Konstelasi politik kebijakan internasional perubahan iklim dalam pengelolaan hutan Indonesia secara lestari
View/ Open
Date
2015Author
Siswiyanti, Yayuk
Darusman, Dudung
Kartodihardjo, Hariadi
Ichwandi, Iin
Metadata
Show full item recordAbstract
Dalam relasi internasional, terdapat persoalan bahwa berbagai Konvensi telah
diratifikasi oleh Indonesia, termasuk urusan lingkungan dan pengelolaan hutan; namun
demikian gejala kerusakan hutan yaitu deforestasi dan degradasi hutan masih
berlangsung dan tidak surut. Sejak Konvensi Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto,
terdapat arus yang membawa paradigma dan harapan baru dalam pengelolaan hutan.
Indonesia turut meratifikasi Konvensi tersebut. Penelitian ini bertujuan meletakkan akar
persoalan pengelolaan hutan Indonesia, mengupas bagaimana Konvensi Perubahan Iklim
dikonstruksi dalam perundingan negara-negara serta bagaimana Konvensi bekerja dalam
pengelolaan hutan di Indonesia.
Metode penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivistik proses pembuatan
kebijakan Institute Development Studies (IDS) 2006. IDS menggali proses pembuatan
kebijakan sebagai proses politik; mengungkap interkoneksi aspek diskursus/naratif,
aktor/jaringan dan politik/kepentingan; serta menganalisis arena kebijakan untuk
menemukan kemungkinan perubahan kebijakan kepada tata kelola yang lebih lestari.
Penelitian ini menganalisis deskriptif intersubyektif terhadap literatur-literatur
pengelolaan hutan; dokumen-dokumen proses dan hasil perundingan Konvensi
Perubahan Iklim; serta proses dan hasil formulasi kebijakan respon Indonesia. Hasil
analisis tersebut kemudian dikonfirmasi secara triangulasi terhadap 35 (tigapuluh lima)
informan kunci yang terkait dengan pengelolaan hutan dan relasi internasional perubahan
iklim; terdiri dari representasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, LSMnasional, LSM
internasional, organisasi internasional antar pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan
focal point kerjasama perubahan iklim Indonesia dengan negara lain. Penelitian ini
berorientasi pada obyektifitas dan reflektifitas, dengan intersubyektif yang dicerminkan
oleh konsistensi dan koherensi substansial. Ruang lingkup penelitian ini adalah eksistensi
pemerintah Indonesia terkait relasi negara dengan negara tentang Konvensi Perubahan
Iklim terhadap keberhasilan/kegagalan pengelolaan hutan di Indonesia, dengan manfaat
pertimbangan kebijakan terkait Konvensi Perubahan Iklim. Penelitian, analisis dan proses
penulisan hasil dilakukan selama 29 (duapuluh sembilan) bulan mulai Mei 2012 hingga
Desember 2014.
Konvensi Perubahan Iklim merupakan gerakan konservasionisme global. Gerakan
ini menghadapi berbagai kepentingan ekonomi dunia, terutama kepentingan negaranegara
maju dan negara industri untuk menguasai ekonomi dunia dan membangun
ketergantungan negara berkembang/miskin kepada negara maju. Untuk pemenangan
kepentingannya, isu kehutanan dan lahan antara lain penggunaan lahan, perubahan
penggunaan lahan dan kehutanan (LULUCF) serta isu deforestasi dan degradasi hutan
(REDD) menjadi kontestasi utama dalam perundingan baik di jalur pertemuan teknis
maupun dalam pertemuan tingkat tinggi. Isu LULUCF dan REDD(+) yang berbasis
lahan, sangat terkait dengan pengaturan akses terhadap hutan (tenurial), baik akses lahan
maupun akses hasil hutan. Di sisi lain, tata kelola hutan Indonesia tidak lagi menghadapi
teknis tata kelola, namun menghadapi persoalan politik tata kelola, yaitu pada
ketidakadilan akses terhadap lahan maupun hasil hutan. Narasi kebijakan pengelolaan
hutan Indonesia mengindikasikan upaya-upaya pelemahan masyarakat lokal baik dalam
relasi sosial, ekonomi dan histori-antropologi terhadap hutan. Masyarakat yang memang
sudah lemah, seharusnya diproteksi justru dianggap sebagai ancaman dalam pengelolaan
hutan.Masyarakat disisihkan dalam proses pembuatan kebijakan pengaturan sumberdaya
hutan. Diindikasi bahwa terdapat ketidakinginan pembuat kebijakan terkait penguasaan
lahan untuk mereformasi kebijakan tenurial. Kebijakan tata kelola hutan dibiarkan
tumpang tindih bahkan berkonflik satu dengan yang lain, sehingga membuka celah lebar
bagi moral hazard, seperti perburuan rente dan penumpangan gelap. Situasi kebijakan
demikian sulit untuk meletakkan penegakan hukum karena tidak memiliki landasan
material substansial yang kuat dan konsisten. Politik uji materiil kebijakan menjadi
kencenderungan untukmelakukan perlawanan politikmemangkas ketidakadilan tersebut.
Dalam perundingan Konvensi, hutan diposisikan sebagai kontributor emisi GRK
global. Di sisi lain, kontestasi narasi kontribusi hutan sebagai reduktor emisi GRK
disisihkan dari pemenangan kontestasi. Demikian pula, isu internalisasi lingkungan
dalam kegiatan ekonomi disembunyikan atau dialihkan dari kesepakatan-kesepakatan
perundingan. Politik kepentingan ekonomi menghadapi kepentingan lingkungan,
menggunakan instrumen insentif, sedangkan politik kepentingan lingkungan menghadapi
kepentingan ekonomi, menggunakan instrumen konservasi admosfer skenario bencana.
Politik konservasi admosfer tersebut tidak menggeser dan tidak mengubah kepentingankepentingan
ekonomi, meski dapat menahan eksplorasinya. Di sisi lain, politik insentif
masih tergantung dengan kondisi ekonomi global negara-negaramaju.
Indonesia tidak menampakkan posisi sebagai negara yang memiliki hutan tropis
terluas ketiga dunia, sehingga tidak memiliki posisi tawar yang kuat, lebih memerankan
diri sebagai obyek daripada subyek, yang diindikasi utama oleh orientasi partisipasi
daripada negosiasi. Indonesia menerima label sebagai negara kontributor emisi GRK.
Indonesia menerima dan berinisiatif secara sukarela untuk berkontribusi menurunkan
emisi GRK dunia. Posisi sebagai obyek mendorong Indonesia sangat mudah dinavigasi
oleh negara-negara maju. Kelemahan-kelemahan tersebut berpotensi menjadi alat untuk
mensubordinasi Indonesia dalam relasi internasional. Di sisi lain, dalam konteks posisi
Indonesia dalam relasimultilateralmaupun bilateral, luas hutan alamhampir separuh luas
daratan Indonesia yang ada saat ini mampu menopang emisi GRK pembangunan
nasional, baik sektor energi, industri, pertanian, perubahan penggunaan lahan dan
kebakaran lahan basah; bahkan hutan Indonesia memberikan layanan konservasi
admosfer kepada dunia. Meskipun demikian hal tersebut bukan sebagai jalan lebar bagi
kegiatan peningkatan emisi GRK, karena Indonesia turutmerasakan dampak peningkatan
GRK global.
Konvensi Perubahan Iklim telah mendorong produksi kebijakan Indonesia di
bidang kehutanan untuk mengimplementasikan Konvensi secara teknis. Namun
demikian, paradigma perubahan iklim tersebut dapat bekerja dalam pengelolaan hutan
Indonesia secara lestari apabila terjadi perubahan orientasi tata kelola hutan Indonesia,
perubahan posisi negosiasi Indonesia dalam perundingan Konvensi Perubahan Iklim,
serta situasi ekonomi global yang kuat. Perubahan orientasi tata kelola dari keberpihakan
kepada pengusaha ke arah keberpihakan pada masyakarat. Perubahan posisi negosiasi
dari orientasi hutan sebagai kontributor emisi GRK menjadi orientasi hutan sebagai
reduktor emisi GRK, dari orientasi partisipasimenjadi orientasi negosiasi.
Konvensi Perubahan Iklim tidak memiliki kaitan dengan kelestarian hutan. Tata
kelola tenurial yang adil merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan Konvensi. Faktanya
bahwa tata kelola tenurial yang adil tidak mendapat dukungan politik yang ada, sehingga
perlumenguatkan koalisi atau pergerakan tenurial.
Collections
- DT - Forestry [344]