dc.contributor.advisor | Kusharto, Clara M | |
dc.contributor.advisor | Anwar, Faisal | |
dc.contributor.advisor | Rachmawati, Heni | |
dc.contributor.author | Srimiati, Mia | |
dc.date.accessioned | 2022-08-31T13:58:58Z | |
dc.date.available | 2022-08-31T13:58:58Z | |
dc.date.issued | 2022-08 | |
dc.identifier.uri | http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/114246 | |
dc.description.abstract | Luka bakar merupakan cedera penyebab utama kecacatan dan kematian
yang terjadi di seluruh dunia, terutama jika tidak diberi dukungan gizi yang tepat
(Bloemsma et al. 2008; Portel et al. 2016). Asupan makanan yang dibutuhkan
adalah yang mudah dikonsumsi, dicerna, dan diserap, dengan jumlah yang cukup
(Prins et al. 2009). Sebelumnya telah dikembangkan makanan cair instan
mengandung tepung lele dan tepung kelor dan diintervensikan pada pasien pasca
bedah dan anak kurang gizi (Huda 2014; Wibisono 2015; Faidaturrosyida 2017;
Kusharto dan Suseno, 2017). Selanjutnya produk ini dikembangkan untuk diberikan
pada pasien luka bakar dengan memodifikasi ukuran partikel tepung ikan lele dan
kelor melalui proses nanonisasi dan mikronisasi menggunakan ball miller. Proses
milling diharapkan dapat meningkatkan bioavailabilitas kandungan zat gizi
sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan luka bakar.
Proses milling dilakukan dengan trial-error untuk mendapatkan ukuran
partikel terkecil dari tepung lele dan tepung daun kelor. Tepung lele digiling selama
3 (tiga) jam dengan kecepatan 120 rpm menggunakan ball miller kapasitas 500
gram untuk mendapatkan ukuran diameter partikel 692,2 nm.Tepung kelor
membutuhkan waktu 6 (enam) jam untuk mendapatkan ukuran diameter partikel
1.890 nm (1,8 µm). Makanan cair instan dibuat dengan menggunakan formula
Faidaturrosyida (2017), hanya saja pada penelitian ini produk intervensi, tepung
lele dan tepung kelor yang digunakan memiliki ukuran partikel yang lebih kecil
setelah mengalami proses milling. Tepung lele dan tepung kelor yang telah di
milling, kemudian dianalisis kandungan zat gizinya. Hal serupa juga dilakukan pada
makanan formula cair yang akan diintervensikan.
Proses milling memberikan dampak yang berbeda pada karakteristik tepung
lele dan kelor. Setelah milling, kandungan air dan protein pada tepung lele
menurun,sedangkan kandungan abu meningkat. Pada tepung kelor, peningkatan
terjadi pada kandungan air dan abu, sedangkan kandungan lemak menurun. Selain
itu, kandungan asam amino pada tepung lele setelah milling mengalami penurunan
yang signifikan baik asam amino esensial maupun non esensial. Pada tepung kelor,
asam amino selain treonin dan histidin mengalami penurunan. Kandungan asam
lemak tepung lele setelah milling mengalami peningkatan signifikan (p<0,05),
kecuali pada kandungan asam stearat. Hal serupa juga terjadi pada kandungan asam
lemak tepung kelor, sebagian besar mengalami peningkatan kecuali pada asam
palmitat, omega 3, dan total asam lemak tidak jenuh yang mengalami penurunan.
Hasil uji menyatakan bahwa tingkat kesukaan terhadap warna dan aroma
makanan cair nano (MCN) lebih disukai dibandingkan dengan makanan cair biasa
(MCB). Selain itu, tingkat kesukaan terhadap rasa dan tekstur MCN lebih disukai
dibandingkan dengan MCB. Hal ini berkaitan dengan menurunnya ukuran partikel
sehingga dapat memperbaiki nilai polydispersity indeks (PI) kedua tepung tersebut
setelah mengalami proses milling. PI tepung lele sebelum milling adalah 0,415 dan
setelah milling menjadi 0,292, sedangkan PI pada tepung kelor sebelum milling
iii
sebesar 2,785 setelah milling menjadi 0,372. Nilai referensi PI pada tepung adalah
kurang dari 0,7 (Mudalige et al. 2019). Artinya, pada penelitian ini, proses milling
dapat memperbaiki nilai polydispersity indeks (PI) tepung lele maupun tepung
kelor.
Pada penelitian ini, intervensi dilakukan secara in vivo pada 15 ekor tikus
Sprague dawley selama 14 hari. Tikus dibagi menjadi 5 (lima) kelompok, yaitu
kelompok kontrol MCI (diintervensi dengan makanan cair instan komersial),
kelompok MCB15, MCB30, MCN15, MCN30. Angka 15 dan 30 artinya makanan
diberikan sebanyak persentase tersebut dari jumlah kebutuhan kalori harian tikus.
Tikus tetap diberikan pakan standar dan minum secara ad libitum. Semua kelompok
tikus diberikan luka bakar dengan cara menempelkan plat besi panas selama 5 detik
dengan ukuran luas luka 2,5 cm x 5 cm pada bagian peritoneum.
Hasil pengamatan makroskopis menunjukkan bahwa luas luka bakar pada
setiap kelompok mengalami penurunan signifikan (p<0,05) dari pengukuran hari
ke-1 hingga hari ke-14. Namun penurunan rata-rata luas luka bakar antar kelompok
tidak berbeda signifikan. Selain itu, visualisasi proses penyembuhan luka bakar
pada area trauma juga menunjukkan tahapan penyembuhan yang sama pada setiap
kelompok, yaitu terjadi prosedì inflamasi, proliferasi, dan tahap awal remodelling.
Walaupun secara statistik luas luka bakar antar kelompok tidak berbeda signifikan,
namun area luas luka bakar terkecil terlihat pada tikus yang diintervensi dengan
makanan formula cair mengandung partikel nano tepung lele-kelor dengan MCN
30. Hal ini didukung dengan data jumlah kolagen, sintesis kolagen tertinggi
ditunjukkan pada tikus yang berada di kelompok ini. Namun hasil ini tidak selaras
dengan jumlah epitel yang terukur pada masing-masing kelompok karena pada
proses penutupan luka pada tikus mekanisme wound contraction dapat lebih cepat
dibandingkan dengan proses epitelisasinya.
Penelitian ini juga menyajikan data dampak dari intervensi terhadap
metabolisme tikus dengan trauma luka bakar. Perbedaan intervensi pada penelitian
ini tidak berpengaruh pada proses katabolisme tikus yang ditunjukkan oleh tidak
signifikannya perbedaan berat badan tikus antar kelompok. Kadar glukosa darah
pada semua kelompok tikus mengalami peningkatan pada 30 menit pertama setelah
cidera luka bakar, namun kembali normal sejak hari ke-1 dan tidak berbeda
signifikan antar kelompok. Kadar SGPT dan ureum antar kelompok tidak berbeda
signifikan, namun kadar SGOT pada kelompok tikus intervensi makanan cair instan
15% (MCN 15) turun signifikan, sedangkan kreatinin naik signifikan. Selain itu,
terdapat variasi gambaran hematologi pada tikus di setiap kelompok, namun
sebagian besar variasi tersebut angkanya berada di kisaran normal. Hasil penelitian
ini menyimpulkan bahwa proses milling (nanonisasi tepung lele-mikronisasi tepung
kelor) dapat memperbaiki rasa dan tekstur pada produk makanan formula cair dan
cenderung lebih baik dalam membantu proses penyembuhan luka bakar pada tikus. | id |
dc.description.abstract | Burn injuries are the leading cause of death and disability on a global scale,
particularly if they are not treated with proper nutritional support (Bloemsma et al.
2008; Portel et al. 2016). Sufficient quantities of food that are easily consumed,
digested, and absorbed are required (Prins et al. 2009). Previously, instant liquid
foods containing catfish flour and moringa flour were created and administered to
post-operative patients and malnourished children (Huda 2014; Wibisono 2015;
Faidaturrosyida 2017; Kusharto and Suseno 2017). In addition, this product was
designed for administration to burn patients by modifying the particle size of catfish
and moringa fish meal via nanonization and micronization processes using a ball
miller. The milling process is anticipated to increase the bioavailability of nutrients,
thereby accelerating the healing of burn wounds.
Through trial and error, catfish flour and moringa leaf flour with the
smallest particle size were obtained during the milling process. Using a 500 gram
ball miller capacity, catfish flour was ground for three hours at 120 rpm to obtain a
particle diameter of 692,2 nm. It took six hours for moringa flour to achieve particle
diameter of 1.890 nm (1,8 µm). The Faidaturrosyida (2017) formula was used to
create instant liquid foods, but in this study, the intervention products, catfish flour,
and moringa flour had smaller particle sizes after milling. The nutritional content
of catfish and moringa flour that had been milled was then determined. The same
is done for liquid instant formulas that will be intervened upon.
The milling process has a different impact on the characteristics of catfish
and moringa flour. Catfish flour contains less water and protein after milling, while
its ash content increases. The water and ash content of Moringa flour increased,
while the fat content decreased. In addition, the content of both essential and non essential amino acids in catfish flour decreased significantly the following milling.
Other amino acids than threonine and histidine decreased in Moringa flour. Except
for the amount of stearic acid, the fatty acid content of catfish flour significantly
increased (p<0,05) after milling. The same thing occurred with the fatty acid
content of Moringa flour, except for palmitic acid, omega 3 fatty acids, and total
unsaturated fatty acids, which decreased significantly (p<0,05). The hedonic test
results indicated that instan nano liquid food (MCN) had a higher level of
preference for color and aroma than regular liquid food (MCB). Additionally, the
preference for the flavor and texture of MCN is higher than that of MCB. This is
due to the reduction in particle size, which enhances the polydispersity index (PI)
value of the two flours after milling. Before milling, the PI of catfish flour was
0,415 and after milling, it was 0,292, whereas before milling the PI of Moringa flour
was 2,785 and after milling it was 0,372. The flour reference PI value is less than
0,7 (Mudalige et al. 2019). In other words, the milling process can increase the
polydispersity index (PI) of catfish and moringa flour in this study.
In this study, 15 Sprague dawley rats were exposed to the intervention in
vivo for 14 days. Rats were separated into 5 groups: the MCI control group (fed
v
commercial instant liquid food), MCB15, MCB30, MCN15, and MCN30. The
numbers 15 and 30 indicate that rats are fed 15 and 30 percent of their daily calorie
requirements, respectively. Rats continued to receive standard food and water ad
libitum. All groups of rats were burned by attaching a hot iron plate to the
peritoneum for 5 seconds with a wound area of 2,5 cm x 5 cm.
The burn area of each group decreased significantly (p<0,05) from day 1
to day 14 as determined by macroscopic observations. However, the decrease in
average burn area was not significantly different between groups. In addition,
visualization of the burn healing process in the trauma area revealed the same stages
of healing in each group, including the inflammatory, proliferative, and early
remodeling stages. Although statistically the burn area between groups was not
significantly different, rats fed a liquid formula diet containing nanoparticles of
catfish-moringa flour and MCN 30 had the smallest burn area. This was supported
by data on the quantity of collagen, which demonstrated the highest collagen
synthesis. within this group of mice. However, these results do not correspond to
the number of epithelia measured in each group, as the wound contraction
mechanism in rats can be faster than the epithelialization process.
This study also provides information regarding the intervention's effect on
the metabolism of rats with burn injuries. In this study, the difference in intervention
had no effect on the rat's catabolism, as demonstrated by the insignificant difference
in body weight between groups. Blood glucose levels in all groups of rats increased
during the first 30 minutes following a burn injury, but returned to normal by the
first day and did not differ significantly. The levels of SGPT and urea did not differ
significantly between groups, but the levels of SGOT decreased significantly in the
15% instant liquid food intervention group (MCN 15), while creatinine increased
significantly. In addition, there were variations in the hematological profile of mice
within each group, but the majority of these differences were within the normal
range. This study concluded that the milling process (nanonization of catfish flour micronized moringa flour) can enhance the flavor and texture of liquid formula food
products and aid in the healing of burns in rats more effectively | id |
dc.description.sponsorship | Kemenristek Dikti | id |
dc.language.iso | id | id |
dc.publisher | IPB (Bogor Agricultural University) | id |
dc.title | Penyembuhan Luka Bakar Tìkus Sprague Dawley dengan Makanan Formula Cair Instan Nano Berbahan Tepung Lele-Kelor | id |
dc.title.alternative | The Healing Process of Sprague Dawley Rat Burns with Catfish Moringa Flour-Based Food Instant Liquid Nano Formula | id |
dc.type | Dissertation | id |
dc.subject.keyword | burns | id |
dc.subject.keyword | catfish flour | id |
dc.subject.keyword | nanonization | id |
dc.subject.keyword | milling | id |
dc.subject.keyword | moringa flour | id |