakat lokal secara adil belum terwujud, karena kontraktor logging menerima manfaat sekitar sepuluh kali dari manfaat yang diterima masyarakat. Kebijakan penanggulangan illegal logging tidak efektif, tetapi justru menjadi insentif bagi pelakunya untuk tetap melakukannya. Secara umum orientasi kebijakan pengelolaan hutan alam produksi pasca pemberlakuan otonomi daerah di Maluku Tengah belum ditujukan untuk penguatan institusi pengelolaan hutan alam produksi, namun lebih ditujukan untuk menarik manfaat sumberdaya hutan ke daerah dengan titik tolak pemanfaatan hutan
(kayu).
Collections
- MT - Forestry [1376]