dc.description.abstract | Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) merupakan tanaman berimpang asli Indonesia yang termasuk ke dalam familia Zingiberaceae. Tanaman jenis monokotil ini telah lama dimanfaatkan masyarakat Indonesia sebagai tanaman obat, karena memiliki efek antimikroba, antihiperlipidemia, antiinflamasi terhadap radang usus besar, dan aktivitas antioksidan. Antioksidan merupakan senyawa kimia yang dapat digunakan untuk mengurangi efek oksidasi dengan menyumbangkan elektron ke radikal bebas yang tidak berpasangan. Terdapat banyak komponen dari rimpang temulawak yang dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan eksogen alami dan terbukti secara klinis efektif sebagai antioksidan. Salah satu senyawa kimia tersebut adalah fenolik yang dapat melindungi organ tumbuhan dari oksidasi. Selain itu, fitokimia lainnya yang memiliki aktivitas antioksidan adalah flavonoid. Produksi dan kandungan bioaktif temulawak dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh tanaman temulawak. Tumbuhan yang ditanam dalam kondisi tercekam akibat stres cahaya seperti pemberian naungan dapat meningkatkan senyawa metabolit sekunder golongan flavonoid karena pengaruh cahaya yang diterima tanaman. Cahaya memiliki pengaruh yang penting terhadap pertumbuhan, karena perannya dalam proses fotosintesis, pembukaan dan penutupan stomata, serta sintesis klorofil. Cahaya juga dianggap sebagai faktor stres yang memiliki pengaruh besar terhadap pertumbuhan tanaman. dikarenakan sedikitnya informasi mengenai pengaruh pemberian taraf naungan yang berbeda terhadap pertumbuhan, laju fotosintesis, kandungan klorofil dan polifenol, serta aktivitas antioksidan tanaman temulawak, maka dilakukanlah penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui respon pertumbuhan, laju fotosintesis, kandungan klorofil daun, kandungan polifenol dan aktivitas antioksidan rimpang temulawak pada pemberian taraf naungan yang berbeda. Pembudidayaan tanaman temulawak dilakukan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) satu faktor yaitu naungan berupa paranet. Terdapat 4 perlakuan meliputi taraf naungan 0%, 25%, 50% dan 75%. Setiap perlakuan dilakukan dalam tiga ulangan sehingga terdapat 12 satuan percobaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan naungan berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, bobot basah, laju fotosintesis, dan konduktansi stomata tanaman temulawak. Selain itu, naungan juga mempengaruhi kandungan total flavonoid, dan aktivitas antioksidan pada metode DPPH dan CUPRAC. Perlakuan naungan 25% memberikan hasil terbaik pada parameter jumlah daun, bobot basah rimpang, kandungan total flavonoid dan pengujian aktivitas antioksidan metode CUPRAC. Sementara naungan 75% memberikan hasil terbaik pada uji antioksidan metode DPPH. Naungan 50% memberikan hasil terbaik pada tinggi tanaman temulawak, sementara naungan 0% memberikan laju fotosintesis dan konduktansi stomata daun temulawak terbaik. Pada penelitian ini, terdapat korelasi positif antara tinggi tanaman (TT) temulawak terhadap jumlah daun (JD), jumlah anakan (JA), klorofil total (KT) dan bobot basah (BB) rimpang temulawak. JD juga berkorelasi positif dengan bobot basah (BB) dan laju
5
fotosintesis (LF). Begitupula JA yang berkorelasi positif dengan BB, serta BB yang berkorelasi positif dengan LF. Sementara itu, korelasi antara kadar total fenolik (TPC) dengan TT, JD, JA, BB, dan LF juga menunjukkan hasil yang positif. JD berkorelasi positif dengan kadar total flavonoid (TFC), sama seperti BB dan TFC. Terdapat pula korelasi yang positif antara TFC dengan TT, JA, dan LF. Antioksidan DPPH berkorelasi positif dengan TT, KT, dan TPC. Selain itu, FRAP juga menunjukkan korelasi positif terhadap JD, BB, LF, TPC, dan TFC. ABTS berkorelasi positif dengan KT, dan CUPRAC berkorelasi positif terhadap parameter BB, TF, dan ABTS. | id |