dc.description.abstract | Kerbau lumpur (swamp buffalo) merupakan satu dari dua jenis kerbau air
(Bubalus bubalis) yang memiliki peran penting bagi ekonomi pertanian di
berbagai negara Asia. Kerbau lumpur berperan sebagai penyedia daging, tenaga
untuk membajak sawah dan sumber pupuk organik. Di Indonesia, kerbau lumpur
juga memiliki peran sosial, misalnya untuk tabungan keluarga dan hewan yang
dikorbankan di berbagai upacara adat dan keagamaan. Para petani memelihara
ternak secara tradisional dengan tingkat pengetahuan dan teknologi yang rendah,
termasuk di Kabupaten Brebes sebagai lumbung ternak kerbau di Jawa Tengah.
Situasi ini memicu potensi infeksi oleh berbagai agen penyakit infeksius yang
mengganggu kesehatan ternak diantaranya infeksi oleh cacing parasit atau dikenal
dengan istilah kecacingan. Data kecacingan pada kerbau lumpur Indonesia sangat
terbatas, sedangkan data pada kerbau di Kabupaten Brebes juga tidak tersedia
hingga saat ini. Oleh karena itu, kami melakukan sebuah kajian epidemiologi,
dampak infeksi serta pengendalian kecacingan pada kerbau lumpur di Kabupaten
Brebes, Jawa Tengah.
Penelitian ini dilakukan sejak bulan Januari 2018 hingga Desember 2019
dan terbagi ke dalam tiga tahap. Pertama, survei cross-sectional yang dilakukan
terhadap 240 ekor kerbau di Kecamatan Salem, Bantarkawung, Tonjong dan
Brebes guna menentukan prevalensi, derajat, dampak dan faktor risiko infeksi.
Penelitian tahap kedua merupakan kajian epidemiologi dengan desain cohort
untuk mengukur dinamika beserta dampaknya terhadap gambaran hematologi,
imunitas (konsentrasi imunoglobulin G [IgG] serum) serta produktivitas ternak.
Di saat yang sama, ragam, kualitas serta tingkat konsumsi kerbau lumpur di lokasi
penelitian turut diukur. Bagian ketiga penelitian ini adalah uji efikasi dua
antelmintik kombinasi komersial.
Jenis cacing yang ditemukan menginfeksi kerbau lumpur di Kabupaten
Brebes adalah Toxocara vitulorum, cacing Strongyle (Cooperia, Nematodirus,
Trichostrongylus dan Oesophagostomum), Trichuris spp. (Nematoda), Moniezia
expansa, Moniezia benedeni (Cestoda), Fasciola gigantica dan
Paramphistomatidae (Trematoda). Kerbau terinfeksi dengan tipe infeksi tunggal
maupun campuran. Prevalensi infeksi secara keseluruhan tercatat tinggi, namun
derajat infeksi seluruh cacing tergolong ringan.
Strongyle dan Paramphistomatidae adalah dua cacing dominan yang
ditemukan melalui pengamatan mikroskopik sampel tinja. Disamping itu,
berdasarkan deteksi koproantigen dengan teknik indirect sandwich ELISA
ditemukan prevalensi infeksi Fasciola yang tinggi dari koproantigen di sepanjang
periode penelitian. Kerbau anak memiliki risiko terinfeksi cacing Strongyle 7,44
kali lebih tinggi dibandingkan kerbau dewasa. Di sisi lain, infeksi Trematoda
terjadi 3,18 lebih tinggi pada kelompok kerbau jantan dibandingkan betina dan
10,63 kali lebih tinggi pada kelompok kerbau yang tidak pernah menerima
pemeriksaan kesehatan hewan.
Kecacingan tidak memberikan dampak negatif signifikan terhadap
parameter produktivitas (bobot badan dan BCS). Kerbau lumpur muda dan
dewasa mengalami anemia makrositik hipokromik disertai peningkatan kadar
granulosit darah. Konsentrasi IgG total dari sampel serum kerbau muda dan
dewasa berkisar antara 6,01–6,24 mg/ml dan 6,31–6,66 mg/ml.
Kecacingan dengan prevalensi tinggi disertai derajat ringan yang ditemukan
turut dipengaruhi oleh jenis, ragam dan kualitas pakan. Kerbau lumpur
mengonsumsi sembilan spesies saat dikandangkan malam hari dan 47 spesies
hijauan dari lokasi penggembalaan. Sebanyak 14 jenis tanaman berpotensi
menjadi antelmintik alami karena mengandung tannin, flavonoid, saponin dan
mimosin. Berdasarkan hasil penelusuran pustaka, senyawa-senyawa tersebut telah
teruji memiliki efek antelmintik berupa penurunan daya tetas telur, menghambat
perkembangan larva di dalam tubuh inang dan merusak permukaan, serta organ
dalam cacing sehingga cacing gagal berkembang atau mati.
Dua antelmintik komersial kombinasi yang digunakan untuk terapi
kecacingan memiliki efikasi yang rendah untuk infeksi Paramphistomatidae dan
Fasciola. Sementara itu, kenaikan bobot badan yang signifikan teramati pada
kelompok yang diterapi maupun kontrol yang berumur < 2 tahun. Penelitian
serupa dengan tipe infeksi buatan dibutuhkan untuk meningkatkan akurasi hasil
pengamatan. Berdasarkan seluruh uraian tersebut, kecacingan secara umum tidak
menimbulkan ancaman yang serius bagi kerbau lumpur di Kabupaten Brebes,
Jawa Tengah. Program pengendalian kecacingan terpadu perlu disusun dengan
fokus pada pengendalian Trematoda dan cacing Strongyle. | id |