Jasa Ekosistem Regulasi Air Lanskap Multifungsi yang Didominasi oleh Perkebunan Kelapa Sawit Monokultur
Date
2022Author
Kristanto, Yudha
Tarigan, Suria Darma
June, Tania
Wahjunie, Enni Dwi
Metadata
Show full item recordAbstract
Pemenuhan permintaan produksi perkebunan yang terus meningkat sambil mempertahankan jasa ekosistem regulasi air merupakan tantangan yang dihadapi oleh lanskap yang didominasi oleh perkebunan kelapa sawit. Salah satu cara untuk mensinergikan jasa ekosistem regulasi air adalah melalui pendekatan lanskap multifungsi, yaitu dengan melestarikan sisa patch hutan di antara perkebunan kelapa sawit. Dengan demikian, tujuan utama yang dicapai pada penelitian ini adalah mengevaluasi peran patch hutan dalam memelihara jasa ekosistem regulasi air pada lanskap yang didominasi oleh perkebunan kelapa sawit. Model Soil and Water Assessment Tools (SWAT) yang telah terkalibrasi digunakan untuk mengevaluasi jasa ekosistem regulasi air wilayah kajian yang memiliki fitur penggunaan lahan patch hutan, perkebunan kelapa sawit muda, dan perkebunan kelapa sawit dewasa. Sebagai model berbasis sistem, SWAT mampu memodelkan komponen jasa ekosistem regulasi air yang esensial di wilayah kajian, yaitu hasil air dan kelembaban tanah sebagai jasa ekosistem yang bersifat stock serta limpasan permukaan, groundwater recharge, dan evapotranspirasi aktual sebagai jasa ekosistem yang bersifat flow.
Penilaian jasa ekosistem regulasi air perlu mempertimbangkan karakteristik hidrologi tanah dan retensi air tanah yang secara signifikan mempengaruhi proses regulasi air pada setiap penggunaan lahan. Patch hutan memiliki karakteristik hidrologi tanah dan retensi air tanah yang baik, dicirikan dengan bulk density terendah (0.91 g/cm3), ruang pori total tertinggi (55.6%), dan retensi air tanah tertinggi pada potensial matriks yang sama. Sementara itu, perkebunan kelapa sawit muda dan dewasa memiliki karakteristik hidrologi tanah dan retensi air tanah yang lebih buruk akibat pemadatan tanah, dicirikan dengan bulk density yang lebih tinggi (1.12 g/cm3 untuk tanaman muda dan 1.35 g/cm3 untuk tanaman dewasa), ruang pori total yang lebih rendah (52% untuk tanaman muda dan 49% untuk tanaman dewasa), dan retensi air tanah yang lebih rendah pada potensial matriks yang sama. Restorasi ekosistem seperti membuat plot agroforestri pada bekas lahan kelapa sawit dewasa yang masih berumur tujuh tahun juga diketahui mampu menurunkan nilai bulk density (1.34 g/cm3 dari 1.35 g/cm3), meningkatkan ruang pori total (49.3% dari 49%), dan meningkatkan retensi air tanah.
Dalam studi ini, kehandalan dan ketidakpastian metode soil moisture curve number (CN-SM) dan plant evapotranspiration curve number (CN-ET) pada model SWAT dibandingkan dalam simulasi komponen jasa ekosistem regulasi air. Kehandalan model yang baik, dicirikan dengan NSE ≥ 0.65 dan R2 ≥ 0.7, serta ketidakpasitan model yang dapat diterima, dicirikan dengan p-Factor ≥ 0.7 dan r-Factor ≤ 1.5 ditemukan pada kedua model tersebut. Selain itu, CN-SM dan CN-ET mampu menghasilkan debit sungai dengan nilai yang identik, namun perbedaan struktur konseptual antara kedua metode tersebut menyebabkan nilai dan sensitivitas parameter yang terkalibrasi menjadi berbeda. Hal tersebut menyebabkan output model selain debit sungai, seperti kelembaban tanah dan evapotranspirasi aktual menjadi berbeda, dimana kelembaban tanah yang disimulasikan CN-ET cenderung underestimate, sedangkan kelembaban tanah yang disimulasikan CN-SM relatif sama dengan data lapang. Kegagalan CN-ET dalam simulasi kelembaban tanah tersebut dikhawatirkan mengarah pada misinterpretasi indikator keberlanjutan jasa ekosistem regulasi air. Oleh karena itu, pemilihan metode yang paling sesuai dengan karakteristik wilayah kajian, dalam hal ini adalah CN-SM, menjadi sangat penting dipertimbangkan sebelum melakukan simulasi.
Pemeliharaan patch hutan di antara perkebunan kelapa sawit mampu meningkatkan jasa ekosistem regulasi air, dibuktikan dengan penurunan limpasan permukaan (patch hutan 43%, kelapa sawit dewasa 56%, kelapa sawit muda 73%), peningkatan groundwater recharge (patch hutan 25%, kelapa sawit dewasa 15%, kelapa sawit muda 6%), peningkatan evapotranspirasi aktual (patch hutan 26%, kelapa sawit dewasa 25%, kelapa sawit muda 20%), dan peningkatan simpanan air tanah (patch hutan 6%, kelapa sawit dewasa 4%, kelapa sawit muda 1%). Terkait dengan hasil air, patch hutan juga mampu menurunkan limpasan permukaan (patch hutan 60%, kelapa sawit dewasa 76%, kelapa sawit muda 92%), meningkatkan aliran lateral (patch hutan 6%, kelapa sawit dewasa 5%, kelapa sawit muda 1%), dan meningkatkan aliran dasar (patch hutan 27%, kelapa sawit dewasa 15%, kelapa sawit muda 5%). Meningkatnya aliran dasar dan aliran lateral seiring dengan menurunnya limpasan permukaan menyebabkan hasil air menjadi tidak berlebih di musim penghujan dan tetap tersedia di musim kemarau.
Hasil SWAT secara konsisten menjelaskan bahwa patch hutan memiliki sifat seperti spons dalam siklus hidrologi, yaitu menyimpan air dalam jumlah yang besar ketika musim penghujan dan mengalirkannya secara perlahan pada musim kemarau. Selain itu, patch hutan juga memiliki sifat seperti pompa, yaitu mengembalikan air tanah ke atmosfer dalam jumlah yang besar untuk menstabilkan iklim mikro. Perkebunan kelapa sawit dewasa juga memiliki sifat pompa untuk mempertahankan produktivitasnya, namun perkebunan kelapa sawit tidak memiliki sifat spons yang menyebabkan penggunaan air menjadi lebih besar dibandingkan air yang tersimpan. Oleh karena itu, pendekatan lanskap multifungsi dengan melestarikan patch hutan di antara perkebunan kelapa sawit menjadi salah satu pendekatan yang mampu meningkatkan jasa ekosistem skala lanskap. Lanskap multifungsi tersebut mampu mensinergikan beberapa jasa ekosistem, seperti jasa ekosistem penyediaan yang diperoleh dari perkebunan kelapa sawit dan jasa ekosistem regulasi yang diperoleh dari patch hutan. Meeting the growing demand for agricultural production while maintaining water regulation ecosystem services is a challenge faced by landscapes dominated by oil palm plantations. One way to synergize water regulation ecosystem services is by conserving the remaining forest patches between oil palm plantations through a multifunctional landscape approach. Thus, the main objective of this study was to evaluate the role of forest patches in maintaining water regulation ecosystem services in landscapes dominated by oil palm plantations. The calibrated Soil and Water Assessment Tools (SWAT) model was used to evaluate the water regulation ecosystem services in the study area, which has land-use features of forest patches, young oil palm plantations, and mature oil palm plantations. As a system-based model, SWAT can model komponents of ecosystem services that are essential for water regulation in the study area, such as water yield and soil moisture as stock ecosystem services and surface runoff, groundwater recharge, and actual evapotranspiration as flow ecosystem services.
Assessment of water regulation ecosystem services needs to consider the soil hydrological characteristics and soil water retention, which significantly affect the water regulation process in each land use. Forest patches have good soil hydrological characteristics and soil water retention, characterized by the lowest bulk density (0.91 g/cm3), the highest total pore space (55.6%), and the highest soil water retention at the same matrix potential. Meanwhile, young, and mature oil palm plantations have poorer soil hydrological characteristics and soil water retention due to soil compaction, characterized by higher bulk density (1.12 g/cm3 for young plants and 1.35 g/cm3 for mature plants), lower total pores space (52% for young plants and 49% for mature plants), and lower soil water retention at the same matrix potential. Ecosystem restoration, such as establishing agroforestry plots on former mature oil palms, is also known to reduce bulk density (1.34 g/cm3), increase total pore space (49.3%), and increase soil water retention.
In this study, the reliability and uncertainty of soil moisture curve number (CN-SM) and plant evapotranspiration curve number (CN-ET) methods in the SWAT model are compared in simulating komponents of the water regulation ecosystem services. The reliable model with good category, characterized by NSE ≥ 0.65 and R2 ≥ 0.7, and acceptable model uncertainty, characterized by p-Factor ≥ 0.7 and r-Factor ≤ 1.5, were found in both models. In addition, CN-SM and CN-ET can produce river discharges with identical values. However, the difference in conceptual structure between CN-SM and CN-ET causes the difference in value and sensitivity of the calibrated parameters, leading to differences in model outputs other than river discharge, such as soil moisture and actual evapotranspiration. The CN-ET soil moisture outputs tend to underestimate, but the CN-SM soil moisture output tends to be the same as the field data. The failure of CN-ET in simulating soil moisture is feared to lead to misinterpretation of sustainability indicators of water regulation ecosystem services. Therefore, selecting the most suitable method according to the characteristics of the study area, in this case, the CN-SM becomes very important to consider before conducting the simulation.
Maintaining forest patches between oil palm plantations can improve water regulation ecosystem services, as evidenced by a decrease in surface runoff (forest patches 43%, mature oil palm 56%, young oil palm 73%), an increase in groundwater recharge (forest patches 25%, mature oil palm 15%, young oil palm 6%), an increase in soil water storage (forest patches 6%, mature oil palm 4%, young oil palm 1%), and an increase in actual evapotranspiration (forest patch 26%, mature oil palm 25%, young oil palm 20%). Related to water yield, forest patches were also able to reduce surface runoff (forest patches 60%, mature oil palm 76%, young oil palm 92%), increasing lateral flow (forest patches 6%, mature oil palm 5%, young oil palm 1%), and increasing baseflow (forest patches 27%, mature oil palm 15%, young oil palm 5%). The increase in baseflow and lateral flow and the decrease in surface runoff causes water yield to become less concentrated in the rainy season and remain available in the dry season.
The SWAT results consistently explain that forest patches have sponge-like properties in the hydrological cycle by storing large amounts of water during the rainy season and draining it slowly during the dry season. In addition, forest patches also have pump-like properties, which return soil water to the atmosphere in large quantities to stabilize the microclimate. Mature oil palm plantations also have to pump-like properties to maintain their productivity. However, oil palm plantations do not have sponge-like properties, which cause water use to be greater than the stored water. Therefore, a multifunctional landscape approach by conserving forest patches between oil palm plantations is one approach that can improve the landscape-scaled ecosystem services. The multifunctional landscape can synergize several ecosystem services: the provisioning ecosystem services obtained from oil palm plantations and regulation ecosystem services obtained from forest patches.
Collections
- MT - Agriculture [3780]