Show simple item record

dc.contributor.advisorSatrija, Fadjar
dc.contributor.advisorRetnani, Elok Budi
dc.contributor.advisorAstuti, Dewi Apri
dc.contributor.advisorMurtini, Sri
dc.contributor.authorNurhidayah, Nanis
dc.date.accessioned2021-02-05T23:10:24Z
dc.date.available2021-02-05T23:10:24Z
dc.date.issued2021
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/105742
dc.description.abstractKerbau lumpur (swamp buffalo) merupakan satu dari dua jenis kerbau air (Bubalus bubalis) yang memiliki peran penting bagi ekonomi pertanian di berbagai negara Asia. Kerbau lumpur berperan sebagai penyedia daging, tenaga untuk membajak sawah dan sumber pupuk organik. Di Indonesia, kerbau lumpur juga memiliki peran sosial, misalnya untuk tabungan keluarga dan hewan yang dikorbankan di berbagai upacara adat dan keagamaan. Para petani memelihara ternak secara tradisional dengan tingkat pengetahuan dan teknologi yang rendah, termasuk di Kabupaten Brebes sebagai lumbung ternak kerbau di Jawa Tengah. Situasi ini memicu potensi infeksi oleh berbagai agen penyakit infeksius yang mengganggu kesehatan ternak diantaranya infeksi oleh cacing parasit atau dikenal dengan istilah kecacingan. Data kecacingan pada kerbau lumpur Indonesia sangat terbatas, sedangkan data pada kerbau di Kabupaten Brebes juga tidak tersedia hingga saat ini. Oleh karena itu, kami melakukan sebuah kajian epidemiologi, dampak infeksi serta pengendalian kecacingan pada kerbau lumpur di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Penelitian ini dilakukan sejak bulan Januari 2018 hingga Desember 2019 dan terbagi ke dalam tiga tahap. Pertama, survei cross-sectional yang dilakukan terhadap 240 ekor kerbau di Kecamatan Salem, Bantarkawung, Tonjong dan Brebes guna menentukan prevalensi, derajat, dampak dan faktor risiko infeksi. Penelitian tahap kedua merupakan kajian epidemiologi dengan desain cohort untuk mengukur dinamika beserta dampaknya terhadap gambaran hematologi, imunitas (konsentrasi imunoglobulin G [IgG] serum) serta produktivitas ternak. Di saat yang sama, ragam, kualitas serta tingkat konsumsi kerbau lumpur di lokasi penelitian turut diukur. Bagian ketiga penelitian ini adalah uji efikasi dua antelmintik kombinasi komersial. Jenis cacing yang ditemukan menginfeksi kerbau lumpur di Kabupaten Brebes adalah Toxocara vitulorum, cacing Strongyle (Cooperia, Nematodirus, Trichostrongylus dan Oesophagostomum), Trichuris spp. (Nematoda), Moniezia expansa, Moniezia benedeni (Cestoda), Fasciola gigantica dan Paramphistomatidae (Trematoda). Kerbau terinfeksi dengan tipe infeksi tunggal maupun campuran. Prevalensi infeksi secara keseluruhan tercatat tinggi, namun derajat infeksi seluruh cacing tergolong ringan. Strongyle dan Paramphistomatidae adalah dua cacing dominan yang ditemukan melalui pengamatan mikroskopik sampel tinja. Disamping itu, berdasarkan deteksi koproantigen dengan teknik indirect sandwich ELISA ditemukan prevalensi infeksi Fasciola yang tinggi dari koproantigen di sepanjang periode penelitian. Kerbau anak memiliki risiko terinfeksi cacing Strongyle 7,44 kali lebih tinggi dibandingkan kerbau dewasa. Di sisi lain, infeksi Trematoda terjadi 3,18 lebih tinggi pada kelompok kerbau jantan dibandingkan betina dan 10,63 kali lebih tinggi pada kelompok kerbau yang tidak pernah menerima pemeriksaan kesehatan hewan. Kecacingan tidak memberikan dampak negatif signifikan terhadap parameter produktivitas (bobot badan dan BCS). Kerbau lumpur muda dan dewasa mengalami anemia makrositik hipokromik disertai peningkatan kadar granulosit darah. Konsentrasi IgG total dari sampel serum kerbau muda dan dewasa berkisar antara 6,01–6,24 mg/ml dan 6,31–6,66 mg/ml. Kecacingan dengan prevalensi tinggi disertai derajat ringan yang ditemukan turut dipengaruhi oleh jenis, ragam dan kualitas pakan. Kerbau lumpur mengonsumsi sembilan spesies saat dikandangkan malam hari dan 47 spesies hijauan dari lokasi penggembalaan. Sebanyak 14 jenis tanaman berpotensi menjadi antelmintik alami karena mengandung tannin, flavonoid, saponin dan mimosin. Berdasarkan hasil penelusuran pustaka, senyawa-senyawa tersebut telah teruji memiliki efek antelmintik berupa penurunan daya tetas telur, menghambat perkembangan larva di dalam tubuh inang dan merusak permukaan, serta organ dalam cacing sehingga cacing gagal berkembang atau mati. Dua antelmintik komersial kombinasi yang digunakan untuk terapi kecacingan memiliki efikasi yang rendah untuk infeksi Paramphistomatidae dan Fasciola. Sementara itu, kenaikan bobot badan yang signifikan teramati pada kelompok yang diterapi maupun kontrol yang berumur < 2 tahun. Penelitian serupa dengan tipe infeksi buatan dibutuhkan untuk meningkatkan akurasi hasil pengamatan. Berdasarkan seluruh uraian tersebut, kecacingan secara umum tidak menimbulkan ancaman yang serius bagi kerbau lumpur di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Program pengendalian kecacingan terpadu perlu disusun dengan fokus pada pengendalian Trematoda dan cacing Strongyle.id
dc.description.sponsorshipPMDSU Batch II KEMENRISTEK DIKTIid
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB universityid
dc.titleKajian Epidemiologi, Dampak dan Pengendalian Kecacingan pada Kerbau Lumpur di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.id
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordanthelminticid
dc.subject.keywordBrebes Regencyid
dc.subject.keywordepidemiology, helminthosisid
dc.subject.keywordswamp buffaloid


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record