Show simple item record

dc.contributor.advisorSarwoprasodjo, Sarwititi
dc.contributor.advisorSjaf, Sofyan
dc.contributor.advisorSoetarto, Endriatmo
dc.contributor.authorFitriyah, Neka
dc.date.accessioned2021-05-21T02:44:10Z
dc.date.available2021-05-21T02:44:10Z
dc.date.issued2021
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/106814
dc.description.abstractSepanjang penerapan otonomi daerah pada tahun 2000, persoalan pembangunan di Kabupaten Pandeglang masih berkutat pada persoalan kemiskinan. Regulasi dan arah pembangunan yang dibuat tidak menjadikan Pandeglang terbebas dari kemiskinan, karenanya persoalan kemiskinan selalu menjadi isu sentral di daerah ini. Kondisi ini dipertajam dengan kenaikan angka kemiskinan sebanyak 24.790 orang 2017 dari sebelumnya berjumlah 675.040 orang pada Maret 2018, atau naik 0,14 poin. Program Jamsosratu sudah 18 tahun berjalan dan program infrastruktur jalan sudah dicanangkan sejak era orde baru. Tetapi, Pemda Kabupaten Pandgeglang hanya mampu membiayai 30% program infrastruktur jalan yang dibutuhkan. Implikasinya, banyak pergerakan barang dan jasa terhambat, mengganggu produktivitas ekonomi dan memperlemah partisipasi masyarakat. Elite lokal di Pandeglang (ulama, jawara dan elite desa) memiliki kemampuan untuk mengarahkan dan memposisikan masyarakat sebagai subjek pembangunan. Tetapi kemudian, kemampuan politis para elite lokal belum sepenuhnya dapat memposisikan masyarakat sebagai subjek pembangunan. Elite lokal memiliki berbagai agenda, baik agenda pembangunan, agenda politik maupun agenda kelompok. Realitas ini diperkuat dengan sikap masyarakat yang mewakilkan aspirasi terhadap para elite lokal. Implikasinya posisi elite lokal menjadi semakin elitis di tengah-tengah masyarakat. Situasi ini kemudian memudahkan elite lokal dalam membangun dan memperoleh dukungan politik praktis. Padahal, jika orientasi elite lokal mengarah pada pemberdayaan masayarakat, kekuatan komunikasi politik elite lokal melebihi kekuatan formal (pimpinan daerah). Kekuatan ulama dan jawara dalam beberapa realitas sosial bahkan melampaui batas geografis yang belum tentu dimiliki oleh elite lain. Proposisi utama penelitian ini adalah komunikasi politik para elite lokal dipengaruhi oleh berbagai agenda (kepentingan) yang didasari oleh perbedaan orientasi terhadap pembangunan. Akibatnya konsensus dalam ruang publik tidak melalui dialog kritis. Dampak yang lebih jauh, ruang publik belum sepenuhnya mengarah pada kesadaran kritis dan partisipasi masyarakat. Yang terjadi adalah kelesuan partisipasi dan ketidak percayaan masyarakat yang disebabkan diskoneksi orientasi para elite lokal dalam pembangunan. Implikasinya, komunikasi pembangunan belum berjalan sebagaimana mestinya. Salah satunya, masyarakat mempercayakan aspirasinya pada para elite lokal tanpa mengkritisinya terlebih dahulu. Perbedaan orientasi dan agenda antar para elite lokal, menjadikan ruang publik syarat dengan agenda dan kepentingan sehingga ruang publik terdistorsi dan tidak lagi menjadi medium yang netral. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana praktik komunikasi politik elite lokal dalam pembangunan, seperti apakah pertemuan politis yang diikuti, bagaimana orientasi dan tipe komunikasi politik yang digunakannya, apakah berdampak pada upaya penyadaran kritis atau sebaliknya serta bagaimana keberfungsian ruang publik. Permasalahan ini kemudian ditinjau dengan menggunakan teori tindakan komunikatif Habermas (1984) yang menekankan pencapaian konsensus melalui klaim kebenaran, ketepatan dan kejujuran. Penelitian ini kemudian menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan observasi (primer). Tiga metode penelitian digunakan dalam penelitian ini yakni: metode (1) Studi kasus (2) Life history dan (3) Dokumentasi. Komunikasi politik dalam penelitian ini dimaknai sebagai suatu proses penyampaian pesan untuk mempengaruhi pembentukan sikap dan perilaku politik melalui pesan dan simbol-simbol. Selain menghasilkan berbagai temuan, penelitian ini menjawab beberapa persoalan: Pertama, dialog dan diskursus dalam ruang publik belum sepenuhnya mengarah pada kesadaran kritis sehingga konsensus yang dicapai belum mencerminkan aspirasi masyarakat. Pencapaian konsensus dalam ruang publik, prosesnya dapat tercapai jika ada kesetaraan. Kesetaraan peran, akses, kesetaraan literasi, kesetaraan perlakuan dan kesetaraan status, adalah prasyarat terjadinya dialog kritis dalam ruang publik. Kesetaraan ini akan meminimalisir terjadinya dominasi atas opini yang dikembangkan dan berkembang. Jikapun dalam realitasnya kesetaraan sulit ditemui, maka bracketing menjadi solusinya. Ruang publik yang ada di Pandeglang berkembang seiring dengan perkembangan berbagai aspirasi, agenda dan kepentingan dari para elite dan masyarakat. Akibatnya, ruang publik menjadi arena kontestasi politik yang melahirkan kelompok-kelompok dan mengarah pada oligarkhi. Keberfungsian ruang publik yang mensyaratkan kesetaraan, penghargaan dan kesempatan di Pandeglang belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Para elite lokal dalam persoalan pembangunan, orientasi politiknya tidak selamanya untuk penguatan dan pemberdayaan masyarakat mikro. Banyak masyarakat di pedesaan khususnya yang kebingungan dan tidak tahu bagaimana cara memberdayakan dirinya serta mengaspirasikan gagasannya. Situasi ini dimanfaatkan oleh sebagian elite untuk membangun opini mayoritas dalam pertemuan-pertemuan di ruang publik. Pada posisi inilah ruang publik menjadi terdistorsi oleh agenda-agenda politik yang mengatasnamakan kepentingan masyarakat. Kedua, tindakan berbahasa ulama dan jawara dalam ruang publik ditandai dengan pesan: Kognitif, Interaktif dan Ekspresif. Kognitif menekankan pada rasionalitas dalam mengeksplorasi persoalan pembangunan. Tindakan interaktif menekankan pada proses pembentukan konsensus yang berfungsi sebagai persuasi, pegendalian sosial dan labenswelt. Adapun tindakan ekspresif mengarah pada muatan-muatan pesan ketulusan dan membangun kesadaran kritis masyarakat. Melihat kondisi sosiologis masyarakat Pandeglang, tidak semua tindakan berbahasa dalam ruang publik dapat dilaksanakan secara bersamaan. Literasi politik yang terbatas, akses dan persoalan otoritas dan struktural menyebabkan hanya beberapa tindakan berbahasa yang umum berkembang di Pandeglang. Pesan kognitif dan interaktif adalah tidakan berbahasa yang lebih mudah diterima oleh masyarakat. Ketiga, komunikasi politik terjadi dalam ruang publik karena ada perbedaan orientasi yakni orientasi pemberdayaan dan politik praktis. Pada program Jamsosratu elite lokal cenderung memiliki orientasi yang sama dan bersatu, tetapi pada program infrastruktur jalan elite lokal memiliki ragam orientasi dan kepentingan yang saling berhadap-hadapan. Keempat, tipe komunikasi politik elite lokal terdiri dari empat tipe tindakan komunikatif: (1) Tindakan teleologis untuk membangun konsensus (2) Tindakan normatif untuk melaksanakan konsensus (3) Tindakan dramaturgis untuk membangun popularitas (4) Tindakan komunikatif untuk membangun konsensus melalui bahasa dan dialog kritis. Tipe tindakan komunikatif ini embeded dalam sikap dan perilaku elite lokal dalam menyusun dan merespon program pembangunan. Penelitian ini juga menemukan temuan-temuan lain diantaranya: (1) Kedekatan para elite lokal dalam persoalan pembangunnan terjadi selain karena faktor patrimonial dan struktural juga karena faktor relasi yang sebelumnya sudah terbangun (2) Kondisi sosiologis masyarakat Pandeglang dengan struktur dan kultur religius memposisikan ulama dan jawara menjadi faktor determinan dalam pembangunan dan politik lokal (3) Ada dua tipologi ulama dan jawara yakni tradisional dan modern yang kemudian dibagi menjadi dua ketegori yakni organik dan simultan. Ulama dan jawara modern adalah kelompok yang telah mengalami transisi dari elite tradisional pedesaan menjadi elite legal formal dalam struktur sosial dan politik. Sedangkan ulama dan jawara tradisional adalah kelompok yang masih mempertahankan peran-peran tradisional yang aktivitas kesehariannya dekat dengan masyarakat secara mikro.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB Universityid
dc.titleDistorsi Ruang Publik dan Kuasa Politik Elite Lokal dalam Pembangunanid
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordpublic spheresid
dc.subject.keywordcommunicationid
dc.subject.keywordpoliticsid
dc.subject.keyworddevelopmentid
dc.subject.keywordlocal elitesid


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record