Model Pertanian Apel Berkelanjutan di Kota Batu Jawa Timur
Date
2022Author
Samudra, Ferdianto Budi
Sitorus, Santun R.P.
Santosa, Edi
Machfud
Metadata
Show full item recordAbstract
Pembangunan berkelanjutan perlu didukung pertanian berkelanjutan karena
pertanian menyebabkan perubahan lingkungan yang dapat mempengaruhi dimensi
keberlanjutan lainnya. Permasalahan utama yang dihadapi pertanian apel saat ini
adalah semakin berkurangnya luas lahan budidaya apel di wilayah sentra yang
mewakili 37,14% luas lahan di seluruh Indonesia. Terbukti penurunan luas lahan
sebanyak 23% terus terjadi sejak berdirinya Kota Batu tahun 2003 hingga tahun 2020.
Pada awal berdirinya, Kota Batu bertumpu pada pertanian dan menjadi Kota
Agropolitan, seiring perkembangan waktu terjadi pergeseran menjadi kota pariwisata.
Tujuan utama penelitian adalah untuk merancang model pengelolaan pertanian
apel berkelanjutan di Kota Batu. Metode yang digunakan adalah (1) analisis situasi
pertanian apel dan nilai land rent komoditas apel dan komoditas lain; (2) analisis
multidimensional scaling (MDS) untuk menilai status keberlanjutan dan faktor
pengungkit keberlanjutan; (3) analisis sistem dinamik (SD) untuk mendapatkan
skenario terbaik model keberlanjutan pertanian apel; (4) serta analisis interpretive
structural model (ISM) untuk merumuskan rencana dan strategi pengelolaan pertanian
apel berkelanjutan.
Pertanian apel di Indonesia dinilai kurang berkembang, meskipun secara
kesesuaian lahan, relatif banyak wilayah yang sesuai namun penyebaran lahan apel
yang masih terkonsentrasi di Jawa Timur, hal ini dimungkinkan karena biaya produksi
yang tinggi. Nilai land rent tanaman apel yang diperoleh dari selisih nilai rataan jumlah
penerimaan dengan nilai rataan pengeluaran per m2/tahun. Hasil penelitian didapatkan
nilai land rent tanaman apel sebesar Rp. 12.438 m-1 th-1. Nilai land rent pada tanaman
jambu Rp. 17.019 m-1 th-1 dan tanaman jeruk dengan nilai Rp. 42.068 m-1 th-1.
Sementara hasil analisis land rent tanaman semusim dengan rata-rata pola tanam
kentang-wortel (Rp. 13.597 m-1 th-1); kubis-wortel-kubis (Rp 26.627 m-1 th-1); letuceandewi-
letuce (Rp 2.382 m-1 th-1) dan wortel-brokoli-wortel (Rp. 15.319 m-1 th-1).
Selain secara ekonomi keberlanjutan pertanian apel dari dimensi sosial,
lingkungan ataupun kelembagaan dan teknologi-infrastruktur penting untuk diketahui.
Berbagai atribut digunakan dalam menilai masing-masing dimensi menggunakan
MDS-Rapsusagri, sehingga dapat diketahui tingkat keberlanjutan serta atribut mana
yang menjadi pengungkit atau sensitif. Keberlanjutan multidimensional pertanian apel
di Kota Batu adalah kurang berkelanjutan dengan nilai 41,44 dengan rincian dimensi
lingkungan (42,44), dimensi ekonomi (40,22), dimensi sosial (40,08), dimensi
kelembagaan (34,87) dan dimensi teknologi-infrastruktur (49,61) semuanya berstatus
kurang berkelanjutan. Atribut sensitif dari dimensi lingkungan pada atribut
produktivitas tanaman (4,19%), dimensi ekonomi pada atribut harga apel (4,85%),
dimensi sosial pada atribut tingkat penyerapan tenaga kerja (2,7%), dimensi
kelembagaan pada atribut keberadaan lembaga diseminasi hasil penelitian (8,12%) dan
dimensi teknologi-infrastruktur pada atribut ketersediaan industri pengolahan hasil
(4,65%).
Atribut sensitif hasil MDS, pada sistem dinamik akan menjadi output yang
diinginkan, atau jenis kegiatan (input terkontrol) yang mendorong tercapainya output
yang diinginkan yaitu produktivitas meningkat, tingkat penyerapan tenaga kerja
meningkat, meningkatnya pendapatan petani apel serta industri pengolahan hasil
meningkat. Skenario moderat terpilih dengan perbaikan tanaman dan lahan dengan
penanaman kembali dengan jumlah 10% dari tanaman tua, penyediaan bahan organik
melalui pertanian terpadu dengan ternak kambing 6 ekor betina induk dan 1 ekor
pejantan/Ha dan penggunaan tanaman penutup tanah sebanyak 40% dari luas lahan.
Penekanan alih fungsi lahan dilakukan melalui peningkatan pendapatan per tahun ≥
Rp. 200 juta dan pembangunan khusus pemukiman mulai tahun 2026. Pengembangan
ekonomi lokal (PEL) pada wisatawan sebanyak 0,75 kg/wisatawan dan distribusi buah
ke siswa sekolah 1 buah/bulan/siswa. Peningkatan dan pengembangan jumlah UmKM
sebanyak 20% dari sebelumnya. Melalui hasil simulasi skenario moderat tersebut
terjadi peningkatan pada tiga dimensi yang terwakili dari atribut paling sensitif, yakni
pendapatan (Rp/ha) yang mewakili dimensi ekonomi, produktivitas (kg/ha) yang
mewakili dimensi lingkungan, dan jumlah UmKM (unit)ur dari dimensi tekologiinfrastruktur.
Berbagai kegiatan dalam skenario moderat yang merupakan hasil dari sistem
dinamik menjadi rencana pengelolaan pertanian apel berkelanjutan. Sementara strategi
untuk mendukung rencana dengan menggunakan hasil ISM yang terletak pada kuadran
independent dan linkage sebagai rencana pengeloaan pertanian apel berkelanjutan,
sehingga didapatkan (1) Penumbuhan dan pengembangan UmKM berbasis ecommerce
dengan mentoring dari pengusaha yang sukses; (2) Peningkatan
kelembagaan produsen dan koordinasi antar stakeholder terkait agar pengembangan
ekonomi lokal pertanian apel dapat terbentuk dan terfasilitasi oleh pemerintah dan
DPRD, sehingga nilai land rent lahan apel dapat ditingkatkan; (3) Memperbanyak
demplot pelaksanaan hasil penelitian untuk meningkatkan pengetahuan teknologi
budidaya petani; (4) Penetapan lahan apel sebagai kawasan budaya, dan memulai usaha
bersama pertanian apel untuk mengurangi alih fungsi lahan.