Pengaruh Pemanasan Gelombang Mikro Dua Tahap Pada Hidrolisis Asam Empulur Sagu untuk Produksi Bioetanol.
Abstract
Pemanfaatan tanaman berpati seperti sagu untuk produksi bioetanol merupakan suatu cara yang dapat dilakukan untuk mencari solusi terhadap menipisnya bahan bakar fosil. Pati yang merupakan komponen utama pada empulur sagu harus dikonversi menjadi gula fermentasi (fermentable sugar) sebelum digunakan dalam pembuatan etanol. Namun, pengolahan tanaman sagu untuk mendapatkan pati harus melewati tahapan ekstraksi dan pengeringan pati sehingga memerlukan air dan energi yang sangat besar. Oleh karena itu, bagian sagu yang digunakan dalam pembuatan fermentable sugar pada penelitian ini adalah empulur sagu yang terdiri dari pati dan serat. Manfaat lain dari penggunaan empulur sagu adalah mengurangi pembentukan limbah dan mendapatkan rendemen gula yang lebih tinggi karena serat dalam empulur sagu seperti selulosa dan hemiselulosa juga dapat dikonversi menjadi gula sederhana.
Empulur sagu merupakan substrat heterogen, sehingga perlu perlakuan untuk menurunkan kristalinitas serat dan melarutkan pati, misalnya dengan proses hidrolisis. Hidrolisis dapat dilakukan secara enzimatis, kimiawi dan kombinasi keduanya. Hidrolisis secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan asam kuat berkonsentrasi rendah (encer). Perlakuan hidrolisis secara asam menghasilkan fermentable sugar dengan tingkat keasaman yang tinggi. Tingginya tingkat keasaman pada fermentable sugar dapat menghambat pertumbuhan mikroba perombak gula sehingga berpotensi untuk mengembangkan sistem produksi bioetanol yang tidak memerlukan tahapan sterilisasi. Dengan demikian, proses hidrolisis secara asam empulur sagu dapat menekan energi dan biaya pada proses pembuatan etanol.
Pemanasan pati dan serat dapat mempercepat proses hidrolisis, salah satunya adalah dengan menggunakan pemanasan gelombang mikro. Hidrolisis asam dengan pemanasan gelombang mikro dapat memecah polimer pati dan serat sekaligus hanya dalam waktu beberapa menit, sehingga dinilai lebih efisien. Pada penelitian ini hidrolisis asam dilakukan terhadap suspensi empulur sagu 10% (b/b) dengan menggunakan asam sulfat (H2SO4) konsentrasi 0.3 M dan 0.5 M pada pemanasan gelombang mikro dua tahap. Pemanasan gelombang mikro tahap 1 menggunakan power level (PL) 30% dengan perlakuan waktu pemanasan 1 menit, 2 menit dan 3 menit, sedangkan pemanasan tahap 2 menggunakan PL 70% selama 3 menit. Adanya perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap membuat pati dan serat lebih banyak terhidrolisis dibandingkan hanya menggunakan pemanasan satu tahap (kontrol: PL 70% selama 3 menit). Hal ini disebabkan karena penggunaan pemanasan tahap 1 (PL 30%) dapat membuat pati tergelatinisasi dan serat menjadi amorf sehingga memudahkan kerja asam dalam menghirolisis pati dan serat pada tingkat pemanasan yang lebih tinggi. Sebagai pembanding perlakuan pemanasan, dilakukan juga hidrolisis terhadap suspensi empulur sagu dengan konsentrasi asam yang sama menggunakan otoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit.
Berdasarkan hasil penelitian, semakin tinggi konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis menggunakan gelombang mikro pada tahap 1 (PL 30%), maka pembentukan total gula dan gula pereduksi semakin tinggi, namun jika waktu hidrolisis semakin diperpanjang menyebabkan produk terdegradasi lebih lanjut sehingga terbentuk senyawa inhibitor yang tidak diinginkan seperti hidroksimetilfurfural (HMF) dan furfural yang semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari jumlah HMF terbesar adalah pada perlakuan otoklaf (65.64 mg/l) karena waktu hidrolisis cukup lama (15 menit), sedangkan perlakuan gelombang mikro dengan waktu hidrolisis relatif singkat (3-6 menit) hanya menghasilkan HMF sekitar 0.28-1.88 mg/l.
Dari perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap terhadap empulur sagu, perlakuan yang menghasilkan fermentable sugar dengan karakteristik terbaik dilihat dari jumlah total gula, gula pereduksi, nilai DE dan DP adalah hidrolisis empulur sagu pada konsentrasi asam 0.5 M dengan pemanasan tahap 1 (PL 30%) selama 2 menit yang dilanjutkan dengan PL 70% selama 3 menit. Akan tetapi, perlakuan terbaik ini belum memberikan hasil yang maksimum bila dibandingkan dengan perlakuan otoklaf karena masih mengandung oligosakarida dengan DP 2.16, sedangkan pemanasan otoklaf menyebabkan proses hidrolisis terjadi lebih sempurna dengan nilai DP mencapai 1 (monosakarida). Besarnya ukuran partikel (35 mesh) dan tingginya kandungan lignin empulur sagu diduga menjadi penyebab tidak terjadinya proses hidrolisis secara sempurna.
Fermentable sugar dengan karakteristik terbaik selanjutnya difermentasi dengan menggunakan khamir unggul untuk menghasilkan bioetanol. Khamir yang dipakai untuk fermentasi adalah Issatchenkia orientalis karena memiliki toleransi terhadap pH rendah. Namun, untuk melihat pengaruh pH pada pertumbuhan dan kemampuan I. orientalis dalam memproduksi etanol, maka dilakukan variasi pH substrat menjadi pH 3, 4 dan 5. Sebagai kontrol digunakan substrat dari glukosa teknis pH 5 dan sebagai pembanding substrat dari perlakuan otoklaf pH 5. Berdasarkan hasil fermentasi, peningkatan pH menyebabkan tingkat pertumbuhan khamir lebih baik sehingga kadar etanol yang dihasilkan semakin tinggi. Namun, kadar etanol tertinggi dari proses fermentasi oleh I. orientalis pada substrat perlakuan gelombang mikro (2.816 g/l pada pH 5) jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan substrat perlakuan otoklaf (14.525 g/l) karena gula yang terkandung pada substrat perlakuan otoklaf sudah berbentuk monosakarida (glukosa). Hal ini memperlihatkan I. orientalis hanya mampu mengkonsumsi glukosa untuk pertumbuhan sel dan produksi etanol.