dc.description.abstract | Digitalisasi naskah adalah memindahkan konten naskah ke dalam format
digital yang dilakukan oleh petugas digitalisasi. Upaya ini dilakukan untuk
menyelamatkan naskah terutama kontennya dari kehancuran dan kehilangan.
Naskah sebagai benda budaya harus diselamatkan, karena naskah merupakan
identitas budaya yang didalamnya begitu banyak pengetahuan sehingga perlu
diselamatkan. Upaya penyelamatan naskah tidak saja dilakukan secara fisik
naskah namun juga isi naskah. Pertimbangannya adalah agar jika fisik naskah
hilang dan rusak, maka isi naskah tetap terjaga. Penyelamatan isi naskah dengan
menggunakan media digital yang disebut dengahn digitalisasi. Permasalahannya
adalah sulit untuk melakukan digitalisasi karena: akses ke naskah sulit, perbedaan
persepsi tentang makna naskah antara petugas digitalisasi dan pemilik naskah dan
kekhawatiran-kekhawatiran lainnya muncul. Apalagi jika naskah yang akan
didigitalisasi diyakini oleh pemiliknya bersifat sakral, kepemilikannya bersifat
komunal dan ada otoritas naskah yang menjaganya secara ketat sehingga
seringkali untuk mengakses naskah menjadi sulit dan digitalisasi sulit dilakukan.
Agar kesulitan tersebut diatasi maka dibutuhkan cultural broker yang akan
membantu petugas digitalisasi dalam meyakinkan pemilik naskah, sedangkan
naskah yang profan tidak seperti itu. Cultural broker mengupayakan agar naskah
yang sakral tersebut dapat digitalisasi melalui pendekatan komunikasi
antarbudaya dengan mengedepankan nilai-nilai budaya lokal (indigenuous
communication). Terkait hal itu tujuan penelitian ini untuk: (1) mendeskripsikan
makna dan mitos naskah; (2) menganalisis peran cultural broker, (3) menganalisis
proses komunikasi antarbudaya dan indigenuous communication dalam
digitalisasi naskah; (4) menganalisis peran modal sosial (petugas digitalisasi)
dalam digitalisasi naskah; serta (5) mengkonstruksi pendekatan komunikasi
pembangunan yang dapat dikembangkan khususnya dalam digitalisasi naskah.
Penelitian ini dilakukan di dua lokasi, yaitu Legok (naskah dianggap sakral)
dan Cikedung Lor (naskah yang dianggap profan) dengan pertimbangan pada dua
lokasi tersebut memiliki pemaknaan naskah yang berbeda. Metode kualitatif
dengan pendekatan etnografi komunikasi digunakan untuk melihat proses
digitalisasi naskah sebagai unit analisis, dengan menggunakan software n vivo 12
untuk mengeksplorasi sampai sejauh mana hubungan antara pemaknaan naskah
dengan proses digitalisasi naskah yang kemudian hasilnya divisualisasikan.
Melalui pendekatan etnokomunikasi memudahkan peneliti mengobservasi proses
komunikasi antarbudaya dan peristiwa komunikasinya. Strategi etnografi juga
bermanfaat untuk mengungkapkan keberagaman perspektif budaya dalam
memahami pemaknaan naskah, digunakan untuk memilih informan dan lokasi
penelitian. Temuan di lapangan menemukan ada lima pertemuan (peristiwa
komunikasi) pada setiap level yang menjelaskan bagaimana komunikasi
antarbudaya berlangsung dalam digitalisasi naskah. Yang kesemua level akan
berbeda sesuai dengan pemaknaan naskahnya (sakral atau profan).
iii
Temuan berikutnya mengungkapkan bahwa komunikasi antarbudaya dalam
digitalisasi naskah berbeda antara naskah yang sakral dan profan. Jika naskah
bersifat sakral, digitalisasi sulit dilakukan, akses naskah sulit, diperlukan cultural
broker sebagai penghubung dan negosiator. Sedangkan untuk naskah yang profan
justru sebaliknya, sehingga petugas digitalisasi cukup melakukannya tanpa harusn
dibantu cultural broker. Komunikasi antarbudaya dalam digitalisasi naskah
berfokus pada enam dimensi yaitu: (1) Identitas Budaya, (2) Power Distance
(jarak kekuasaan), (3) Orientasi Jangka Pendek-Panjang, (4) Uncertainty anxiety
avoidance Management (AUM), (5) High-Low Context Communication (HLCC),
(6) Individualism-collectivism. Penelitian ini menemukan bahwa cultural broker
memegang peranan yang penting jika komunikasi bermasalah (terhambat).
Cultural broker akan menyelesaikannya sebagai mediator sekaligus negosiator.
Pendekatan dan strategi yang dilakukan oleh cultural broker adalah melalui
budaya, sehingga dapat diterima warga. Naskah yang ada di Legok diyakini oleh
warga masyarakatnya bersifat sakral sehingga untuk melakukan digitalisasi
diperlukan cultural broker. Sedangkan di Cikedung Lor naskahnya bersifat profan
dan milik individu, maka cultural broker tidak diperlukan dalam digitalisasi
naskah. Untuk memudahkan pendigitalisasian naskah diperlukan modal sosial.
Modal sosial dengan muatan nilai-nilai budaya yang dominan, memudahkan
digitalisasi naskah terlaksana.
Temuan penelitian yang lain adalah bahwa komunikasi antarbudaya
memberikan sumbangan signifikan bagi pesan-pesan pembangunan. Dengan
beberapa kompetensi yang dimiliki cultural broker dan Petugas digitalisasi dalam
hal komunikasi antarbudaya seperti kompetensi: indigenuous communication,
strategi penguatan budaya, dan diskursus budaya maka pesan pembangunan
(digitalisasi naskah) dapat tersampaikan. Temuan penelitian mendapatkan bahwa
kompetensi komunikasi diiringi dengan penguatan nilai-nilai budaya lokal
seperti: identitas budaya, slogan kelokalan yang terus diulang-ulang, cinta warisan
leluhur, cinta budaya, dan seterusnya, membuka kesadaran pemilik naskah akan
pentingnya digitalisasi. Hal yang demikian diperlukan untuk mengorganisasikan
bagaimana seluruh partisipan dalam proses digitalisasi naskah dapat berinteraksi
dan berkomunikasi dengan baik dalam rangka mencapai pemahaman Bersama
sehingga pesan pembangunan (digitalisasi) dapat diterima. Dengan demikian,
pendekatan budaya dalam berkomunikasi khususnya dalam komunikasi
antarbudaya memberikan kontribusi pada komunikasi pembangunan dalam
menyampaikan pesan-pesan pembangunan yang dibutuhkan. | id |