Respon Biologi Infeksi Cacing Haemonchus contortus Rudolphi, 1803 pada Domba Ekor Tipis
View/ Open
Date
2020Author
Muttaqin, Wildan Najmal
Farajallah, Achmad
Muladno
Wibawan, I Wayan T
Metadata
Show full item recordAbstract
Domba ekor tipis adalah domba yang banyak dibudidayakan di Indonesia.
Umumnya, domba ekor tipis dibudidayakan di daerah basah dengan curah hujan
tinggi seperti Jawa Barat dan Sumatera. Permasalahan yang dialami oleh domba
ekor tipis ini salah satunya adalah infeksi cacing saluran pencernaan terutama
Haemonchus contortus. Infeksi oleh cacing H. contortus berakibat fatal karena
dapat menyebabkan anemia hingga kematian. Umumnya, kondisi yang parah
dialami oleh domba yang berumur kurang dari satu tahun. Para peternak
memberikan obat antihelmin pada ternak mereka yang terinfeksi cacing. Namun,
pemberian obat antihelmin dalam jangka panjang telah menyebabkan munculnya
resistensi terhadap obat tersebut. Upaya untuk mengatasi masalah resistensi
terhadap obat salah satunya adalah dengan melakukan seleksi dan pengembangan
galur ternak yang bersifat tahan terhadap infeksi cacing, penerapan kartu
FAMACHA untuk mendeteksi ternak yang benar-benar anemia dan perlu diberi
obat, serta manajemen padang penggembalaan.
Seleksi dan pengembangan galur domba yang tahan infeksi cacing dimulai
dari melakukan karakterisasi sifat Fenotipe (Tahan/Rentan) dan Genotipe yang
terkait imunitas. Analisis karakterisasi sifat domba ekor tipis yang tahan terhadap
infeksi H. contortus di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol -
Institut Pertanian Bogor (UP3J IPB, n=68) dan di padang penggembalaan
masyarakat kecamatan Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat (n=95), menunjukkan
bahwa secara umum domba di kedua lokasi tersebut bersifat tahan terhadap
infeksi H. contortus. Namun demikian domba di Majalengka memiliki performa
lebih baik daripada domba di UP3J. Rata-rata bobot badan domba di Majalengka
lebih berat dari domba di UP3J (17.7±2.63 kg > 12.4±2.36 kg). Nilai PCV pada
domba yang terinfeksi berat di Majalengka juga lebih tinggi dari domba di UP3J
(29.38±4.8%>26.27±2.87%). Pertambahan Bobot Badan Harian domba di
Majalengka lebih besar dari pada domba di UP3J (0.19 kg > 0.18 kg). Analisis
asosiasi single nucleotide polymorphisms (SNP) dengan karakter ketahanan
terhadap infeksi cacing H. contortus dengan pendekatan Linkage disequlibrium
(LD), diperoleh hasil 2 gen yang dapat menjadi penanda molekuler sifat tahan
infeksi cacing H. contortus. Kedua gen tersebut adalah Toll like receptor 5
(TLR5) yang berada pada kromosom 12 dan gen C-type lectin domain family 1,
member B (CLEC1B). Kedua gen tersebut memiliki Linkage Disequilibrium (LD)
yang tinggi (D‟>0.8; r2> 0.8). Analisis dengan pendekatan Odd Ratio diperoleh
hasil 11 SNP dimana satu SNP (SN36) menjadi kandidat terkuat sebagai penanda
genetik terkait infeksi H. contortus.
Kartu FAMACHA© dibuat untuk mengenali ternak domba dan kambing
yang mengalami anemia akibat infeksi H. contortus. Penerapannya di berbagai
negara menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Pada penelitian ini, efektifitas kartu
FAMACHA© pada domba yang digembalakan di kedua lokasi menunjukkan hasil
yang cukup baik karena memiliki nilai sensitivity dan specificity masing- masing
diatas 50%. Namun demikian, perlu juga diterapkan analisis pendamping seperti
analisis feses di laboratorium untuk menyertai penerapan sistem FAMACHA ini.
Alternatif lainnya adalah peranan dari dokter hewan di lapang atau orang yang
terlatih yang bisa mengenali ciri-ciri domba yang terinfeksi oleh H. contortus.
Peranan ekologi dalam pengendalian infeksi cacing juga sangat besar.
Penelitian pada padang penggembalaan masyarakat di Majalengka menemukan
fenomena yaitu padang penggembalaan yang memiliki tingkat keragaman
tumbuhan tinggi (terutama tumbuhan antihelmin) memliki tingkat infestasi parasit
yang jauh lebih rendah. Lokasi A dengan jumlah tumbuhan sebanyak 21 buah (5
diantaranya diketahui sebagai antihelmin) memiliki jumlah infestasi telur cacing
pada domba rata-rata sebesar 100 telur per gram feses. Lokasi B (14 tumbuhan/2
tumbuhan antihelmin) dan lokasi C (8 tumbuhan/3 tumbuhan antihelmin), yang
memiliki keragaman tumbuhan lebih rendah dari lokasi A, tercatat jumlah
infestasi telur cacing lebih tinggi yaitu rata-rata 1256 dan 340 telur per gram feses,
secara berurutan.
Berdasarkan hasil penelitian ini, tiga strategi dapat dilakukan untuk
meningkatkan kualitas peternakan domba di Indonesia dan mengurangi
penggunaan obat-obatan untuk mengatasi infeksi cacing. Yang pertama adalah
melakukan seleksi dan pengembangan galur domba yang tahan infeksi cacing.
Kedua, menerapkan sistem FAMACHA sehingga hanya domba yang benar-benar
anemia karena infeksi H. contortus yang perlu diberi obat. Ketiga, menerapkan
manajemen padang pengembalaan melalui penanaman tumbuhan antihelmin
berdampingan dengan tumbuhan pakan.