dc.description.abstract | Bambu merupakan sumber biomassa yang berpotensi sebagai alternatif
pengganti kayu. Bambu di Indonesia telah dimanfaatkan secara luas oleh
masyarakat. Bambu dapat digunakan sebagai bahan baku alat kesenian, mebel,
kerajinan tradisional, konstruksi ringan bangunan, hingga produk komposit.
Bambu juga telah dimanfaatkan dalam pengembangan produk komposit polimer
dengan penguat serat bambu. Penelitian produk komposit polimer berpenguat
serat alami telah berkembang pesat hingga menggunakan serat penguat berukuran
nano atau nanoselulosa. Bambu sangat berpotensi dikembangkan sebagai bahan
baku nanoselulosa mengingat beberapa keunggulan dan kelimpahan bambu
dibandingkan kayu dan biomassa lainnya. Dalam proses produksi serat dan
nanoselulosa sebagai penguat komposit polimer kayu dan nanokomposit, sifatsifat
dasar bahan baku menjadi pertimbangan yang perlu diperhatikan. Namun,
informasi sifat-sifat dasar bambu di Indonesia masih sangat sedikit dilaporkan
secara komprehensif. Oleh karena itu, penelitian mengenai sifat-sifat dasar bambu
perlu dilakukan untuk pengembangan produk-produk dari bambu dimasa depan
terutama sebagai bahan baku nanoselulosa. Penelitian ini bertujuan untuk
menenetukan sifat fisis, anatomi, dan komponen kimia, tujuh jenis bambu dan
mengevaluasi kesesuaian sifat-sifat tersebut untuk pengembangan nanoselulosa
bambu.
Penelitian ini menggunakan tujuh jenis bambu terdiri atas bambu andong
(Gigantochloa pseudoarundinaceae), bambu tali (G. apus), bambu hitam (G.
atroviolaceae), bambu betung (Dendrocalamus asper), bambu sembilang (D.
giganteus), bambu ampel (B. vulgaris Var vulgaris) dan bambu kuning (B.
vulgaris Var striata). Pengujian sifat fisis mengacu pada standar BS 373-1957
dengan modifikasi pada ukuran contoh uji. Sifat fisis bambu yang diukur meliputi
kadar air (KA), kerapatan, dan nilai susut. Karakteristik anatomi yang diamati
meliputi tipe ikatan pembuluh, dimensi parenkim, dan diameter vessel. Metode
untuk menentukan kadar holoselulosa dan alpha-selulosa mengacu pada metode
Browning. Penentuan kadar lignin dilakukan dengan mengacu pada standar
TAPPI 222 om 88 dengan modifikasi. Kadar zat ekstraktif dievaluasi berdasarkan
standar TAPPI T 207 om 88 dan TAPPI T 212 om 88 (TAPPI 1991). Kelarutan
ekstraktif dalam alkohol benzena mengacu pada standar TAPPI T 204 om-88
(TAPPI 1991). Pengukuran nilai pH dan kapasitas penyangga mengacu pada
metode Adamopoulos.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketujuh jenis bambu memiliki
kerapatan rendah hingga sedang. Bambu andong dan bambu tali memiliki
kerapatan tertinggi sehingga akan lebih sulit mengalami fibrilasi. Hasil
pengamatan mikroskopis pada tujuh jenis bambu menunjukkan bahwa bambu
andong, bambu tali, bambu sembilang, dan bambu ampel memiliki tipe ikatan
pembuluh III. Sementara itu, bambu hitam, bambu betung, dan bambu kuning
memiliki tipe ikatan IV. Diameter vessel tujuh jenis bambu berkisar antara 142.9-
280.4 μm. Diameter vessel terbesar dididapatkan pada bambu andong. Diameter,
panjang, dan lebar parenkim tujuh jenis bambu masing-masing berkisar antara
35.5-61.1 μm, 80.6-203.1 μm, dan 30.9-48.4 μm. Bambu sembilang memiliki
diameter parenkim terbesar tetapi memiliki panjang yang paling kecil. Bambu
ampel memiliki kadar holoselulosa tertinggi, namun memiliki kadar alphaselulosa
paling rendah. Sementara itu kadar alpha-selulosa tertinggi terdapat pada
bambu hitam. Bambu sembilang memiliki kadar lignin tertinggi, sementara itu
bambu tali memiliki kadar lignin paling rendah. Secara umum, bambu ampel
memiliki kadar zat ekstraktif yang paling tinggi. Secara umum, bambu memiliki
pH cenderung asam. | id |