Integrasi Pasar Beras Domestik Dengan Negara Eksportir
Abstract
Pemerintah Indonesia dalam menjalankan amanat Undang-undang Pangan
No 18 tahun 2012, langkah pertama adalah melakukan pengadaan beras dengan
produksi beras dalam negeri. Pencapaian pemenuhan kebutuhan beras nasional
melalui produksi beras dalam negeri didorong oleh program-program perberasan
dari pemerintah. Perjalanan pemenuhan kebutuhan beras selalu menghadapi
berbagai kendala dan hambatan, seperti daya dukung alam yang tidak sesuai yang
diharapkan, seperti kekeringan, kebanjiran, hama dan lainnya. Kendala-kendala ini
dapat menyebabkan target produksi beras nasional tidak tercapai. Ketidak
tercapaian target produksi beras nasional akan menyebabkan tidak dapat terpenuhi
kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia. Kondisi ideal perberasan adalah saat
dimana kondisi dimana produksi dapat memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat
dan cadangan beras pemerintah. Kondisi saat ini, dimana terjadi kekurangan
produksi beras untuk konsumsi mengharuskan pemerintah mencari sumber
pengadaan beras lainnya. Impor beras merupakan solusi yang harus diambil
pemerintah.
Thailand, Vietnam, Pakistan dan India merupakan empat negara eksportir
beras terbesar ke Indonesia. Jumlah beras yang di impor dari tahun 2014-2018
mengalami trend yang terus meningkat, pada tahun 2014 impor beras sebanyak
844,16 ribu ton dan pada tahun 2018 sebanyak 2,25 juta ton. Impor beras ke
Indonesia umumnya didominasi oleh Thailand dan Vietnam, sedangkan Pakistan
dan India menjadi eksportir ketiga dan keempat. Tetapi pada tahun 2015 dan 2017,
Pakistan menjadi eksportir beras kedua setelah Thailand, begitu juga Thailand pada
tahun 2015 mengekspor lebih kecil dari Vietnam dan Pakistan.
Impor yang dilakukan oleh Indonesia akan berdampak terhadap stabilitas
harga beras dalam negeri, sementara pemerintah diberikan amanat oleh undangundang
untuk dapat menjaga stabilitas harga pangan. Harga beras digunakan oleh
pemerintah dalam perhitungan nilai inflasi. Dampak bagi petani apabila terjadi
inflasi adalah berkurangnya tingkat kesejahteraan petani, terutama untuk buruh
tani. Pengukuran tingkat kesejahteraan petani dapat dilakukan dengan nilai tukar
petani. Nilai tukar petani adalah perbandingan dari indeks harga yang diterima
petani dengan indeks harga yang harus dibayar oleh petani. Inflasi ini yang
menyebabkan indeks yang harus dibayar petani meningkat, sehingga tingkat
kesejahteraan petani akan turun.
Selain hal tersebut, harga beras juga digunakan dalam perhitungan nilai
upah minimum propinsi (UMP). Berdasarkan Peraturan Presiden No. 78 tahun 2015
tentang pengupahan. Pada peraturan tersebut dijelaskan perhitungan upah
minimum berdasarkan upah minimum tahun berjalan ditambah dengan hasil
perkalian antara upah minimum tahun berjalan dengan penjumlahan tingkat inflasi
nasional berjalan dan tingkat pertumbuhan produk domestik bruto tahun berjalan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.13 tahun 2012 tentang
komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak (KHL),
beras kualitas sedang merupakan komponen pertama dalam perhitungan KHL.
Perhitungan KHL ini berada didalam upah tahun berjalan pada perhitungan UMP.
Kenaikan UMP akan berdampak terhadap terhadap kesempatan pencari kerja
karena perusahaan harus membayar UMP yang lebih tinggi.
Dari hasil perhitungan nilai koefisien variasi harga beras Vietnam, Pakistan
dan India berada diatas Indonesia, kondisi ini menunjukkan harga beras di negara
tersebut lebih berfluktuatif dari pada di Indonesia. Nilai koefisien variasi harga
beras di Thailand memiliki nilai yang sama dengan Indonesia. Untuk menjaga agar
fluktuasi harga beras yang terjadi di negara eksportir agar tidak mengganggu
stabilitas harga beras di Indonesia, maka diperlukan penelitian bagaimana cara
menjaga stabilitas harga beras di Indonesia dari pengaruh fluktuasi harga di negara
eksportir.
Berdasarkan Brooks et al (2013) menyebutkan untuk melindungi harga
pangan ditingkat petani dalam program bantuan pangan untuk daerah yang
kekurangan produksi pangan, maka sumber pangan untuk memenuhi diperoleh dari
daerah yang kelebihan produksi yang tidak terjadi integrasi pasar dengan daerah
yang kekuranga pangan tersebut. Fackler dan Goodwin (2001) menyebutkan
seberapa baik fungsi pasar menentukan pada keputusan pemenuhan pangan di
daerah yang kekurangan produksi. Untuk menjaga stabilitas harga beras di
Indonesia dari pengaruh perubahaan harga beras dinegara eksportir, maka
diperlukan penelitian tentang bagaimana integrasi pasar beras Indonesia dengan
pasar beras negara eksportir. Indonesia yang sampai saat ini masih memerlukan
impor beras harus dapat memastikan tidak terjadi integrasi pasar dengan negara
eksportirnya agar sabilitas harga di Indonesia dapat terjaga. Akan tetapi disisi lain
Indonesia memiliki hubungan kerjasama perdagangan dengan negara eksportir
tersebut, dimana dalam kerjasama perdagangan dilakukan pengurangan hambatan
perdagangan yang akan mengarah dalam pembentukan integrasi pasar. Berdasarkan
permasalahan tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
bagaimana intergrasi pasar beras Indonesia dengan setiap negara pengekspor beras
ke Indonesia (Thailand, Vietnam, Pakistan dan India) berdasarkan kawasan
perdagangan, posisinya sebagai importir, jenis beras yang diperdagangkan di pasar
Cipinang serta melihat pengaruh kerjasama ASEAN, IPPTA dan IASEAN terhadap
perubahaan harga beras di Indonesia?
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam
bentuk data time series bulanan dengan periode tahun 2001 sampai dengan 2018.
Sumber data untuk penelitian diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi
DKI Jakarta, investing.com dan International Rice Research Institute (IRRI).
Pendekatan model integrasi pasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah
model Johansen, dimana model ini digunakan untuk melihat hubungan yang
menggambarkan perubahan harga di pasar acuan (negara eksportir) yang akan
menyebabkan perubahan harga di pasar dalam negeri (negara importir) dan estimasi
model menggunakan VAR dan VECM.
Hasil penelitian yang diperoleh 1) Perubahaan harga yang terjadi di negara
Thailand dan Vietnam yang berada dalam satu kawasan ASEAN tidak
mempengaruhi perubahaan harga beras di Indonesia. Walaupun Indonesia
mengimpor beras terbesar dari negara tersebut, juga mengimpor dari Pakistan dan
India. Perubahaan harga yang terjadi di negara Pakistan yang berada dalam
perjanjian kerjasama IP-PTA dan perubahaan harga beras di India yang berada
dalam perjanjian kerjasama IASEAN tidak terjadi integrasi pasar. 2) Dengan model
vecm dari negara pengeksport beras ke Indonesia dengan pasar beras di Indonesia
ditemukan hanya pasar beras Thailand yang memiliki integrasi pasar beras
Indonesia. Berdasarkan derajat kointegrasinya, integrasi yang terjadi bersifat
lemah. Hasil lain yang ditemukan, antara negara-negara pengeskpor beras ke
Indonesia tidak terjadi intergrasi pasar. 3) Berdasarkan jenis beras yang
diperdagangan di Pasar Induk Cipinang hanya beras Cianjur kepala memiliki
kointegrasi dengan pasar negara pengeskpor beras. Menurut derajat kointegrasinya
yang tertinggi adalah pasar beras di Thailand, Pakistan dan India.
Implikasi kebijakan yang diberikan dari hasil penelitian ini adalah 1)Dalam
upaya pemenuhan kekurangan kebutuhan beras dalam negeri Indonesia, pemerintah
dapat melakukan impor beras dari negara Thailand, Vietnam, India dan Pakistan
secara terkendali. 2) Pemerintah tetap melaksanakan kebijakan-kebijakan
perdagangan beras yang diberlakukan sampai saat ini, karena kebijakan tersebut
terbukti menjaga stabilitas harga beras dalam negeri dari perubahaan harga beras
negara pengeskopr beras ke Indonesia. 3) Menyusun regulasi perberasan dalam
negeri untuk menjaga stabilitas harga beras dalam negeri, karena perubahaan harga
beras dalam negeri ditentukan oleh kondisi perberasan dalam negeri.