Karakteristik, Cara Perekaman, dan Pengaruh Habitat Terhadap Suara Echolokasi Kelelawar

Abstract

Indonesia memiliki 239 jenis kelelawar yang terdiri dari 62 jenis Megachiroptera dan 117 jenis Microchiroptera. Identifikasi jenis kelelawar umumnya dilakukan melalui morfologi meliputi ukuran serta ciri khusus tubuh. Metode tersebut mengharuskan penangkapan kelelawar. Cara tersebut dianggap kurang efisien serta dapat melukai kelelawar dan memungkinkan tertularnya penyakit antar peneliti dan kelelawar. Metode identifikasi melalui suara echolokasi dianggap mampu mengurangi resiko tersebut. Kelelawar Microchiroptera dan marga Rousettus (Megachiroptera) memiliki kemampuan echolokasi. Tipe dan karakter suara yang dihasilkan berbeda-beda. Perbedaan ini dijadikan dasar dalam identifikasi. Proses identifikasi melalui suara belum sepenuhnya dapat digunakan di Indonesia. Terbatasnya data dasar karakter echolokasi setiap jenis menjadi salah satu penyebabnya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan mengumpulkan data karakteristik suara echolokasi kelelawar sehingga dapat dijadikan dasar identifikasi melalui suara. Kelelawar famili Rhinolohidae dan Hipposideridae menggunakan suara echolokasi tipe konstan (cf) dengan durasi yang relatif lebih panjang, sedangkan Vespertilionidae dan Megaderma spasma tipe frekuensi modulated (fm). Rhinolophus pusillus, R. stheno, R. affinis, Hipposideros larvatus, H. diadema, Miniopterus australis, M. fuliginosus, dan Megaderma spasma masing-masing memiliki frekuensi puncak suara 104,1, 86,06, 71,69, 99,26, 69,24, 65,12, 54,29, dan 31,69 kHz. Perlakuan perekaman agar menyerupai suara alami di alam pada jenis R. affinis, R. stheno, H. diadema, dan M. fuliginosus jika kelelawar tersebut direkam dalam posisi kelelawar ditempatkan di dalam kantong, untuk jenis R. pusillus dan M. australis dapat direkam pada posisi jika kelelawar tersebut dipegang, sedangkan H. larvatus yang direkam dilepas di dalam ruangan akan lebih akurat jika dibandingkan beberapa perlakuan yang menjadi kajian perekaman ini. Suara echolokasi jenis R. affinis di tipe habitat berbeda dapat dicirikan karena memiliki perbedaan pada karakter frekuensi awal (fs), intesitas suara (is), dan jarak antar suara (jr). Suara R. pusillus berbeda pada fs, frekuensi konstan (fc), frekuensi akhir (fe), frekuensi puncak (fp), dan frekuensi kontan harmonik (hc). Suara R. stheno dapat dicirikan dari perberbedaan pada tipe suara is. Suara H. larvatus dapat dicirikan dari perbedaan pada karakter suara fc, fe, fp, dan jr. Suara H. diadema perbedaannya cenderung pada karakter durasi (dur), fc, dan fp. Suara M. fuliginosus dan M. muricola berbeda pada fs, fe, fp, is, dan jr. Sedangkan suara M. australis perbedaannya terlihat pada karakter suara fs dan is. Chaerephon plicatus perbedaannya terjadi pada karakter suara fp. Hasil analisis menunjukkan bahwa karakter frekuensi konstan (fc) dipengaruhi oleh tinggi bebas cabang pohon dan non pohon, tinggi total non pohon, lebar tajuk non pohon, dan kecepatan angin. Karakter suara harmonik awal (hs) dari suara kelelawar dipengaruhi oleh suhu dan kecepatan angin, sedangkan frekuensi harmonik akhir (he) dipengaruhi oleh tinggi total non pohon, lebar tajuk non pohon, luas bidang dasar non pohon dan tinggi total pohon.

Indonesia has 239 species of bats, this number consists of 62 species of megachiropteran and 117 of microchiropteran. Species identification is generally carried out through morphology and special features. These methods requires to caught the bats. It is considered less efficient, can harm the bats, and increase the risk of disease transmission between humans and bats. Identification through echolocation sound is considered to reduce the risk. Microchiroptera bats and the Rousettus (Megachiroptera) have the ability to echolocation. The type and character calls that are produced have distinct. These distinct can be considered for identification. The process of identification by calls is not yet fully done in Indonesia. Lack of data about the echolocation character of each species becomes problematic. Therefore, this research aims to analyze and collect data on the characteristics of the echolocation bats calls to be used as a basis for identification through calls. Rhinolohidae and Hipposideridae produced cf calls with a relatively longer duration, while Vespertilionidae and Megaderma spasma produced fm calls. Rhinolophus pusillus, R. stheno, R. affinis, H. larvatus, H. diadema, M. australis, M. fuliginosus, and Megaderma spasma each have a peak frequency of 104,1, 86, 06, 71,69, 99,26, 69,24, 65,12, 54.29, and 31,69 kHz. The most suitable method to record calls of R. affinis, R. stheno, H. diadema, and M. fuliginosus are when bats in the pouch, R. pusillus and M. australis when held in hand, and H. larvatus when the bat in a room. R. affinis echolocation calls in different habitat have differences in start frequency (fs), calls intensity (is), and interval calls (jr) characters. R. pusillus calls different on fs, constant frequency (fc), end frequency (fe), peak frequency (fp), and constant frequency of harmonic (hc). R. stheno calls differs on is. The calls of H. larvatus differs in fc, fe, fp, and jr. H. diadema calls differs on duration (dur), fc, and fp. The calls of M. fuliginosus and M. muricola differ on fs, fe, fp, is, and jr. M. australis calls differs on fs and is. Chaerephon plicatus calls different on fp. Constant frequency character differences are affected by the tree and non-tree branch free height, total non-tree height, non-tree header width, and wind speed. The start frequency of harmonic (hs) sound of bats is influenced by temperature and wind speed. The end frequency of harmonic (he) is affected by the total height of the non-tree, the width of the non-tree header, the area of the nontree base area, and the total height of the tree.