Implementasi Kebijakan Perhutanan Sosial Skema HKm dan HTR: Tinjauan Kapasitas dan Akses Masyarakat
View/ Open
Date
2020Author
Budi
Kartodihardjo, Hariadi
Nugroho, Bramasto
Mardiana, Rina
Metadata
Show full item recordAbstract
Kebijakan perhutanan sosial ditetapkan sebagai kebijakan prioritas nasional pada tahun 2015 di bawah kendali Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kebijakan tersebut menyediakan pemberian hak kelola legal kawasan hutan negara kepada masyarakat yang diatur dalam peraturan Menteri lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.39/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2017 khusus di wilayah kerja Perum Perhutani. Dalam konteks pengelolaan kawasan hutan negara oleh masyarakat, penelitian-penelitian sebelumnya menyatakan bahwa masyarakat memiliki kapasitas untuk mengelola kawasan hutan yang umumnya menegaskan tentang pengetahuan lokal, modal sosial, dan kearifan lokal yang didalami secara terpisah. Penelitian-penelitian tersebut belum ada yang menyatakan bahwa ketiga hal tersebut merupakan komponen yang menyusun kapasitas masyarakat sebagai satu kesatuan. Belum ada penelitian yang mendalami hubungan antara komponen kapasitas masyarakat dengan implementasi kebijakan perhutanan sosial. Penelitian-penelitian sebelumnya lebih banyak memfokuskan pada kesulitan dan hambatan yang dialami masyarakat pemegang izin untuk mencapai keberhasilan serta minimnya manfaat yang diperoleh dari kebijakan perhutanan sosial. Belum ada penelitian yang memfokuskan pada aspek akses masyarakat dan meneliti hubungan antara kapasitas dan akses masyarakat terutama pada skema HKm dan HTR. Demikian halnya belum banyak penelitian tentang kesenjangan implementasi kebijakan yang memfokuskan pada kelompok aktor yang ditetapkan dalam peraturan perhutanan sosial saat ini.
Disertasi ini mengisi celah penelitian tersebut untuk menganalisis kapasitas masyarakat, akses masyarakat dan kesenjangan implementasi kebijakan untuk merumuskan pilihan-pilihan rekomendasi perbaikan dan pengembangan implementasi kebijakan perhutanan sosial ke depan. Penelitian ini menggunakan pendekatan konstruktivis-interpretivis sebagai pendekatan kualitatif dengan menerapkan metode studi dokumentasi dan studi lapangan. Masyarakat yang didalami yaitu masyarakat yang terlibat dalam 48 kegiatan grantee Yayasan Kehati, masyarakat HKm Beringin Jaya di Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung dan masyarakat HTR Hajran di Kabupaten Batanghari Provinsi Lampung. Pengumpulan data menerapkan studi dokumentasi, wawancara mendalam informan kunci dan observasi partisipatif lapangan. Pengolahan, analisis data dan penyajian hasil penelitian menggunakan analisis isi secara kualitatif, analisis kesenjangan implementasi kebijakan dan analisis kualitatif.
Penelitian kapasitas masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan menunjukkan bahwa masyarakat memiliki tiga komponen kapasitas yaitu kapasitas teknis sebagai perwujudan dari pengetahuan lokal, kapasitas berjaringan sebagai perwujudan dari modal sosial dan kapasitas kultural sebagai perwujudan dari kearifan lokal. Pada masyarakat yang terlibat dalam 48 kegiatan grantee Yayasan Kehati, kapasitas teknis ditunjukkan oleh 86 barang dan jasa lingkungan yang
ii
dihasilkan dengan teknik kebun campur atau agroforesti. Kapasitas berjaringan ditunjukan oleh 63 bentuk berjaringan antar anggota masyarakat dan 8 bentuk berjaringan dengan pihak di luar komunitasnya. Kapasitas kultural ditunjukan oleh 36 narasi yang menggambarkan nilai-nilai kultural masyarakat. Di masyarakat HKm Beringin Jaya, kapasitas teknis ditunjukkan oleh hasil biji kopi dan tanaman lain dengan menerapkan teknik agroforestri atau kebun campur di areal izin. Kapasitas berjaringan ditunjukkan oleh 8 bentuk berjaringan antar anggota masyarakat dan 9 bentuk berjaringan dengan pihak di luar komunitasnya. Kapasitas kultural ditunjukkan oleh 7 nilai kultural terkait pengelolaan areal izin. Pada masyarakat HTR Hajran, ketiga komponen kapasitas masyarakat dalam memanfaatkan areal izin belum terbentuk dan terbangun. Masyarakat HKm Beringin Jaya memiliki ketiga komponen kapasitas yang lebih tinggi dibanding masyarakat HTR Hajran yang menentukan keberlanjutan pemanfaatan atau pengelolaan areal izin dan diperolehnya manfaat-manfaat yang dituju masyarakat dari implementasi kebijakan perhutanan sosial.
Penelitian akses masyarakat menunjukkan bahwa untuk sampai pada terbit izin, masyarakat HKm Beringin Jaya dan HTR Hajran harus memiliki akses ke: (1) informasi perhutanan sosial, (2) identitas sosial seluruh anggota yang akan terlibat, (3) pendamping, dan (4) otoritas pemerintah (desa, kabupaten, provinsi, KLHK dan UPT terkait). Di tahap pasca izin, untuk memperoleh manfaat-manfaat yang dituju oleh masyarakat, masyarakat pemegang izin harus memiliki akses ke: (1) modal, (2) pendamping, (3) informasi dan pengetahuan, (4) peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan administrasi keorganisasian formal, (5) otoritas pemerintah, (6) teknologi, (7) pasar dan jaringannya, dan (8) swasta/mitra usaha. Akses ke sumber daya tersebut lebih banyak diperoleh oleh masyarakat HKm Beringin Jaya karena didukung oleh tingginya kapasitas berjaringan masyarakat (bonding dan bridging social capital) dan difasilitasi pendamping yang memiliki kapasitas. Tingginya akses tersebut juga didukung oleh ketersediaan infrastruktur pendukung.
Penelitian kesenjangan implementasi kebijakan pada kelompok aktor menunjukkan bahwa hak dan kewajiban masyarakat pemegang izin, pekerjaan yang menjadi kewenangan pemerintah dan keterlibatan para pihak terkait sebagian besar difasilitasi oleh lembaga swadaya masyarakat (pendamping), sebagian kecil oleh pemerintah dan para pihak terkait lainnya. Implementasi kewenangan pemerintah (pusat-daerah) tidak berjalan memadai di lapangan karena kebijakan perhutanan sosial mengalami kompleksitas dalam implementasinya. Kompleksitas tersebut disebabkan oleh: (1) sistem politik dan otoritas yang terpisah antara pemerintah pusat dan daerah yang menuntut kolaborasi, koordinasi, dan sinergi, (2) belum optimalnya KPH sebagai lembaga terdekat dengan masyarakat, dan (3) menuntut pelaksana kebijakan dengan motivasi profesional dan kepribadian tinggi. Ketiga hal itu mengindikasikan tentang kapasitas pemerintah (pusat-daerah) untuk menjalankan kebijakan perhutanan sosial. Keterlibatan para pihak terkait dalam mendukung masyarakat lebih banyak dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat karena para pihak terkait lainnya akan terlibat apabila kepentingannya terakomodir dan masyarakat pemegang izin memiliki kapasitas untuk mengaksesnya. Sintesis dari ketiga hasil penelitian menghasilkan rumusan pilihan-pilihan rekomendasi untuk tiga tingkat pengambil keputusan (operasional, kolektif dan konstitusi).
Collections
- DT - Forestry [347]