Kajian Modal Sosial dan Pengaruhnya terhadap Kemiskinan Rumah Tangga di Kawasan Timur Indonesia

Abstract

Hingga tahun 2019 tingkat kemiskinan Indonesia secara nasional telah mencapai 9.41 persen, tetapi masih di atas target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang ditetapkan yaitu 7-8 persen. Pola penurunan kemiskinan juga cenderung melambat rata-rata hanya 0.9 persen per tahun. Hal ini mengindikasikan program pengentasan kemiskinan yang tengah berjalan belum optimal. Pendekatan dari program-program tersebut juga masih berfokus pada pendekatan fiskal dan implementasinya dirancang secara seragam. Oleh sebab itu, perlu revitalisasi kebijakan dengan memanfaatkan potensi modal sosial untuk mempercepat penurunan kemiskinan. Langkah lain untuk mempercepat penurunan kemiskinan yaitu dengan mengidentifikasi wilayah yang menjadi konsentrasi kemiskinan. BPS mencatat pada tahun 2019 terdapat 3 provinsi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan kemiskinan masih di atas 20 persen yaitu: Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur, sedangkan 6 lainnya memiliki kemiskinan di atas angka nasional (9.41 persen) yaitu: Nusa Tenggara Barat, Maluku, Gorontalo, Sulawesi tengah, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara. Berbeda dengan angka kemiskinan, hasil publikasi Statistik Modal Sosial 2017 BPS memperlihatkan potensi modal sosial KTI relatif tinggi. Ada 7 provinsi dengan nilai indeks modal sosial di atas angka nasional (47.86) yaitu: Kalbar, NTB, NTT, Sulut, Sulteng, Maluku, dan Malut. Sementara itu, menurut wilayah administrasi modal sosial perdesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan yaitu 51.05 berbanding 45.16. Dari kedua fenomena tersebut dapat ditarik hubungan bahwa KTI dengan karakteristik perdesaan semestinya memiliki potensi modal sosial yang besar sehingga dapat dimanfaatkan untuk mempercepat penurunan kemiskinan. Percepatan penurunan kemiskinan di KTI diharapkan juga dapat mempercepat penurunan kemiskinan secara nasional. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kemiskinan dan modal sosial di KTI, serta melihat pengaruh dari modal sosial terhadap kemiskinan rumah tangga. Penelitian ini menggunakan data sekunder hasil Susenas September 2014 dengan unit analisis rumah tangga. Kemiskinan diukur menggunakan garis kemiskinan (GK) BPS, serta untuk merespon agenda nol kemiskinan ektrem dunia digunakan GK World Bank yaitu $ 1.9 PPP. Variabel modal sosial yaitu berupa indeks terdiri dari tiga dimensi yaitu trust, network, dan reciprocity. Indeks dibangun berdasarkan perhitungan ekstraksi Principal Component Analysis (PCA), sedangkan untuk menjawab tujuan penelitian maka digunakan analisis deskriptif dan analisis regresi logistik. Hasil penelitian menunjukan bahwa rumah tangga miskin di KTI terkonsentrasi di perdesaan dengan mata pencaharian utama adalah sektor pertanian dan mayoritas KRT tidak mengenyam pendidikan. Mereka memiliki kondisi rumah yang lebih padat dan hampir separuhnya belum terakses listrik. Rata-rata modal sosial trust, network, dan reciprocity rumah tangga miskin lebih rendah dibandingkan rumah tangga tidak miskin. Hasil analisis regresi logistik menunjukan bahwa modal sosial network, reciprocity, dan trust berpengaruh terhadap penurunan kemiskinan rumah tangga. Dimensi reciprocity memiliki pengaruh paling kuat terhadap penurunan kemiskinan rumah tangga dan efeknya lebih berarti dalam mengurangi kemiskinan bagi kelompok tidak berpendidikan. Hal ini mengindikasikan bahwa modal sosial dapat menjadi jembatan untuk mempercepat penuntasan agenda global SDGs zero extreme poverty maupun agenda pengentasan kemiskinan nasional. Oleh karena itu, segala upaya untuk meningkatkan modal sosial individu atau rumah tangga perlu mendapat perhatian dari semua pihak. Wujud nyata upaya tersebut yaitu dengan melestarikan dan melembagakan budaya kearifan lokal. Pengembangan institusi sosial sampai wilayah terkecil juga perlu mendapat perhatian. Hal ini berguna dalam meningkatkan partisipasi, kerja sama, dan kepercayaan yang memungkinkan mengalirnya sumber daya produktif di dalam masyarakat. Disamping itu, pengembangan kurikulum pendidikan berbasis karakter juga diperlukan untuk menanamkan modal sosial bagi generasi muda.

Until 2019 the poverty rate had reached 9.41 percent, but it was still above the 2015-2019 National Medium Term Development Plan target which was set 7-8 percent. The pattern of poverty reduction also tends to slow down by an average of only 0.9 percent per year. This indicates that the poverty alleviation program is not yet optimal. The approach of these programs also still focuses on the fiscal approach and its implementation is designed uniformly. Therefore, it is necessary to revitalize policies by utilizing the potential of social capital to accelerate poverty reduction. Another step to accelerate poverty reduction is to identify areas where poverty is concentrated. BPS noted that in 2019 there were 3 provinces in eastern Indonesia with poverty still above 20 percent (Papua, West Papua, and East Nusa Tenggara), while 6 others had poverty above the national poverty rate (West Nusa Tenggara, Maluku, Gorontalo, Central Sulawesi, West Sulawesi, and Southeast Sulawesi). In contrast to the poverty rate, the results of the BPS Social Capital Statistics Publication 2017 show that the potential for social capital in Eastern Indonesia is relatively high. There are 7 provinces with social capital index scores above the national index (West Kalimantan, West Nusa Tenggara, East Nusa Tenggara, North Sulawesi, Central Sulawesi, Maluku, and North Maluku). Meanwhile, rural social capital was higher than urban areas. These phenomena indicates that Eastern Indonesia with rural characteristics should have a large potential for social capital that it can be used to accelerate of poverty reduction. The acceleration of poverty reduction in Eastern Indonesia is hoped tend to accelerate the reduction of poverty nationally. Therefore, this study aims to analyze the effect of social capital on household poverty in Eastern Indonesia. This study uses secondary data from the Susenas September 2014 with the household analysis unit. Poverty is measured using the BPS poverty line and World Bank poverty line ($1.9 Purchasing Power Parity) to respond the zero extreme agenda of SDGs. The social capital variable is in the form of an index consisting of three dimensions (trust, network, and reciprocity). The index is built based on the calculation of Principal Component Analysis (PCA) extraction, while the analysis use descriptive and logistic regression. The results show that poor households in Eastern Indonesia were concentrated in rural areas with working in the agricultural sector and the majority of head of household were uneducated. They have denser housing conditions and almost half of them do not have access to electricity. The average of social capital trust, network, and reciprocity of poor households is lower than non-poor household. The result of the logistic regression analysis show that trust, network, and reciprocity have an effect on reducing household poverty. The reciprocity dimension has the strongest influence on reducing household poverty and the effect is more significant in reducing poverty for uneducated group. This indicates that social capital can be a bridge to accelerate the completion of the zero extreme poverty agenda of SDGs and the national poverty alleviation agenda. Therefore, all efforts to increase individual or household social capital need attention from all parties. The manifestation of these efforts is by preserving and institutionalizing the culture of local wisdom. The development of social capital institutions to the smallest areas also needs attention. This is useful in increasing participation, cooperation, and trust which allows the flow of productive resources in society. In addition, the development of character-based education curriculum is also needed to instill social capital for younger generation.