Teknik pembuatan daging tiruan dengan unsur tempe sebagai sumber protein
View/ Open
Date
2001Author
Irawan, Yudi Safri
Rachman, Ansori
Isnijah, Siti
Metadata
Show full item recordAbstract
Tempe merupakan makanan khas Indonesia yang mempunyai keistimewaan ditinjau dari aspek gizi, kesehatan dan ekonomi. Makanan yang mendapat julukan the World Miracles ini mulai populer di beberapa negara maju seperti Jepang, Amerika, Belanda dan Inggris sebagai makanan sehat. Kondisi ini memberikan prospek yang cerah bagi perkembangan industri tempe tetapi menjadi tantangan pula untuk terus mengkaji tempe dalam rangka meningkatkan kualitasnya.
Rasa pahit adalah salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap produk pangan. Pada pemanfaatan protein kedelai termasuk untuk tempe, adanya rasa pahit menjadi suatu hambatan sehingga perlu dilakukan penelitian tentang komponen penyebab rasa pahit pada tempe. Tujuan penelitian Ini adalah untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi komponen penyebab rasa pahit pada tempe kedelai
Tahapan penelitian ini meliputi pembuatan laru murni R. oryzae dan laru murni R. oligosporus MS-5, pembuatan tempe dengan kombinasi jenis kedelai (kedelai lokal varietes Willies dan kedelai Amerika), jenis laru (laru mumi R. oryzae, laru murni R. oligosporus MS-5, laru pasar) serta waktu fermentasi (24, 36 dan 48 jam). Dari pembuatan tempe ini ditemukan kombinasi jenis kedelal, jenis laru dan waktu fermentasi yang dapat menghasilkan tempe yang kompak dengan miselium merata. Selain itu, dilakukan juga seleksi serta pelatihan panelis untuk memperoleh panelis terlatih.
Tahap selanjutnya adalah uji sensori terhadap rasa pahit pada tempe segar, tempe kukus dan tempe goreng oleh panelis terlatih, Tempe yang mempunyai intensitas rasa pahit paling kuat diekstrak pada suhu kamar menggunakan pelarut etanol 95%, etil asetat dan heksana. Selanjutnya, hasil ekstrak diuji rasa pahitnya oleh panelis terlatih setelah residu pelarutnya dihilangkan dengan hembusan gas N₂ dan dianalisis menggunakan GC. Fraksinasi dilakukan pada ekstrak yang paling pahit dengan ekstraksi bertingkat menggunakan pelarut heksana dan campuran metanol-kloroform (1:1, v/v). Residu pelarut dihilangkan dengan hembusan gas No kemudian residunya dianalisis menggunakan Gas Chromatography (GC). Fraksi fraksi yang diperoleh diuji rasa pahitnya oleh panelis terlatih kemudian fraksi yang paling pahit diidentifikasi menggunakan Gas Chromatography-Mass Spectrometer (GC-MS). Identifikasi hanya dilakukan terhadap asam lemak sehingga sebelum diidentifikasi, sampel diderivatisasi melalui proses metilasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembuatan tempe menggunakan kedelai lokal dan kedelai Amerika dengan laru murni R. oryzae, laru murni R. oligosporus MS-5 maupun laru pasar dapat menghasilkan tempe yang kompak dengan miselium putih merata pada fermentasi 36 jam. Uji rasa pahit oleh panelis terlatih menunjukkan bahwa pada semua jenis tempe, ekstrak dan fraksi yang diuji, ditemukan rasa pahit meskipun dengan intensitas yang berbeda. Rasa pahit yang paling kuat terdapat pada tempe dari kedelai lokal dengan laru murni R. aligosporus
MS-5 yang diolah dengan cara pengukusan, ekstrak yang diperoleh dengan pelarut etanol 95% dan fraksi II yang merupakan residu fraksi metanol-kloroform (1:1, v/v).
Hasil analisis komposisi asam lemak menggunakan GC-MS menunjukkan bahwa dari fraksi II dapat teridentifikasi 9 senyawa asam lemak yaitu heptanoic acid, tetradecanoic acid, 9-hexadecenoic acid, hexadecenoic acid, heptadecanoic acid, 9,12-octadecadienoic acid, octadecanoic acid, 9-octadecenoic acid dan eicosanoic acid. Asam lemak yang diduga berkontribusi terhadap rasa pahit pada tempe kedelai adalah 9-octadecenoic acid (asam oleat) dan 9, 12-octadecadiencic acid (asam linoleat). Asam lemak berhidroksi yang semula juga diduga berkontribusi terhadap rasa pahit pada tempe ternyata tidak terdeteksi pada
fraksi II ini.