Model Pengelolaan Rumah Potong Hewan Berkelanjutan di Provinsi DKI
Date
2019Author
Sidabalok, Hasudungan Agustinus
Machfud
Nahrowi
Pandjaitan, Nurmala Katrina
Metadata
Show full item recordAbstract
Rumah potong hewan di Kota Jakarta harus maksimal dalam memenuhi
kebutuhan protein hewani di Provinsi DKI sehingga dapat dijadikan sebagai
percontohan pengelolaan rumah potong hewan yang baik dan berkelanjutan karena
secara operasional bertanggung jawab menyediakan bahan pangan asal hewan
(PAH) yang baik dengan melakukan proses produksi yang higienis. Rumah potong
hewan yang berkelanjutan berarti pengelolaannya sudah dapat menerapkan praktik
higiene sanitasi dan pengelolaan limbah yang baik, berorientasi pada keuntungan,
mempertimbangkan aspek sosial/kesehatan masyarakat, penerapan teknologi serta
koordinasi kelembagaan yang dinamis.
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk membuat suatu model pengelolaan
rumah potong hewan (ruminansia, unggas dan babi) yang berkelanjutan di Provinsi
DKI Jakarta dengan beberapa tujuan spesifik yaitu: (1) menganalisis persepsi dan
hubungan antara karakteristik masyarakat di sekitar rumah potong hewan dengan
penerimaan keberadaan rumah potong hewan; (2) menganalisis hubungan antara
pengetahuan, sikap dan praktik pengelola rumah potong hewan terkait higiene
sanitasi dan pengelolaan limbah; (3) menganalisis status keberlanjutan seluruh
rumah potong hewan berdasarkan dimensi: sosial, ekonomi, ekologi, teknologi dan
kelembagaan dan dapat menguraikan faktor penting optimalisasi produktifitas
setiap rumah potong hewan yang berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta serta
prospektivitas atribut pengungkit utama; (4) membangun arahan strategi kebijakan
dalam pengelolaan rumah potong hewan berkelanjutan.
Metode yang digunakan untuk menganalisis persepsi dan korelasi antara
karakteristik dengan persepsi masyarakat dan antara karakteristik dan pengetahuan,
sikap dan praktik pengelola rumah potong hewan dengan analisis deskriftif, korelasi
Gamma dan Spearman dengan software Statistical package for the social sciences
(SPSS); analisis status keberlanjutan rumah potong hewan dan analisis prospektif
dengan multi dimensional scalling (MDS) dan dilanjutkan dengan partisipatory
Prospective Analysis (PPA) dengan alat uji Rap slaughterhouse, Montecarlo
dilanjutkan dengan software Partisipatory Prospective Analysis; model
pengelolaan rumah potong hewan berkelanjutan dengan menggunakan analisis
sistem dinamik dengan alat uji Powersim serta merancang strategi arahan strategi
kebijakan pengelolaan rumah potong hewan dengan metode analytical hierarchy
process (AHP) dan alat uji software expert choice.
Hasil analisis persepsi masyarakat menunjukkan bahwa persepsi masyarakat
yang bermukim disekitar RPH terkait limbah adalah limbah rumah potong hewan
dapat menyebabkan pencemaran udara, gangguan kesehatan masyarakat dan
kesehatan lingkungan yang berurutan dari RPH ruminansia, unggas dan babi.
Persepsi masyarakat yang bermukim di sekitar RPH terkait keberadaan RPH paling
banyak menolak terdapat di RPH ruminansia, sementara paling banyak menerima
terdapat di RPH unggas. Persepsi masyarakat yang bermukim di sekitar RPH terkait
manfaat secara ekonomi paling banyak di RPH babi, ruminansia dan unggas.
Pengetahuan masyarakat terkait pengelolaan limbah yang dilakukan oleh pengelola
RPH sebagian besar sudah cukup baik dan secara berurutan ditemukan di RPH
ruminansia, unggas dan babi. Pada RPH ruminansia tidak ada satupun karakteristik
(umur, lama tinggal, tingkat pendidikan, dan jarak rumah) yang berkorelasi dengan
penerimaan keberadaan RPH, sementara pada RPH babi dan RPH unggas
karakteristik umur berkorelasi dengan penerimaan keberadaan RPH di lokasi
tempat tinggal yang berarti semakin tua responden semakin dapat menerima
keberadaan RPH di lokasi tempat tinggalnya.
Hasil analisis karakteristik pengetahuan, sikap dan praktik pengelola RPH
diperoleh hasil pengetahuan baik terkait higiene, sanitasi dan pengelolaan limbah
paling banyak ditemukan di RPH ruminansia dan tingkat pengetahuan buruk paling
banyak ditemukan di RPH unggas demikian juga sikap negatif hanya ditemukan
pada responden di RPH ruminansia sementara praktik baik paling banyak
ditemukan di RPH babi.
Hasil analisis keberlanjutan diperoleh hasil bahwa pada RPH ruminansia
dimensi yang berkelanjutan adalah dimensi ekonomi, kelembagaan dan teknologi
sementara dimensi sosial dan ekologi kurang berkelanjutan. Berdasarkan analisis
prospektif untuk menentukan kekuatan global terbobot pada setiap dimensi di RPH
ruminansia ditemukan atribut yang paling berpengaruh adalah: pemanfaatan air
limbah menjadi pupuk organik/biogas, peningkatan tingkat pengetahuan pengelola
terkait higiene sanitasi dan pengelolaan limbah; penerapan teknologi pengolahan
limbah menjadi sumber energi dan peningkatan manfaat secara ekonomi RPH
ruminansia bagi masyarakat sekitar RPH. Pada RPH unggas pada saat ini
ditemukan bahwa hanya dimensi ekonomi yang cukup berkelanjutan sementara
dimensi teknologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan kurang berkelanjutan dan
berdasarkan analisis prospektif untuk menentukan kekuatan global terbobot dari
seluruh dimensi di RPH unggas atribut yang paling berpengaruh adalah
peningkatan promosi RPH unggas, pemanfaatan air limbah RPH menjadi pupuk
organik/biogas, peningkatan produksi RPH dan peningkatan tingkat pengetahuan
pengelola terkait higiene sanitasi dan pengelolaan limbah dan pada RPH babi
hanyak dimensi ekonomi yang cukup berkelanjutan dan berdasarkan analisis
prospektif atribut yang paling berpengaruh adalah peningkatan kontrol kualitas
produk RPH, pemanfaatan air limbah menjadi pupuk organik/biogas , peningkatan
produksi RPH dan peningkatan tingkat pengetahuan pengelola RPH terkait higiene,
sanitasi dan pengelolaan limbah.
Hasil simulasi model pengelolaan RPH ruminansia berkelanjutan diperoleh
hasil bahwa untuk memenuhi kebutuhan daging sapi di Kota Jakarta masih sangat
rendah demikian juga pengelolaan limbah padat maupun limbah cair masih sangat
kecil dan berdasarkan hasil simulasi skenario 1, 2 dan 3 juga lebih rendah bila
dibandingkan dengan kondisi eksisting. Pada RPH unggas dan babi juga terdapat
kondisi yang serupa dimana produksi RPH belum mampu sepenuhnya untuk
memenuhi kebutuhan daging ayam dan daging babi untuk kota Jakarta.
Berdasarkan hasil simulasi ditemukan bahwa intervensi meningkatkan pengetahuan
pengelola RPH terkait dengan pengelolaan limbah lebih rendah pengaruhnya dalam
menekan produksi limbah bila dibandingkan dengan intervensi meningkatkan
teknologi pengelolaan limbah dan keuntungan pupuk cair juga lebih tinggi bila
dilakukan peningkatan pengetahuan pengelolaan limbah RPH.
Strategi yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah dalam pengelolaan
RPH berkelanjutan adalah: pada RPH ruminansia, aktor utama yang paling
berperan dalam peningkatan keberlanjutan adalah pemerintah daerah dalam hal ini
Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta sebagi
pengelola RPH ruminansia, dan faktor penting yang menjadi perhatian adalah
faktor ekonomi yang bertujuan untuk memperhatikan keberlanjutan RPH
ruminansia dengan strategi peningkatan koordinasi dengan daerah pemasok ternak;
pada RPH unggas, aktor utama adalah pemerintah daerah dalam hal ini Dinas
Ketahanan Pangan Kelautan dan pertanian Provinsi DKI Jakarta dan lebih
memprioritaskan dimensi lingkungan untuk memenuhi kebutuhan daging unggas di
Provinsi DKI Jakarta melalui peningkatan promosi RPH unggas dan pada RPH babi,
aktor utama adalah Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI
Jakarta yang memperhatikan dimensi lingkungan, yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan daging babi dengan strategi peningkatan pengetahuan pengelola RPH
babi terkait higiene dan sanitasi.