Kadar Nitrit pada Sarang Burung Walet dan Analisis Metagenomik Bakteri pada Kotoran Rumah Burung Walet Asal Pulau Sumatera
Date
2022Author
Widiyani, Platika
Sudarwanto, Mirnawati Bachrum
Latif, Hadri
Lukman, Denny Widaya
Metadata
Show full item recordAbstract
Indonesia sebagai eksportir dan produsen sarang burung walet (SBW) terbesar di dunia, harus memenuhi standar SBW yang telah ditetapkan oleh negera tujuan, termasuk batas maksimum kadar nitrit. Kadar nitrit menjadi patokan persyaratan utama ekspor SBW ke beberapa negara saat ini, terutama ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang menjadi negara tujuan utama ekspor SBW di Dunia. Hal ini menjadi tantangan bagi industri penghasil SBW, dikarenakan kadar nitrit tinggi dapat menjadi hambatan eksportasi SBW. Kadar nitrit pada SBW secara alamiah terdapat saat SBW dihasilkan di dalam rumah burung walet (RBW). Nitrit pada SBW dapat terbentuk sebagai hasil proses alamiah perubahan nitrogen yang ada di lingkungan RBW. Terdapat dugaan kuat adanya bakteri tertentu dapat mengubah nitrogen menjadi nitrit pada lingkungan RBW. Proses pengubahan dari nitrogen menjadi nitrit dapat disebabkan oleh bakteri nitrifikasi (nitrifying bacteria) yang terdapat pada lingkungan RBW. Informasi terkait bakteri nitrifikasi sangat diperlukan, sehingga pembentukan kadar nitrit yang tinggi pada SBW dapat dicegah sejak awal. Upaya yang dapat dilakukan misalnya dimulai dari manajemen RBW yang baik, sehingga dapat menghasilkan SBW dengan kadar nitrit yang rendah.
Kadar nitrit pada SBW umumnya diuji menggunakan spektrofotometer. Metode spektrofotometer sangat akurat, namun membutuhkan preparasi sampel dan persiapan bahan yang rumit. Deteksi kadar nitrit menjadi semakin penting, sehingga diperlukan metode yang dapat mengukur serta membedakan warna berdasarkan kadar nitrit pada SBW secara cepat dan akurat, salah satunya dengan alat kromameter. Penggunaan kromameter pada pengujian warna SBW di Indonesia belum pernah dilakukan sebelumnya. Alat kromameter diharapkan dapat digunakan untuk membedakan kadar nitrit pada daerah penghasil SBW yang umumnya tidak didukung fasilitas laboratorium yang memadai.
Penelitian ini memiliki tujuan antara lain untuk mengukur dan menganalisis kadar nitrit pada SBW asal Pulau Sumatera, mengidentifikasi dan menganalisis jenis serta prosentase bakteri pada kotoran RBW serta menganalisis penggunaan kromameter untuk membedakan warna berdasarkan kadar nitrit pada SBW. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Metode pengambilan sampel dilakukan secara proporsional dalam pemilihan RBW di Pulau Sumatera sebagai salah satu pulau penghasil SBW di Indonesia. Berdasarkan hasil perhitungan ditentukan sebanyak 18 RBW, kemudian diambil sampel SBW dan kotoran RBW dari masing-masing RBW terpilih.
Persentase kadar nitrit di bawah 30 ppm dari total 18 sampel SBW bersih adalah 72,22%. Rata-rata kadar nitrit pada SBW bersih adalah 30,19 ppm, sedangkan nilai median pada SBW bersih dari Pulau Sumatera adalah 15,42 ppm. Sampel SBW kotor memiliki rata-rata nitrit sebesar 55,77 ppm dan nilai median pada SBW kotor dari Pulau Sumatera adalah 33,05 ppm. Hal ini membuktikan bahwa pencucian pada SBW dapat membersihkan bulu dan kotoran, serta menurunkan kadar nitrit pada SBW. Hasil analisis metagenomik menunjukkan bahwa genus bakteri yang paling dominan ditemukan pada sampel kotoran RBW pada Grup A (kadar nitrit > 30 ppm) dan Grup B (kadar nitrit < 30 ppm) adalah genus Aeromonas. Penelitian ini juga menemukan adanya bakteri nitrifikasi pada kotoran RBW. Variasi genus dan jumlah cumulative reads bakteri nitrifikasi yang ditemukan pada Grup A (kadar nitrit > 30 ppm) lebih tinggi dibandingkan dengan Grup B (kadar nitrit < 30 ppm). Genus bakteri nitrifikasi yang ditemukan pada Grup A dengan cumulatives reads terbesar adalah Nitrosomonas.
Warna menjadi salah satu pertimbangan kualitas dan harga SBW di pasaran. Kadar nitrit pada SBW berkaitan erat dengan warna pada SBW. Semakin gelap warna SBW maka semakin tinggi kadar nitritnya. Pengukuran kadar nitrit secara akurat umumnya menggunakan metode spektrofotometer. Perkembangan ilmu pengetahuan menuntut instrumen pengujian berbasis sensor, cepat, dan tetap akurat. Kromameter merupakan alat untuk mengukur warna dan dapat menunjukkan intensitas terang atau gelap dari suatu bahan pangan. Hasil analisis statistik uji t pada pengukuran dengan kromameter menunjukkan bahwa variabel L*, a*, b*, C*, dan h* tidak memiliki pengaruh yang signifikan (p > 0,05) terhadap warna pada SBW. Beragam faktor yang memengaruhi perubahan warna pada SBW dan bukan hanya dipengaruhi oleh kadar nitrit saja. Faktor yang diluar dari kadar nitrit tidak digunakan sebagai variabel pada analisis statistik penelitian ini, sehingga menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa perbedaan warna SBW dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang berbeda-beda pada suatu RBW, diantaranya akumulasi jumlah dan kelembaban feses pada SBW, jumlah kotoran pada RBW, iklim, pakan serta manajemen penanganan/pemeliharaan di RBW. Adanya keberagaman faktor yang memengaruhi perubahan warna dan kadar nitrit pada SBW tersebut, menjadikan pengukuran warna pada SBW dengan metode kromameter tidak dapat digunakan sebagai metode tunggal dalam pengkuran kadar nitrit pada SBW yang berasal dari RBW yang berbeda-beda.
Collections
- DT - Veterinary Science [282]