Beberapa Gatra Biologi Ektomikoriza Scleroderma pada Melinjo
Date
2002Author
Wulandari, Arum Sekar
Guhardja, Edi
Rifai, Mien A.
Supriyanto
Sukamo, Nampiah
Metadata
Show full item recordAbstract
Melinjo (Gnetum gnemon L.) merupakan salah satu jenis pohon yang memiliki
nilai ekonorni yang tinggi dan potensial untuk dikembangkan. Selain G. gnemon, ada
13 jenis melinjo yang terdapat di Indonesia dan sebagian diantaranya menjadi koleksi
Kebun Raya Bogor. Secara alarni, tanarnan melinjo dapat berasosiasi dengan jamur
ektomikoriza Scleroderma sinnamariense Mont., dan tubuh buah muda dari jamur ini
juga dapat dimakan. Jenis Scleroderma yang lain yang sering dan banyak ditemukan di
Indonesia adalah Scleroderma columnare Berk. & Br. (berasosiasi dengan tanarnan
dipterocarp) dan Scleroderma dictyosporum Pat. (berasosiasi dengan tanarnan Pinus
merkusii). Banyak manfaat yang dapat diperoJeh dari tanarnan melinjo dan asosiasinya
dengan ektomikoriza di alarn tetapi sedikit yang meneliti mengenai masalah tersebut.
Tulisan ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dari tahun 1996
sarnpai 1999. Penelitian ini terdiri dari beberapa percobaan, yaitu: (1) Uji kompatibilitas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dapat tidaknya dilakukan inokulasi
buatan Scleroderma spp. untuk mendapatkan bibit melinjo berrnikoriza; dan untuk
mengetahui pengaruh waktu inokulasi, jenis jarnur, jenis tanah, bent uk inokulum, dan
asal lokasi inokulum terhadap efektivitas dan infektivitas dari ektomikoriza yang
dihasilkan. (2) Morfologi dan anatorni ektomikoriza. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perubahan morfologi dan anatorni akar G. gnemon yang terinfeksi oleh S.
sinnamariense, S. co/umnare, dan S. dictyosporum. Hasil yang diperoleh dari sintesis
ektomikoriza di rumah kaca digunakan sebagai panduan untuk mengamati perubahan
morfologi dan anatomi ektomikoriza pada Gnetum spp. yang menjadi koleksi Kebun
Raya Bogor. (3) Induksi tubuh buah. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
pengaruh faktor lingkungan (suhu) dan nutrisi terhadap pembentukan tubuh buah S.
sinnamariense.
Bibit melinjo yang digunakan dikembangkan dari benih, stek pucuk, dan bibit
cabutan. Biji yang disemai berasal dari I pohon induk melinjo yang berlokasi di
Darrnaga, Bogor. Bahan stek diambil dari pohon induk yang berumur 10 tahun dari
perkebunan melinjo yang berlokasi di Cibedug, Bogor. Bibit cabutan yang digunakan
diambil dari Carita, Jawa-Barat. Jamur ektomikoriza yang digunakan S. sinnamariense,
S. co/umnare, dan S. dictyosporum. Media tanam yang digunakan adalah campuran
tanah:pasir:kompos dengan perbandingan 1: 1: 1 (v/v/v).
Perbanyakan tanaman melinjo dengan menggunakan biji dilakukan dengan cara
menyemai biji dalam bak kecambah berisi media pasir; sedang perbanyakan dengan
stek dilakukan dengan cara memotong bahan stek dengan kemiringan ± 60°, kemudian
ditanam pada pot plastik yang berisi media tanam dan diberi sungkup. Untuk uji kompatibilitas,
bibit melinjo yang sudah mempunyai akar lateral dipindahkan ke dalam
polibag dan diinokulasi dengan inokulumjamur. Pada percobaan morfologi dan anatomi,
proses pembuatan preparat awetan dilakukan dengan metode parafin (Sass,1958).
Percobaan renjatan suhu dilakukan dengan cara menempatkan bibit melinjo yang pada
awalnya ditumbuhkan dalam rumah kaca dengan suhu rata-rata 28.2°C, kemudian
dipindahkan dalam ruangan bersuhu 26°C selama 3 minggu, dan kemudian dipindahkan
lagi ke rumah kaca dengan suhu 28-30°C.
Perbanyakan tanarnan melinjo dengan menggunakan biji menghasilkan
persentase perkecambahan biji sebesar 13% dalam jangka waktu 6 - 20 bulan sejak
disemai. Perbanyakan tanaman melinjo dengan menggunakan stek pucuk mempunyai
tingkat keberhasilan 21.40% (stek bertunas dan berakar) dan 41.54% (stek bertunas)
dalam jangka waktu 3 - 6 bulan sejak stek ditanam.
Inokulasi buatan S. sinnamariense dapat dilakukan pada bibit melinjo untuk
memperoleh bibit yang berrnikoriza. S. columnare yang diambil dari asosiasi dengan
dipterocarp dan S. dictyosporum yang diambil dari asosiasi dengan Pinus merkusii
juga dapat berasosiasi dengan bibit melinjo. Inokulasi jamur ektomikoriza masih dapat
dilakukan pada bibit melinjo yang berumur 16 bulan, namun untuk mendapatkan bibit
yang terkolorusasi dengan baik oleh ektomikoriza, sebaiknya bibit melinjo diinokulasi
pada umur 1 bulan. Adanya asosiasi ektomikoriza S. sinnamariense dan S. dictyosporum
pada akar melinjo dapat meningkatkan pertumbuhan bibit melinjo, sedang asosiasi
dengan ektomikoriza S. columnare tidak meningkatkan pertumbuhan bibit. Perbedaan
jerus tanah tidak berpengaruh nyata terhadap pembentukan ektomikoriza S. sinnamariense
dan S. dictyosporum; dan pertumbuhan bibit melinjo. Berbagai bentuk formulasi
inokulurn jamur ektomikoriza dapat digunakan untuk menginokulasi bibit me~o dengan
pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan bibit dan persentase
kolorusasi S. sinnamariense pada akar. Tubuh buah S. sinnamariense yang berasal dari
beberapa lokasi (berdasarkan ketinggian tempat di atas permukaan laut) dan digunakan
sebagai sumber inokulum untuk menginokulasi bibit meiinjo, menghasilkan ektomikoriza
yang tidak berbeda nyata dalam hal efektivitas dan infektivitasnya.
Ektomikoriza yang terbentuk pada akar meiinjo yang berasosiasi dengan
ketiga jenis Scleroderma mempunyai persamaan dan perbedaan ciri morfologi dan
anatorni. Persarnaan ciri morfologi dan anatominya adalah: ketiganya menghasilkan
percabangan monopodial; infeksi hanya terjadi sampai batas epidermis; epidermis
memanjang secara radial (Radially Elongated Epidermis CellsIREEC); dan pada infeksi
awal Hartig net hanya terdiri dari 1 lapis sel. Secara morfologi, S. sinnamariense
dapat dibedakan dengan S. columnare, S. dictyosporum dari wama ektomikoriza yang
terbentuk. Ektomikoriza S. sinnamariense berwama kuning, sedang S. columnare, S.
dictyosporum berwama putih. S. columnare dapat dibedakan dari S. dictyosporum bila
ektomikoriza yang terbentuk dicuci dengan air, S. dictyosporum menjadi seperti
kapas basah dan butiran tanah yang meiekat di sekitar ektomikoriza sukar hilang.
Secara anatorni, S. sinnamariense dapat dibedakan dengan S. columnare, S. dictyosporum
dari mantel yang terbentuk. Mantel S. sinnamariense tidak mempunyai jaringan
plektenkima dan terdiri dari 2 lapis jaringan pseudoparenkima, sedang mantel S. columnare,
S. dictyosporum terdiri dari 1 lapis jaringan plektenkima dan 2 lapis jaringan
pseudoparenkima. S. columnare dapat dibedakan dari S. dictyosporum pada bagian
jaringan pseudoparenkima di lapisan tengah mantel. S. columnare bentuk jaringan
pseudoparenkimanya tidak beraturan dan memanjang secara transversal, sedang S.
dictyosporum memanjang secara longitudinal.
Perlakuan renjatan suhu yang dilakukan dalam penelitian ini rnenghasilkan
pembentukan tubuh buah S. sinnamariense pada bibit melinjo. Selama 16 rninggu
pengamatan, ukuran tubuh buah S. sinnamariense yang dihasilkan berkisar 2-8 mrn
dengan berat kering 0.5-102 mg. Ukuran ini 10 kali lebih kecil dari ukuran normal
tubuh buah yang dihasilkan dl alam. Spora yang masak hanya terbentuk jika tubuh
buah yang dihasilkan berukuran lebih dari 10 mm. Penambahan pupuk nitrogen dalam
perJakuan renjatan suhu mengurangi jurnlah dan ukuran tubuh buah S. sinnamariense
yang dihasilkan.