dc.description.abstract | Sejak hadirnya Nawacita poin ketiga, pembangunan di Indonesia mulai
memberikan fokus pada pembangunan wilayah pedesaan. Hal ini ditunjukkan
dengan hadirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Hadirnya UU
No.6/2014 menegaskan pengakuan status dan kepastian hukum akan desa dalam
sistem kenegaraan Republik Indonesia. Melalui UU No.6/2014, desa sebagai lokus
pemerintahan terkecil di Indonesia juga diberikan tambahan pendapatan berupa
Dana Desa yang dianggarkan setiap tahunnya dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). Hadirnya Dana Desa bertujuan untuk (1) Meningkatkan
pelayanan publik di Desa; (2) Mengentaskan kemiskinan; (3) Memajukan
perekonomian Desa; (4) Mengatasi kesenjangan antar desa; dan (5) Memperkuat
masyarakat desa sebagai subjek dari pembangunan.
Kabupaten Bogor merupakan kabupaten penerima Dana Desa terbesar di
Jawa Barat. Dalam hal ini, pengelolaan Dana Desa yang tepat diharapkan dapat
mengatasi permasalahan kemiskinan pedesaan di Kabupaten Bogor. Namun,
hingga saat masih ditemukan pelanggaran pengelolaan Dana Desa seperti
pembuatan laporan fiktif, keterlambatan pelaporan, hingga penggunaan yang di luar
bidang prioritasnya. Hal ini dikarenakan lemahnya kapasitas kelembagaan desa
yang berdampak pada buruknya pengelolaan program Dana Desa sehingga
mengakibatkan pembangunan desa yang tidak optimal. Di sisi lain, kelembagaan
merupakan dimensi yang memiliki peran penting dalam pembangunan karena
berperan untuk mengatur pengelolaan, efisiensi, dan keberlanjutan sumber daya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan penelitian ini adalah (1)
Mengidentifikasi peran kelembagaan desa dalam pengelolaan program Dana Desa;
(2) Menganalisis elemen kelembagaan yang menjadi faktor penghambat dalam
program Dana Desa; dan (3) Merumuskan strategi untuk menguatkan kelembagaan
desa dalam menjalankan program Dana Desa.
Penelitian ini dilakukan pada studi kasus tiga desa yang berada di Kabupaten
Bogor. Komposisi tiga desa studi kasus terdiri dari satu desa maju, satu desa
berkembang, dan satu desa tertinggal. Nama desa disamarkan menjadi Desa X,
Desa Y, dan Desa Z atas permintaan dan kesepakatan bersama informan.
Pendekatan campuran (mix method) menggunakan strategi metode campuran
bertahap atau sequential mixed method diterapkan dengan prosedur bertahap yang
dimulai dari pengumpulan data dan analisis data secara kualitatif dan dilanjutkan
dengan pengumpulan data dan analisis data secara kuantitatif. Pendekatan kualitatif
digunakan untuk mengidentifikasi peran kelembagaan dan menganalisis faktor
penghambat program Dana Desa berdasarkan perspektif kelembagaan. Sedangkan
pendekatan kuantitatif digunakan untuk merumuskan strategi penguatan
kelembagaan desa dalam menjalankan program Dana Desa.
Pada pendekatan kualitatif, analisis isi dan analisis tematik digunakan sebagai
metode untuk menjawab tujuan satu dan dua penelitian. Hasil analisis menunjukkan
peran kelembagaan desa dalam pengelolaan program Dana Desa berdasarkan
elemen kelembagaan kultural-kognitif, normatif, dan regulatif di Desa X sebagai
desa dengan tipologi desa berkembang tergolong lebih baik dibandingkan Desa Y
dengan tipologi desa maju dan Desa Z dengan tipologi desa tertinggal. Hal ini
dikarenakan partisipasi dan kohesi sosial masyarakat Desa X didasari atas
kesadaran akan hak untuk pengambilan keputusan dan pencapaian tujuan bersama.
Selain itu, Kepala Desa X dinilai lebih transparan, inovatif, dan responsif dalam
menjalankan program Dana Desa sehingga mampu menjalin sinergitas dan
mendapatkan kepercayaan masyarakat.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa ditemukannya faktor penghambat
program Dana Desa dalam setiap elemen kelembagaan. Pada elemen kultural kognitif dan normatif, rendahnya pengetahuan masyarakat di ketiga desa
menghasilkan alokasi pemanfaatan Dana Desa yang tidak berorientasi pada
peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Selain itu, pada Desa Y dan Desa Z,
rendahnya pengetahuan masyarakat yang didukung oleh lemahnya transparansi dan
inovasi kepala desa berakibat pada terhambatnya pengelolaan BUMDes yang
optimal. Tidak hanya itu, lemahnya partisipasi dan kohesi sosial masyarakat Desa
Y dan Desa Z menyebabkan masyarakat hanya berperan sebagai objek
pembangunan semata. Pada elemen regulatif, lemahnya regulasi pengawasan dan
evaluasi program Dana Desa di Desa Y dan Desa Z menghantarkan pada rendahnya
komitmen pemerintah desa untuk mengelola Dana Desa secara tepat.
Pada pendekatan kuantitatif, metode Analytical Hierarchy Process atau AHP
digunakan untuk menyajikan prioritas strategi penguatan kelembagaan desa yang
paling tepat berdasarkan permasalahan yang telah ditemukan. Dari lima alternatif
strategi yang dihasilkan, analisis AHP menunjukkan bahwa strategi yang memiliki
bobot prioritas paling besar untuk menguatkan kelembagaan desa adalah
membangun regulasi yang menghadirkan skema social control untuk kegiatan
evaluasi dan monitoring Dana Desa. Hal ini konsisten dengan hasil pembobotan
elemen yang menjadi prioritas dalam penguatan kelembagaan desa. Elemen yang
mendapatkan bobot tertinggi adalah elemen regulatif, diikuti oleh elemen normatif
dan elemen kultural-kognitif. | id |