Strategi Pengembangan Energi Panas Bumi yang Berkelanjutan. Studi Kasus di Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Darajat, Garut-Jawa Barat .
View/ Open
Date
2013Author
Yunan, Arief
Pramudya, Bambang
Sutjahjo, Surjono H.
Tambunan, Armansyah H.
Rangkuti, Zulkifli
Metadata
Show full item recordAbstract
Konsumsi energi dunia berbahan bakar fosil terus meningkat sejalan dengan
bertambahnya penduduk dunia. Di Indonesia, rata-rata konsumsi energi meningkat sekitar
8.5% per tahun karena pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Mayoritas permintaan
energi nasional dipenuhi oleh energi berbahan bakar fosil, meskipun cadangannya terus
menurun. Situasi ini memaksa pemerintah Indonesia untuk melakukan efisiensi
pemakaian bahan bakar fosil dan mencari alternatif energi baru yang lebih murah dan
ramah lingkungan. Salah satu alternatif energi baru yang memenuhi kriteria tersebut
adalah panas bumi, yang merupakan energi terbarukan dengan cadangan berlimpah dan
emisi CO2 rendah. Pemerintah Indonesia telah membuat peta-jalan pengembangan energi
panas bumi tahun 2006-2025 dengan target mencapai 9 500 MW pada tahun 2025 atau
berkontribusi 5% dari konsumsi energi nasional. Tetapi, pemakaian panas bumi di tahun
2012 hanya mencapai 1 226 MW atau 0.6% dari konsumsi energi Indonesia,sehingga
target di atas merupakan tantangan untuk dicapai (Sukarna 2012).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun strategi pengembangan energi
panas bumi yang berkelanjutan. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan
kepada para pengambil keputusan dalam usaha mempercepat pengembangan energi panas
bumi berkelanjutan berdasarkan 3 pilar, yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan. Tiga
pilar keberlanjutan ini kemudian dikembangkan menjadi 6 dimensi agar lebih
operasional, yaitu dimensi sosial, ekonomi, lingkungan, kebijakan, kelembagaan,
dan teknologi. Oleh karena itu, beberapa analisis perlu dilakukan dan disintesakan
sehingga sebuah strategi pengembangan energi panas bumi yang berkelanjutan, yang
optimal, komprehensif, dan terpadu, dapat diperoleh. Berbagai analisis dilakukan
berdasarkan pendekatan sistem, baik pendekatan hard sistem, maupun pendekatan soft
sistem. Pendekatan hard sistem dalam penelitian ini adalah analisa kelayakan ekonomi
investasi pengembangan panas bumi di PLTP Darajat Garut dengan menghitung Net
Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR). Pendekatan soft sistem adalah
analisa berkelanjutan MDS (Multi-Dimensional Scaling), kajian legal/regulasi, AHP
(Analytical Hierarchy Process), dan ISM (Interpretative Structural Modelling). Hasil
analisa-analisa ini akan menjadi masukan dalam men-disain strategi pengembangan
energi panas bumi berkelanjutan.
Penelitian ini dilakukan di PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi)
Darajat, Garut sebagai studi kasusnya (site specific). Data primer diperoleh
melalui pengamatan langsung dilapangan dan data aktual diambil dari PLTP
Darajat. Kuesioner didistribusikan kepada para pemangku kepentingan, termasuk
masyarakat untuk mengumpulkan data yang diperlukan. Diskusi fokus grup dan
wawancara dilaksanakan dengan reponden terseleksi yang memiliki kompetensi
berkaitan dengan bidang pengembangan dan pengelolaan panas bumi, serta
beberapa aspek untuk konfirmasi data dan pandangan dengan perspektif yang
lebih luas yang berkenaan dengan topik penelitian. Data sekunder diperoleh dari
literatur dan publikasi resmi dari berbagai departemen seperti Dewan Energi
Nasional (DEN), Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM),
Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE),
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), departemen Kehutanan, dan lain-lain.
Hasil analisis kelayakan ekonomi menunjukkan bahwa investasi proyek
pengembangan lapangan uap dan PLTP Darajat, Garut secara ekonomi, layak
untuk dikembangkan, dengan tingkat keuntungan bersih (NPV) 56,8 juta dollar
Amerika dan rata-rata IRR total 15,3%. Lapangan uap dan PLTP Darajat, Garut
mampu mereduksi sebanyak 698.471 ton gas CO2 setiap tahun untuk kapasitas
100 MW; dan berpotensi untuk mendapatkan insentif CDM sebesar hampir
sekitar 3,5 hingga 7,0 juta dollar Amerika setiap tahunnya, atau 100 hingga 200
juta dollar Amerika selama 30 tahun masa kontrak produksinya, serta mampu
meningkatkan IRR 1,5% (asumsi harga karbon CER US$ 5-10/ ton CO2).
Hasil analisis keberlanjutan secara multi dimesi (MDS), dan dengan
mengambil angka 50 sebagai batas indeks keberlanjutan, menunjukkan bahwa
enam dimensi keberlanjutan relatif sudah memenuhi aspek keberlanjutan. Seluruh
dimensi yang melewati batas indeks keberlanjutan adalah dimensi sosial (52.54),
dimensi ekonomi (51.76), dimensi lingkungan (52.95), dimesi kebijakan (50.36),
dimensi kelembagaan (55.14), dimensi teknologi (54.58). Secara umum, nilai
rata2 keberlanjutan dari pengembangan energi panas bumi di PLTP Darajat adalah
52.89, yang berarti bahwa pengembangan dan pengelolaan energi panas bumi saat
ini di PLTP Darajat relatif telah dikelola secara berkelanjutan.
Kajian regulasi dalam pemanfaatan panas bumi di Indonesia menunjukkan
adanya perubahan regulasi yang menyebabkan situasi ketidak-pastian hukum,
ketidak-konsistenan dan tumpang tindih regulasi, berlarut-larutnya proses
perizinan, serta kepastian waktu ijin pinjam pakai lahan, yang masih harus
dibenahi. Istilah “pertambangan” yang tercantum dalam UU No. 27/2003 tentang
panas bumi dan turunannya perlu dikaji kembali mengingat prospek terbesar
panas bumi berada di wilayah hutan konservasi. Sementara UU No. 5/1990 dan
UU No. 41/1999 membatasi kegiatan selain kegiatan kehutanan di kawasan hutan
konservasi.
Hasil AHP menunjukkan berbagai prioritas dalam setiap hirarki struktur.
Fokus yang perlu diutamakan adalah melakukan konsistensi kebijakan terkait
pengembangan EPB, terutama mengingat potensi EPB yang sangat besar di
Indonesia. Aktor yang harus berperan adalah pemerintah pusat dan daerah untuk
mendorong partisipasi pihak swasta, PLN dan masyarakat dalam pengembangan
EPB. Hal ini bertujuan untuk menjaga keamanan energi nasional guna mencapai
target penyediaan EPB, sehingga bisa mendorong peningkatan ekonomi nasional
serta mengurangi polusi akibat energi fosil. Prioritas kebijakan yang harus
dilakukan adalah peningkatan energi bersih melalui kebijakan insentif dan
disinsentif serta didorong adanya pemanfaatan kawasan lindung dan harga
keekonomian EPB.
Hasil analisis ISM menunjukkan bahwa ada tiga elemen yang harus
dipertimbangkan untuk pengembangan energi panas bumi yang berkelanjutan : 1)
pemerintah pusat sebagai aktor memiliki kekuatan yang paling kuat
mempengaruhi lainnya, 2) Konsistensi kebijakan pemerintah merupakan kendala
yang utama, serta 3) membangun strategi dan kebijakan jangka panjang adalah
elemen kunci dan pendorong utama yang akan mempengaruhi lainnya.
Berdasarkan hasil analisa-analisa tersebut, strategi pengembangan energi panas
bumi berkelanjutan disusun, untuk mendukung kebijakan jangka panjang
peningkatan energi bersih sesuai target nasional serta mampu menjaga kelestarian
lingkungan dan mengurangi pencemaran, sekaligus mendorong peningkatan
kesejahteraan masyarakat lokal dan peningkatan ekonomi nasional.