Show simple item record

dc.contributor.advisorFauzi, Akhmad
dc.contributor.advisorAchsani, Noer
dc.contributor.advisorAnggraini, Eva
dc.contributor.authorSuryade, Lalu
dc.date.accessioned2022-01-12T00:11:46Z
dc.date.available2022-01-12T00:11:46Z
dc.date.issued2021-12
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/110575
dc.description.abstractndikator kemajuan sebuah negara, baik negara berkembang maupun negara maju, didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Penggeraknya (drivers) terdiri atas berbagai faktor seperti investasi, nilai tambah pekerja, pengembangan teknologi, dan penemuan baru. Investasi yang berasal dari dalam negeri (domestik) dan investasi asing (foreign direct investment, FDI) dipercaya mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang, namun harus didukung oleh iklim investasi yang kondusif. Salah satu manifestasi dalam mendorong kegiatan investasi dilakukan dengan menciptakan sebuah kawasan yang bertujuan agar pertumbuhan ekonomi dapat meningkat, yang ditopang oleh berbagai aturan khusus yang disebut sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di seluruh dunia berkembang pesat. KEK berkontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) beberapa negara di dunia. Kontribusi lainnya terdiri atas terbukanya lapangan kerja, menggerakkan ekspor, menarik investasi asing, dan penggunaan teknologi baru, serta adanya praktek pengelolaan yang baik. Belajar dari berbagai keberhasilan pengembangan KEK di berbagai negara, selama kurang lebih empat dekade terakhir, Indonesia telah mengembangkan sejumlah lokasi sebagai kawasan strategis untuk pengembangan KEK. Penguatan terhadap KEK dalam dekade terakhir ini semakin meningkat dengan adanya UU No. 39 Tahun 2009 Tentang KEK, dan terbentuknya Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus, berdasarkan Kepres No. 8 Tahun 2010. Wujud implementasi kebijakan KEK tersebut, sampai saat ini, dapat dilihat dari beroperasinya 12 KEK, dan masih terdapat 7 KEK dalam tahap pembangunan. Isu kunci keberhasilan KEK terletak pada pengelolaan dari sistem yang berbasis hirarkis tradisional menjadi pembagian tanggung jawab di antara para pemangku kepentingan, termasuk para pelaku ekonomi. Kelembagaan memegang peranan penting dalam pembagian tanggung jawab tersebut. Kajian kelembagaan dalam konteks KEK masih jarang dilakukan, khususnya untuk contoh kasus di Indonesia. Penetapan KEK Mandalika di Pantai Selatan Pulau Lombok, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2014 tentang Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika. KEK Mandalika merupakan KEK yang bernuansa wisata bahari. Sebagai suatu negara bahari (maritime), kekuatan ekonomi kelautan (ocean economic) menjadi basis utama pengembangan dan penguatan kemandirian, serta kedaulatan ekonomi nasional. Ekonomi kelautan selain disusun oleh kemampuan memanfaatkan alur laut bagi transportasi, dan pemanfaatan sumber daya perikanan, juga yang memiliki potensi besar adalah pemanfaatan wilayah pesisir untuk pengembangan pariwisata bahari. Hal inilah yang melandasi wilayah pantai selatan Lombok Tengah ditetapkan sebagai kawasan ekonomi khusus bernuansa wisata bahari. Rumusan masalah dalam penelitian ini disusun sebagai sintesis dari masalah yang teridentifikasi, yaitu perkembangan KEK Mandalika dihadapkan dengan berbagai persoalan seperti potensi konflik dan kerawanan sosial, multi-aktor yang terlibat dengan pengaruh yang berbeda-beda, peningkatan limbah, dampak negatif investasi pemodal asing, dan kerentanan (vulnerable) perubahan bentang alam dan ekosistem yang berekologi pesisir. Masalah ini dipecahkan melalui suatu model keberlanjutan pengelolaan KEK Mandalika. Model ini terdiri dari serangkaian langkah-langkah berupa kajian variabel kunci pengembangan KEK Mandalika, kajian pengaruh aktor (stakeholders) dalam memberikan dampak sosial, ekonomi, dan multiplier effect dalam pengembangan KEK, dan kajian strategi pengembangan KEK Mandalika. Berdasarkan uraian di atas, dari sisi variabel (faktor) yang memengaruhi pengembangan dan keberlanjutan KEK Mandalika di masa yang akan datang, teridentifikasi delapan belas variabel yang berpengaruh yang mencakup dimensi ekonomi, sosial, dan ekologi. Faktor-faktor tersebut dikelompokkan ke dalam empat kuadran pengaruh dan ketergantungan MICMAC yaitu tujuh variabel sebagai variabel pendorong, enam variabel sebagai variabel relay, tiga variabel sebagai output, serta dua variabel sebagai otonom. Variabel investasi akan sangat memberikan pengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap peningkatan pendapatan masyarakat lokal (income). Dua variabel potensial kunci dengan berdimensi lingkungan bagi pengelolaan KEK Mandalika di masa yang akan datang adalah pencemaran (polusi) dan ketersediaan air bersih (water). Hasil penelitian dari sisi aktor dan perannya, menunjukkan bahwa terdapat sembilan belas aktor dan delapan tujuan pembangunan yang mencakup dimensi sosial, ekonomi, dan ekologi . Terdapat tiga belas aktor dengan posisi yang tinggi secara bersamaan. Di antara para aktor ini, Pemerintah Desa memainkan peran sentral di antara semua aktor dengan posisi tertinggi. Hubungan kerjasama para aktor (konvergensi) menghasilkan empat aktor dengan mobilitas yang tertinggi secara berturut-turut yaitu ITDC, Dinas Pariwisata Lombok Tengah, dan Dinas Pariwisata NTB serta Tokoh Agama. Potensi konflik (divergensi) antaraktor dapat pula terjadi. ITDC sebagai pengelola mempunyai potensi konflik dengan tiga aktor lainnya yaitu Tokoh Agama, Tokoh Adat dan Dinas Pertanian Kabupaten Lombok Tengah. Tujuan pengembangan KEK Mandalika yang berkaitan dengan peran ketiga aktor tersebut dapat meminalkan konflik yang akan terjadi di masa yang akan datang. Tujuan yang menjadi prioritas dalam pengembangan KEK Mandalika di masa depan yaitu peningkatan investasi, pembangunan desa wisata dan pengembangan pariwisata yang berbasis ekoturisme. Selain itu, KEK Mandalika juga seharusnya memberikan perhatian terhadap tujuan lainnya seperti peningkatan kualitas SDM, peningkatan pendapatan masyarakat, dan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan terutama upaya pelestarian lingkungan (konservasi). Dari sisi strategi, penelitian ini menghasilkan tiga skenario (scenarios), lima strategi kebijakan (policies), tujuh kegiatan (actions) dan sebelas kriteria evaluasi yang dibangun dalam menganalisis keberlanjutan pengembangan KEK Mandalika. Strategi kebijakan keberlanjutan terbaik bagi KEK Mandalika adalah skenario yang memadukan program-program berbasis investasi dengan program-program berbasis penguatan kapasitas lokal (Blend-Based). Skenario ini mendapatkan poin terendah sebesar 12,2 (loc-preneur) dan tertinggi adalah 14,1 (man-made). Skenario ini mengakomodasi dua kebijakan yaitu pengembangan potensi lokal (local-preneur dan culture-tourism), maupun kebijakan yang membuka peluang masuknya investasi (man-made, trans-infra, dan ICT-adopt). Perhatian terhadap keseimbangan program-program yang berbasis investasi dan program-program yang berbasis penguatan kapasistas lokal, perlu dipikirkan oleh para pengambil kebijakan pada berbagai tingkatan kelembagaan. Rekomendasi kebijakan dapat disusun dari hasil analisis tersebut. Secara umum, diperlukan perhatian dari para pemangku kepentingan terhadap berbagai variabel yang mempengaruhi keberlanjutan KEK Mandalika di masa yang akan datang dari tiga dimensi Social Ecological System (SES), yaitu ekonomi, sosial, dan ekologi. Secara ekonomi, variabel investasi sangat berpengaruh, namun faktor pencemaran (limbah) dan kelangkaan air bersih juga perlu dipertimbangkan sebagai dampak dari investasi. Para pengambil kebijakan dalam memperluas akses investasi di dalam maupun di luar KEK Mandalika perlu memperhatikan peran sentral dari para Kepala Desa yang berada di masing-masing wilayahnya. Kepala Desa sebagai satuan pemerintahan menjadi jembatan para pemangku kepentingan secara formal dengan pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan lembaga lainnya, dan secara informal dengan para pemangku adat. Peningkatan investasi, pembangunan desa wisata, dan ekoturisme, menjadi tujuan (objectives) pengembangan prioritas kawasan. Investasi membuka akses transportasi, akomodasi, teknologi, dan komunikasi. Desa wisata menjadi daya tarik dan pengikat nilai-nilai budaya dalam bentuk obyek nyata, termasuk sarana membangun kapasitas sumber daya manusia lokal. Ekoturisme memunculkan daya tarik alam dan kelestarian lingkungan. Kolaborasi ketiga tujuan (objectives) ini menjadi ciri khas pengembangan KEK Mandalika yang berbeda dengan wilayah lainnya di Indonesia. Pengembangan ketiga tujuan tersebut dilakukan dengan skenario pencampuran (blended) yang memadukan kebijakan dan program yang berbasis peningkatan investasi dan penguatan kapasitas masyarakat lokal. Agar efektif, implementasi dari skenario ini perlu mendorong tumbuh dan berkembangnya wirausahawan-wirausahawan yang memiliki misi sosial (social preneur) sebagai focal point baru.id
dc.description.abstractAdvancement indicators of a country, both developing and developed, are based on economic growth in form of increasing national per capita. Their drivers consist of sundry factors such as investment, add value of employment, technological development, and new inventions. Investment both domestic and foreign (foreign direct investment), is perceived enabling to escalate economic growths of developing countries, however, it should be supported by a conducive climate of investment. One of investment manifests is to create a zone aiming to boost economic growth underlied by various special regulations is called as Special Economic Zone (SEZ). Currently, Special Economic Zones (SEZs) are growing rapidly. They contribute highly on gross domestic product (GDP) some countries. Other forms of contributions are like creating employments, pushing exports, inviting foreign investment, using new technology, and well-management practices. Reflecting the successful SEZs development in some countries, Indonesia in last four decades has expanded numerous locations as strategic zones becoming SEZs. The enforcement of SEZs in the last decade is mounted promptly as issuing Act No. 39 of 2009 about SEZs, and establishing the SEZs board of Indonesia according to President Decree No. 8 of 2010. The existence of these regulations, until now, can be pointed out by the operating of 12 SEZs and 7 others are still on progress. Key issues of SEZs success stories are located on their system management shifting from traditional hierarchy into spliting responsibility among stakeholders including economic agents. Institutions plays a significant role in dividing those responsibilities. Analysis regarding institutions in the context of SEZs still scarce, especially for cases in Indonesia. Issuing Mandalika, locating in southern coastal part of Lombok Island, is referred to Government Regulation No. 52 of 2014 about Mandalika SEZ. The Mandalika SEZ is a SEZ with a maritime tourism base. As a maritime country, the strength of the ocean economy is the basis for development and independence, as well as the independence of the national economy. The marine economy is structured by the ability to utilize sea lanes for transportation, and the use of fishery resources, which also has great potential is the use of coastal areas for tourism development. This is what underlies the southern coast of Central Lombok which is designated as a special economic zone with a maritime tourism base. The problems formulation is compiled as a synthesis of identified problems like the development of Mandalika SEZ is being faced to various problems such as potential conflict and social defenseless, involved multi-actors with their own different influences, wastes, negative impacts of foreign direct investment, and landscape and ecosystem vulnerability due to be coastal ecology. These problems were solved through a sustainable model of Mandalika SEZ Management. This model is composed of step sets such as the analysis of key variables of Mandalika SEZ, analysis of stakeholders influences on social, economic and multipliers on the SEZ management, and strategic analysis of Mandalika SEZ development. Based on details above, in terms of variables (factors) affecting the development and sustainability of Mandalika SEZ in the future that were identified eighteen influencing factors covering three scopes of dimensions like economy, social, and ecology. These factors were classified into four quadrants and dependency of MICMAC such as seven driving factors, four factors on relay, three factors as output, and two as autonomous factors. The factor of investment is highly influenced, both direct and indirectly, to increase the income of local people. Two potential key factors, with environmental dimension of managing the Mandalika SEZ in the future, are pollution and freshwater availability. The research results in terms of actors and their roles indicate that there are nineteen actors and eight objectives of development covering three dimensions, economic, social, and environment. Thirteen actors possess high score concisely. The village headmen play central role among those all actors. The relationship of those actors (convergence) resulted in four actors with highest mobility namely ITDC (Indonesia Tourism Development Corporation), Tourism Office of Central Lombok Regency, Tourism Office of West Nusa Tenggara Province, and Religious Leaders, respectively. Potential conflicts (divergence) may be escalated among actors in the future. ITDC, functioning as center of management, is potentially conflicted with three other actors like Religious Leaders, Traditional Leaders, and Agricultural Department of Central Lombok Regency. Developing objectives that are in lined with roles of those three actors are highly expected to minimize the potential emerging conflicts in the future. The development objectives that should be prioritized of the SEZ development in the future are to boost investment, establish village tourism, and expand ecotourism activities. Furthermore, The Mandalika SEZ is ought to paid in attention on other objectives like to scale up local human resource, escalate incomes of local people and local own-source revenue, as well as to conserve the environment. In terms of strategy, this research generates three scenarios of strategies, five policies, seven actions, and eleven criteria of evaluation built in analyzing the sustainability of Mandalika SEZ. The best strategy scenario for this SEZ is able to be carried out through integrating investment and enforcing local capacity (blend-based scenario). This strategy has the lowest and the highest score of 12.2 (loc-preneur), and 14.1 (man-made), respectively. This strategy accommodates two kinds of policies such as expanding the local potency (local-preneur and culture-tourism), and attract potential investments (man-made, trans-infra, and ICT-adopt). Concerning on the balancing of investment-based programs and local capacity-based programs should be bared in mind by policy makers on various levels of institution. The policy recommendation that enables to be set through mentioned details previously above as follows. In general, stakeholders are encouraged to concerning on various factors influencing the sustainability of Mandalika SEZ in the future which is consisted of social, economic, and ecological dimensions. In point of economic, investment is an affecting factor, however pollution and freshwater scarcity are both impacted factors resulting by investment. Stakeholders that enhance access of investment both coming from domestic and foreign ought to concern on the central role of headmen in each its territory. Headmen functioning as the lowest governmental unit connects formally other stakeholders from regional, central and related actors at local level. At other hand, headmen also informally bridge traditional leaders to government bodies. Objectives of developing the SEZ should be focused on scaling up investment, establishing village tourism, and ecotourism activity. Investment will open up access on transportation, accommodation, technology and communication. Village tourism becomes an attraction and bonds of local cultural values in form of real object, including means of building the local human capacity. Last, ecotourism emerges nature attraction and preserving the pristine environment. Collaborating these three objectives is intended distinguishing Mandalika SEZ with other tourist destinations in Indonesia. The implementation of these objectives is able to be conducted possibly by the blended scenario of integrating policies and programs of investment-based and local people capacity enforcement-based. To be effective, the implementation of this scenario needs to encourage the growth and development of entrepreneurs who have a social mission (socio-preneur) as the new focal point.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB Universityid
dc.titleModel Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Lombok: Analisis Sistem Sosial Ekologiid
dc.title.alternativeDevelopment Model of Mandalika Special Economic Zone (SEZ), Lombok: A Socio-Ecological System Analysisid
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordKEK Mandalikaid
dc.subject.keywordKeberlanjutanid
dc.subject.keywordPariwisataid
dc.subject.keywordMICMACid
dc.subject.keywordMACTORid
dc.subject.keywordMULTIPOLid


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record