Show simple item record

dc.contributor.advisorAgungpriyono, Srihadi
dc.contributor.advisorSetijanto, Heru
dc.contributor.advisorNuraini, Henny
dc.contributor.authorSupratikno, Supratikno
dc.date.accessioned2022-08-22T04:53:04Z
dc.date.available2022-08-22T04:53:04Z
dc.date.issued2022-08-22
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/113863
dc.description.abstractPenggunaan non-penetretive pre-slaughter stunning (NPPSS) merupakan tindakan yang dilakukan sebelum penyembelihan yang bertujuan untuk mengurangi rasa sakit pada saat proses penyembelihan. Meskipun penggunaan NPPSS sudah diijinkan secara nasional sebagai metode dalam penyembelihan halal, namun penggunaan NPPSS pada sapi belum sepenuhnya diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat menganggap tindakan NPPSS dapat menyakiti hewan, memengaruhi proses perdarahan dan menyebabkan kematian sapi sebelum disembelih. Penyebab terjadinya polemik mengenai pro dan kontra penggunaan NPPSS adalah terbatasnya data mengenai evaluasi pelaksanaannya di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara anatomis penyembelihan yang menggunakan NPPSS di Indonesia yaitu mengevaluasi tingkat keberhasilan NPPSS (tingkat keberhasilan stunning/TKS) pada sapi dan menentukan faktor-faktor yang memengaruhi; mengevaluasi berbagai metode penyembelihan sapi di Indonesia yang menggunakan NPPSS dan non-NPPSS pada aspek waktu henti darah dan pembentukan false aneurysm, serta faktor-faktor yang memengaruhinya; menentukan shooting landmark dan shooting placement yang tepat pada sapi yang ada di Indonesia berdasarkan bentuk kepala dan posisi otak di tengkorak. Penelitian ini dilakukan menggunakan 460 ekor sapi Australian Brahman cross (ABX) yang disembelih dengan menggunakan NPPSS dan 50 ekor sapi ABX yang disembelih tanpa menggunakan NPPSS sesuai dengan aktivitas harian pada rumah potong hewan (RPH). Penelitian ini dilakukan sepenuhnya mengikuti prosedur yang berlaku di RPH terpilih mulai dari penanganan hewan menuju restraining box, peralatan yang digunakan, kompetensi petugas stunner, pelaksanaan NPPSS, kekuatan NPPSS, interval pintu restraining box ditutup-NPPSS final (PFS), interval waktu antara NPPSS final-penyembelihan, proses penyembelihan sampai dengan pemisahan kepala. Selain itu, penelitian ini menggunakan 25 sampel kepala sapi yang dipingsankan untuk menentukan shooting placement yang ideal. Fiksasi sampel kepala menggunakan larutan formalin teknis 10% sebagai pengawet. Pemotretan dilakukan dengan perangkat kamera digital. Analisis data dilakukan secara deskriptif menggunakan SPSS 21. Waktu henti darah dan morfometri kepala dianalisis menggunakan uji one way Anova, dan analisis faktor risiko TKS dan insidensi false aneurysm dianalisis dengan uji Chi Square dilanjutkan dengan analisis regresi ordinal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa TKS sebesar 74,35%. Berdasarkan banyaknya jumlah tembakan (JT), TKS pada JT = 1 memiliki TKS lebih tinggi (83,6%) dibandingkan dengan TKS pada JT ˃ 1 (64,7%). Analisis terhadap 13 parameter yang diamati, terdapat 3 parameter yang memiliki pengaruh signifikan terhadap TKS yaitu area shooting placement (ASP), jarak shooting placement (JSP), dan keberadaan frontal eminence (FE) dan/atau nuchal eminence (NE). Area shooting placement tepat di titik silang garis imajiner pertengahan mata dengan pertengahan pangkal tanduk pada sisi yang berlawanan menghasilkan TKS 3,44 kali lebih rendah dibandingkan dengan ASP di atas garis silang. Shooting placement pada JSP ˂ 3 cm menghasilkan TKS 16,67 kali lebih rendah dibandingkan dengan JSP 3-5cm. Keberadaan FE, NE, dan FE dan NE juga memberikan TKS yang lebih rendah yaitu secara berurutan 20; 3,85; dan 16,67 kali lebih rendah dibandingkan dengan TKS pada sapi tanpa FE dan NE. Hasil penelitian penggunaan NPPSS menunjukkan bahwa waktu henti darah rata-rata pada sapi ABX non-NPPSS adalah 187 ± 47,37 detik. Rata-rata waktu henti darah pada sapi yang disembelih dengan menggunakan NPPSS dengan JT = 1 304,32 ± 69,76 detik. Pada sapi ABX yang tidak pingsan sempurna setelah dilakukan NPPSS, diperoleh waktu henti darah yang lebih cepat dibandingkan dengan sapi ABX yang pingsan sempurna yaitu 258,94 ± 75,22 detik untuk sapi yang mendapatkan satu kali tembakan. Waktu henti darah pada sapi non-NPPSS dipengaruhi oleh kejadian false aneurysm sedangkan pada sapi NPPSS waktu henti darah dipengaruhi oleh TKS, JT, derajat kerusakan tulang, dan false aneurysm. Penggunaan NPPSS memberikan pengaruh terhadap kejadian false aneurysm, risiko terjadinya false aneurysm pada sapi ABX yang tidak dilakukan NPPSS sebesar 2,64 kali lebih tinggi dibandingkan dengan sapi ABX yang disembelih dengan menggunakan NPPSS pada keadaan pingsan setelah mendapatkan satu kali tembakan. Faktor risiko yang memengaruhi kejadian false aneurysm pada sapi ABX non-NPPSS adalah lokasi penyayatan. Pada sapi ABX non-NPPSS, lokasi sayatan pada cincin trakea T ≥ 6 meningkatkan risiko kejadian false aneurysm sebesar 11,20 (2,16 − 58,09) kali lebih tinggi. Risiko kejadian false aneurysm yang lebih tinggi terjadi jika sayatan dilakukan tepat mengenai atau di atas larynx yaitu 72,41 (4,23 − 1240,68) kali dibandingkan dengan sayatan pada cincin trakea 1 − 2. Berbeda dengan sapi ABX non-NPPSS, pada sapi ABX yang disembelih dengan menggunakan NPPSS, kejadian false aneurysm dipengaruhi oleh interval PFS, arah sayatan, dan lokasi sayatan. Interval PFS ≥ 121 detik meningkatkan risiko false aneurysm sebesar 2,48 (0,98-6,29) kali lebih tinggi. Arah sayatan yang dilakukan arah dari depan leher menghasilkan risiko false aneurysm yang lebih rendah yaitu sebesar 0,43 (0,20 − 0,93). Lokasi sayatan pada sapi ABX yang mendapatkan NPPSS menghasilkan risiko kejadian false aneurysm yang lebih tinggi mulai pada sayatan di cincin trakea 3 − 4 yaitu sebesar 3,52(1,94 – 6,38) kali lebih tinggi dan terus meningkat sejalan dengan posisi sayatan yang makin kaudal pada cincin trakea 5 − 6 dan cincin trakea ≥ 6. Pada sayatan tepat mengenai/di depan larynx, risiko kejadian false aneurysm pada sapi NPPSS meningkat sebanyak 13,97 (6,17 − 31.61) kali lebih tinggi dibandingkan dengan sayatan pada cincin trakea 1 − 2. Salah satu faktor yang memengaruhi TKS adalah akurasi shooting placement. Stunning yang efektif ditentukan oleh shooting placement yang benar dan dipengaruhi oleh breed. Hasil penelitian menunjukkan bahwa shooting placement yang paling mendekati pertengahan otak adalah pada pertengahan garis yang menghubungkan antara puncak kepala dan pertengahan garis yang menghubungkan canthus lateral kanan dan kiri dengan selisih jarak 0,25 ± 0,95 cm. Shooting placement menggunakan garis silang antara canthus lateral dengan pertengahan pangkal tanduk pada sisi yang berlawanan dengan selisih memiliki jarak 0,5 ± 1,1 cm dari pertengahan otak. Alternatif shooting placement yang lebih sederhana dapat ditentukan dengan menggunakan puncak kepala yaitu dilakukan pada posisi 8,44 ± 0,79 cm di bawah puncak kepala ke arah rostral Kata kunci: anatomi, non-penetrative, pemingsanan, penyembelihan, sapi.id
dc.description.abstractThe use of non-penetrative pre-slaughter stunning (NPPSS) is an action taken before slaughter that aims to reduce pain during the slaughtering process. Although NPPSS has been permitted nationally as a method of halal slaughter, the use of NPPSS in cattle has not been entirely accepted by all Indonesian communities. Some people think that the actions of NPPSS can hurt animals, affect the bleeding process, and cause the death of cattle before being slaughtered. The polemic about the pros and cons of NPPSS is due to limited data regarding the evaluation of its implementation in Indonesia. This study aimed to study the anatomical aspect of the slaughter process using NPPSS in Indonesia; evaluate the success rate of NPPSS (SSR) in cattle; determine the influencing factors; evaluate various methods of slaughtering cattle in Indonesia that use NPPSS and non-NPPSS on the bleeding time aspect; the incidence of the false aneurysm and the factors that influence it; determine shooting landmarks and shooting placement in Australian Brahman cross (ABX) cattle in Indonesia based on the shape of the head and the position of the brain in the skull. This study was conducted using 460 Australian Brahman cross (ABX) cattle slaughtered using NPPSS and 50 ABX cattle slaughtered without NPPSS according to daily activities at the slaughterhouse. This research was carried out entirely following the routine procedures at the slaughterhouse, i.e., animal handling to restraining box, equipment that was used, stunner men competency, implementation of NPPSS, the strength of NPPSS, the interval of door closed−NPPSS final (DCFS), the time interval between final NPPSS-slaughter, slaughtering process and after the separation of the head. In addition, this study used 25 samples of stunning cattle heads to determine the ideal shooting placement. The head sample was fixed using a 10% formalin solution as a preservative. Data analysis was carried out with descriptive statistics using SPSS 21. Bleeding time and head morphometry were analyzed using the one way Anova test, and risk factor analysis for stunning success rates and the incidence of false aneurysm were analyzed using the Chi Square test followed by ordinal regression analysis The results showed that the SSR was 74,35%. Based on the number of shots (NS), the SSR with NS = 1 had a higher SSR (83,6%) than the SSR at NS ˃ 1 (64,7%). Analysis of the 13 observed parameters, three parameters have a significant influence on SSR, i.e., shooting placement area (ASP), shooting placement distance (DSP), and the presence of frontal eminence FE and nuchal eminence (NE). The shooting placement area right at the cross point of the imaginary line center of the dorsal eye with the center of the horn base on the opposite side resulted in 3,44 times lower SSR than the ASP above the cross-line. Shooting placement on DSP ˂ 3 cm resulted in 16,67 times lower SSR than DSP 3 − 5 cm. The presence of FE, NE, and FE and NE also gave a lower SSR which was 20, 3,85, and 16,67 times lower, respectively, compared to SSR in cattle without FE and NE. The study's bleeding time (BT) results showed that the average BT of non-NPPSS ABX cattle were 187 ± 47,37 seconds. The mean BT of cattle slaughtered using NPPSS with NS = 1 were 304,32 ± 69,76 seconds. In ABX cattle that was not fully unconscious after NPPSS, a faster BT was obtained compared to unconscious ABX cattle, which were 258,94 ± 75,22 seconds for cattle that received one shot. Bleeding time in non-NPPSS cattle was influenced by the incidence of false aneurysm, while in NPPSS BT cattle, it was influenced by SSR, NS, broken skull level, and false aneurysm. The use of NPPSS affected the incidence of false aneurysm. The risk of false aneurysm in non-NPPSS ABX cattle were 2,64 times higher than ones of ABX unconscious cattle with NS = 1. The risk factor that affected the incidence of false aneurysm in non-NPPSS ABX cattle was the location of the incision. In non-NPPSS ABX cattle, the incision location at the tracheal ring ≥ 6 increased the risk of false aneurysm incidence by 11,20 (2,16 −58,09) times higher. A higher risk of false aneurysm incidence occurred if the incision was made at the larynx or in front of the larynx, which were 72,41 (4,23 − 1240,68) times compared to incisions in the tracheal ring 1-2. In contrast to non-NPPSS ABX cattle, in ABX cattle slaughtered using NPPSS, the incidence of false aneurysm was influenced by DCFS interval, incision direction, and incision location. DCFS interval ≥ 121 seconds increased the risk of false aneurysm by 2,48 (0,98 −6,29) times higher. The direction of the incision from the front of the neck resulted in a lower false aneurysm risk of 0,43 (0,20 −0,93). The incision location in ABX cattle receiving NPPSS resulted in a higher risk of false aneurysm occurrence at the incision in the tracheal ring 3 − 4, which were 3,52 (1,94 − 6,38) times higher and continued to increase as the incision position became more caudal at the tracheal ring 5-6 and more than tracheal ring 6. In the incision in the larynx or in front of the larynx, the risk of false aneurysm in ABX NPPSS cattle was increased by 13,97 (6,17 −31,61) times higher than that in the tracheal ring 1 − 2. One of the factors that affected SSR was the accuracy of shooting placement. Effective stunning is determined by correct shooting placement and influenced by breed. The results showed that the shooting placement closest to the brain's center was in the middle of the line connecting the top of the head to the middle line connecting the right and left lateral canthus with a distance of 0,25 ± 0,95 cm. The shooting placement uses a cross line between the lateral canthus and the center of horns base on opposite sides by 0,5 ± 1,1 cm from the brain's center. A more precise alternative shooting placement can be determined by using the top of the head at a position 8,44 ± 0,79 cm below the top of the head in a rostral direction. Keywords: anatomy, cattle, non-penetrative, slaughter, stunning.id
dc.description.sponsorshipBeasiswa Unggulan Dosen Indonesia, LPDP Kementerian Keuangan Republik Indonesiaid
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)id
dc.titleKajian Anatomis Proses Penyembelihan dengan Non-Penetrative Pre-Slaughter Stunning pada Sapi dalam Rangka Penerapan Jaminan Halal dan Kesejahteraan Hewanid
dc.title.alternativeAnatomical Study on Cattle Slaughter Using Non-Penetrative Pre-Slaughter Stunning in the Context of Halal Assurance and Animal Welfare Applicationsid
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordAnatomyid
dc.subject.keywordCattleid
dc.subject.keywordNon-penetrativeid
dc.subject.keywordSlaughterid
dc.subject.keywordStunningid


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record