Kelembagaan, Partisipasi dan Keberlanjutan Pengelolaan Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan
Date
2022Author
Wahyu, Ade
Suharjito, Didik
Darusman, Dudung
Syaufina, Lailan
Metadata
Show full item recordAbstract
Implementasi kebijakan Perhutanan Sosial (PS) dijalankan dengan membentuk dan mengembangkan kelembagaan lokal untuk mengorganisasikan aksi kolektif dalam pengelolaan hutan. Oleh karenanya, kelembagaan dan partisipasi lokal yang selalu mengiringinya menjadi faktor penting yang menentukan keberhasilan dan keberlanjutan PS sehingga harus mendapat perhatian lebih. Penelitian ini bertujuan untuk menilai dan menjelaskan implementasi PS di tingkat lokal pada dua skema terbesar yaitu HD dan HKm dengan menggunakan konsep kelembagaan, partisipasi, dan keberlanjutan. Pengetahuan dan pemahaman terhadap ketiga konsep tersebut, serta implikasinya, akan bermanfaat bagi berbagai pihak dalam membuat pilihan-pilihan rekomendasi untuk penguatan PS ke depan.
Tiga HD di Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat dan tiga HKm di Kabupaten Belitung Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dipilih sebagai kasus pada penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumentasi, wawancara terstruktur, wawancara mendalam, dan pengamatan terlibat di lapangan. Data dan informasi yang terkumpul selanjutnya dianalisis untuk mengetahui kekuatan, peran dan keberlanjutan kelembagaan lokal dari ketiga HD dan ketiga HKm. Penelitian ini menggunakan kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan untuk menganalisis tingkat dan kualitas partisipasi serta tingkat keberlanjutan pengelolaan ketiga HD dan ketiga HKm. Analisis pendahuluan dilakukan untuk mengetahui perkembangan kebijakan PS dan kontribusi dari HD dan HKm terhadap pendapatan masyarakat dan kondisi hutan.
PS di Indonesia telah berkembang sangat signifikan terutama dalam tujuh tahun terakhir, didorong oleh kebijakan dan komitmen pemerintah yang semakin terbuka, inklusif dan kolaboratif. Posisi masyarakat yang sebelumnya hanya dilibatkan bahkan dianggap sebagai beban pembangunan, semakin didorong menjadi aktor atau pelaku utama yang memiliki kewenangan formal dalam pengelolaan hutan.
Kontribusi PS terhadap pendapatan masyarakat dan kondisi hutan dinilai masih beragam dalam dan antar skema maupun wilayah. Dari 51 HD yang tersebar di delapan provinsi, 42 (82%) di antaranya telah memberikan kontribusi antara 7%-76% terhadap total pendapatan rumah tangga anggotanya, sementara 9 HD lainnya dinilai belum memberikan dampak terhadap pendapatan masyarakat. Dari 43 kasus HKm yang tersebar di tujuh provinsi, 32 HKm (74%) di antaranya telah berkontribusi terhadap pendapatan rumah tangga anggotanya antara 4%-92%, sementara 11 HKm (26%) lainnya dinilai belum memberikan kontribusi yang signifikan. Hasil analisis spasial terhadap 538 unit HD dan 745 unit HKm yang tersebar di seluruh Indonesia menunjukkan bahwa HD dan HKm berdampak positif terhadap kondisi hutan dan optimalisasi penggunaan lahan. Secara agregat, HD dan HKm tersebut mampu menahan laju deforestasi, memanfaatkan lahan tidak produktif dan meningkatkan tutupan hutan primer, meskipun sangat bervariasi baik secara temporal maupun spasial.
Dari tiga HD dan tiga HKm yang menjadi kasus dalam penelitian ini, hanya HKm SB yang memiliki kelembagaan lokal yang kuat meskipun belum mencapai kondisi maksimum. Meskipun ketiga HD dan dua HKm lainnya memiliki stabilitas kelembagaan yang baik, namun penegakan kelembagaannya masih lemah. Struktur organisasi, peran dan aturan-aturan lebih sebagai dokumen di atas kertas yang tidak dijalankan, ditegakkan dan dipatuhi masyarakat (window dressing institutions). Hasil penelitian ini menegaskan bahwa dengan kelembagaan yang lemah, HD dan HKm tidak efektif menjalankan fungsi atau aktivitas dasar organisasi yang diperlukan untuk mengorganisasikan aksi kolektif sehingga gagal memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat atau anggotanya. Hal tersebut berdampak pada semakin menurunnya kepercayaan, dukungan, dan legitimasi kelembagaannya.
Lemahnya kelembagaan berdampak pada rendahnya tingkat dan kualitas partisipasi lokal. Kecuali di HKm SB, tingkat partisipasi masyarakat dalam perencanaan/pengambilan keputusan dan implementasi kegiatan pengelolaan, berada pada kategori rendah dan non partisipasi. Kualitas partisipasi masyarakat dalam pengelolaan HD dan HKm juga berada pada kategori rendah. Dari ketiga HD dan ketiga HKm, hanya HKm SB yang memiliki kualitas partisipasi pada kategori sedang dan tinggi. Pengelolaan HD dan HKm banyak didominasi dan ditentukan oleh individu dan kelompok elite tertentu yang memiliki atau beraliansi dengan aktor yang memiliki pengaruh dan kekuasaan.
Hasil penilaian keberlanjutan pengelolaan di ketiga HD dan ketiga HKm menegaskan hubungan antara kelembagaan, partisipasi dan keberlanjutan pengelolaan HD dan HKm. Kelembagaan dan partisipasi lokal yang lemah, menyebabkan rendahnya tingkat keberlanjutan pengelolaan hutan sebagaimana ditunjukkan di ketiga HD dan HKm PNPA dan HKm BJ. Sebaliknya, dengan kelembagaan lokal yang kuat dan partisipasi yang cukup dan berkualitas, HKm SB memiliki tingkat keberlanjutan pengelolaan hutan yang lebih tinggi, baik pada imensi ekologi, ekonomi maupun sosial. Oleh karenanya, penguatan kelembagaan dan partisipasi lokal dalam implementasi PS menjadi rekomendasi utama berdasarkan hasil penelitian ini.
Penelitian ini setidaknya memiliki tiga kebaruan yaitu: 1) fokus penelitian pada integrasi konsep kelembagaan, partisipasi dan keberlanjutan dalam menjelaskan pengelolaan HD dan HKm belum pernah dilakukan dalam satu penelitian sebelumnya, 2) penelitian ini memberikan penguatan konsep kelembagaan dan partisipasi lokal dengan mengadaptasikan pengukuran kekuatan kelembagaan dari Levitsky dan Murillo (2009) dan Falleti (2020), dan pengukuran kualitas partisipasi dari Cadman (2011) dan Maraseni et al. (2019) dalam kasus pengelolaan HD dan HKm, dan 3) penelitian ini merumuskan indikator-indikator penilaian cepat untuk mengukur tingkat keberlanjutan pengelolaan HD dan HKm berbasis multidimensional scaling. Social Forestry policy or Perhutanan Sosial (PS) is implemented by establishing and developing local institutions to organize collective action in forest management. Therefore, local institutions and its concomitant, participations, are the important factors determining the success and sustainability of PS that deserve more attention. This study aims to assess and explain the implementation of PS at the local level in the two largest schemes, namely HD and HKm by using the concepts of institution, participation and sustainability. Knowledge and understanding of these three concepts and their implications will be beneficial for related parties in making recommendations for strengthening PS implementation in the future.
Three HD in Kubu Raya Regency, West Kalimantan Province and three HKm in Belitung Regency, Kepulauan Bangka Belitung Province were selected as the case in this study. Data was collected through documentation study, structured interviews, in-depth interviews, and field observations. The collected data and information were analyzed to determine the strength, role and sustainability of local institutions of the three HD and the three HKm. This study uses a combination of qualitative and quantitative approaches. A quantitative approach was taken to analyze the level and quality of participation as well as the level of sustainability in the management of the three HD and the three HKm. Preliminary analysis was conducted to determine the development of PS policies and the contribution of HD and HKm to community incomes and forest conditions.
PS in Indonesia has experienced significant leap, especially in the last seven years, driven by government strong policies and commitments with simpler bureaucratic, inclusive, and collaborative approach. The local community roles evolved from merely being involved and even considered as a development burden, become the main actor, who has been given the formal authority in forest management.
PS contribution to community welfare and forests conditions varied within and between schemes and regions. About 42 (82%) out of 51 HD in eight different provinces have contributed to their member household income ranging between 7%-76%, while the other 9 HD were considered to have not had an impact on community income. About 32 HKm (74%) out of 43 HKm in seven different provinces have contributed to household income of their members ranging between 4%-92%. On the other hand, the other 11 HKm (26%) were considered to have not had contributed significantly. Results of the spatial analysis from 538 HD and 745 HKm throughout Indonesia shows that HD and HKm have a positive impact on forest conditions and land use optimalisation. In aggregate, HD and HKm can curb deforestation rates, utilize unproductive land, and slightly increase primary forest cover, though they vary widely in both temporal and spatial.
Of the three HD and three HKm cases, only HKm SB has high institutional strength even though it has not yet reached its optimal condition. Even though the three HD and two other HKm have a good institutional stability, but the institutional enforcement was still weak. Organizational structures, roles, and rules are more like paper documents that are not implemented, enforced, and obeyed by the community (window dressing institutions). The results of this research confirm that with weak institutions, HD and HKm are ineffective in carrying out basic organizational functions and activities needed to organize collective action, thus failing to meet the needs and expectations of the community and its members. It has an impact on the decline of trust, support and institutional legitimacy.
Weak local institutions have caused the low level and quality of community participation. Except in HKm SB, the level of community participation in planning/decision-making and implementation of management activities was in the low and non-participation category. The quality of community participation in HD and HKm management was also in the low category. Of the three HD and HKm, only HKm SB has the quality of participation in the medium and high categories. In general, HD and HKm management were dominated and determined by certain individuals and elite groups who have or were in alliance with powerful and clout actors.
Results of the sustainability assessment in the three HD and three HKm cases confirm the relation between the institution, participation, and sustainability. Weak local institutions and participation lead to low sustainability level of forest management as shown in the three HD, HKm PNPA and HKm BJ. On the other hand, with strong local institutions and sufficient level and quality of community participation, HKm SB have a higher level of forest management sustainability, in terms of ecology, economic, and social dimensions. Therefore, strengthening of local institution and participation in PS implementation are the main recommendations based on the findings of this research.
This research has at least three novelties, i.e.: 1) this research focus on the integration of the concepts of institutions, participation and sustainability of HD and HKm management which has never been done in a single previous study, 2) this research strengthens the concept of local institution and participation by adapting the concept of institutional strength from Levitsky and Murillo (2009) and Falleti (2020), and participation quality from Cadman (2011) and Maraseni et al. (2019) in HD and HKm management cases, and 3) this research formulate rapid appraisal indicators for village and community forest (RapVCF) to measure the sustainability level of HD and HKm management based on multidimensional scaling.