Formulasi Kerangka dan Strategi Implementasi Kebijakan Fiskal Pembangunan Rendah Karbon di Sektor Kehutanan
Formulating Framework and Implementation Strategy of Fiscal Policy for Low Carbon Development in Forestry Sector
Date
2016Author
Nurfatriani, Fitri
Darusman, Dudung
Nurrochmat, Dodik Ridho
Yustika, Ahmad Erani
Metadata
Show full item recordAbstract
Kebijakan fiskal kehutanan yang saat ini berlaku masih menilai hutan berdasarkan fungsi produksinya saja sehingga sistem transfer fiskal dari hasil kehutanan antara pemerintah pusat dan daerah masih berdasarkan pada tingkat produksi hasil hutan kayu yang dihasilkan sebagai reward atas kinerja daerah menghasilkan sumberdaya hutan. Mekanisme transfer fiskal kehutanan masih belum memasukkan mekanisme punishment terhadap daerah yang kinerja pengelolaan hutannya buruk sebagai dasar pengalokasian dana transfer fiskal. Untuk mewujudkan pembangunan rendah karbon di sektor kehutanan, maka perlu adanya pergeseran arah kebijakan fiskal kehutanan menuju kebijakan fiskal hijau yaitu dari kebijakan fiskal yang hanya berlandaskan pada pemanfaatan kayu diperluas ke pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan jasa lingkungan. Untuk itu dibutuhkan kajian mendalam atas kerangka infrastruktur kebijakan fiskal hijau dan penyiapan instrumen-instrumen kebijakannya, para aktor dan perannya dalam perumusan kerangka kebijakan fiskal hijau, dan skema kebijakan pemungkin agar kebijakan fiskal hijau dapat berjalan. Hal tersebut diperlukan agar kerangka infrastruktur kebijakan fiskal hijau memenuhi kaidah keadilan dan tidak mematikan kegiatan pembangunan yang masih dibutuhkan oleh banyak daerah.
Dalam penyiapan kerangka kebijakan fiskal hijau digunakan analisis instrumen kebijakan yang mengacu kepada teori formulasi kebijakan kehutanan (Krott 2005) dan analisis kesenjangan terhadap implementasi instrumen-instrumen kebijakan fiskal kehutanan. Untuk lebih memahami peran para aktor yang memengaruhi rancangan kebijakan fiskal hijau digunakan analisis stakeholder dan analisis peran ilmuwan dalam pembuatan kebijakan (Pielke 2007). Tujuan terakhir dalam penelitian ini adalah merumuskan rancangan kebijakan pemungkin dalam mewujudkan skema pendanaan kebijakan fiskal hijau dengan menggunakan analisis terhadap skema-skema pendanaan jasa lingkungan dan analisis kesesuaian pemanfaatan kawasan hutan untuk mitigasi perubahan iklim (Nurrochmat et al. 2011). Ruang lingkup analisis dalam penelitian ini adalah tingkat nasional, sebagai studi kasus diambil contoh di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi yang telah dijadikan model lokasi implementasi pemanfaatan jasa lingkungan.
Dari hasil analisis kesenjangan dapat diketahui beberapa kesenjangan dari setiap instrumen kebijakan fiskal kehutanan antara lain belum terinternalisasikannya nilai-nilai jasa lingkungan hutan dalam sistem ekonomi yang mengakibatkan tidak diperhitungkannya fungsi ekologi hutan dalam kontribusi terhadap pembangunan yang berdampak pada rendahnya PDB, PNBP kehutanan serta penganggaran lingkungan hidup dan kehutanan; pengelolaan PNBP yang tidak tertib, efektif, efisien, dan ekonomis; adanya disharmoni antara beberapa peraturan baik vertikal maupun horizontal serta ketidaksesuaian implementasi pengelolaan PNBP dengan peraturan; terdapat penyimpangan pada praktik tata administrasi pengelolaan PNBP dan DBH kehutanan serta koordinasi
yang belum optimal antar institusi pengelola PNBP kehutanan; dan lemahnya sistem informasi manajemen kebijakan fiskal kehutanan. Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, telah disusun strategi setiap instrumen sebagai referensi penyusunan rancangan kebijakan pemungkin untuk implementasi kebijakan fiskal hijau meliputi aspek penerimaan, pengeluaran dan pembiayaan negara.
Dari penelitian ini telah teridentifikasi 18 pemangku kepentingan yang terkait dengan implementasi kebijakan fiskal kehutanan saat ini dan perancangan kebijakan fiskal hijau. Pemangku kepentingan berdasarkan tingkat pengaruh dan kepentingannya dapat dikategorikan sebagai key players yaitu Kemenhut, BAPPENAS, KLH, dan Kemenkeu; context setter yaitu Kemendagri; subject yaitu Dishut Kab, pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan, Bappeda Kabupaten, Bappeda Provinsi, BLH Prov, Penduduk Desa sekitar hutan, BP REDD+, Dispenda Prov, Dispenda Kabupaten, Universitas Jambi dan ZSL; crowd yaitu Warsi. Hubungan yang terjadi di antara pemangku kepentingan berupa potensi konflik, bekerjasama, atau saling mengisi. Untuk itu strategi pengaturan peran pemangku kepentingan yang direkomendasikan adalah optimalisasi peran, koordinasi dan sinergi di antara key players, peningkatan kepentingan context setter, dan optimalisasi koalisi dan kolaborasi antara subjecst dan key players dalam hal ini antara pempus dan pemda melalui mekanisme transfer fiskal, pempus dan institusi-institusi pro lingkungan, dan melalui pelaksanaan program pemerintah untuk masyarakat hutan. Sementara itu peran dan posisi ilmuwan dalam perumusan kebijakan fiskal hijau terbagi atas honest broker of policy alternative berupa tim ahli yang dibentuk untuk menyusun dan merevisi peraturan perundangan serta issue advocate berupa Tim Asistensi Gubernur Jambi. Pengaruh para ilmuwan sebatas dalam perjalanan akademik saja yaitu ketika penyusunan naskah akademik. Keputusan akhir yang dibuat pengambil kebijakan sangat dipengaruhi oleh unsur politik dan birokrasi.
Penelitian ini telah menghasilkan rancangan skema pendanaan fiskal hijau di Kabupaten Tanjung Jabung Timur melalui rekomendasi pola pendanaan jasa lingkungan serta skema mitigasi perubahan iklim yang dapat diterapkan di kawasan hutan dan non hutan. Rekomendasi skema pendanaan fiskal hijau disesuaikan dengan kondisi biofisik dan karakteristik di daerah sehingga tidak diarahkan oleh pihak penerima manfaat. Pola pendanaan dan skema mitigasi perubahan iklim ini memuat luas arahan indikatif pemanfaatan ruang kawasan hutan, peta arahan indikatif pola pemanfaatan ruang kawasan hutan dan pola pemanfaatan ruang kawasan hutan beserta pola pendanaan jasa lingkungan dan skema mitigasi untuk perubahan iklim yang sesuai di Kabupaten Tanjabtim yaitu PES, LR dan PDR. Masing-masing pola pendanaan ini terdiri atas beberapa skema pendanaan seperti insentif hulu hilir, REDD+, AR/CDM, HCVF, VCM, SFM, SMF, DNS. Berdasarkan arahan RKTN, pemanfaatan ruang kawasan hutan untuk konservasi merupakan arah pemanfaatan yang dominan mengingat 61.7% kawasan hutan di Kabupaten Tanjabtim adalah kawasan konservasi, sedangkan persentase terbesar arahan pemanfaatan ruang kawasan hutan untuk mitigasi perubahan iklim di Kabupaten Tanjabtim adalah kawasan penyerap karbon yaitu sebesar 61% dari total kawasan.
Collections
- DT - Forestry [343]