Pola Konsumsi Olahan Sagu dan Kontribusinya Terhadap Asupan Karbohidrat di Indonesia
Date
2022Author
Tampubolon, Jhon Christian
Indrasti, Dias
Giriwono, Puspo Edi
Metadata
Show full item recordAbstract
Sagu berpotensi dijadikan pangan alternatif sumber karbohidrat dalam
diversifikasi pangan karena kandungan karbohidratnya yang lebih tinggi daripada
beras. Konsumsi beras yang semakin meningkat setiap tahunnya, namun hasil
produksinya yang semakin menurun, maka diperlukan diversifikasi pangan untuk
mengurangi ketergantungan terhadap beras, dengan contoh pangannya ialah sagu.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola konsumsi sagu dan kontribusinya
terhadap asupan karbohidrat di Indonesia. Teknik pengumpulan data yang
digunakan ialah survei dengan metode Semi Quantitative Food Frequency
Questionnaire (SQ-FFQ). Survei disebarkan di seluruh provinsi di Indonesia.
Papeda merupakan olahan sagu yang paling banyak dikonsumsi sebagai
makanan pokok dan selingan, dengan rata-rata konsumsi masing-masing sebesar
3,20 g/kapita/hari dan 2,09 g/kapita/hari. Provinsi yang memiliki rata-rata konsumsi
sagu tertinggi ialah Papua Barat, Papua, dan Maluku dengan rata-rata konsumsi
masing-masing sebesar 66,94 g/kapita/hari, 37,61 g/kapita/hari, dan 26,79
g/kapita/hari. Hal ini berbeda dengan data produksi nasional sagu, dimana yang
tertinggi ialah Riau, dikarenakan sagu di Riau diekspor ke daerah maupun negara
lain sehingga konsumsinya masih lebih kecil. Rata-rata konsumsi sagu sebagai
maknan pokok dan selingan masing-masing ialah sebesar 5,02 g/kapita/hari dan
4,21 g/kapita/hari. Hal ini menandakan bahwa sagu lebih banyak dikonsumsi
sebagai makanan pokok. Kontribusi karbohidrat sagu secara keseluruhan ialah
sebesar 2,40%. Kontribusi karbohidrat sagu di provinsi Papua Barat, Papua, dan
Maluku ialah masing-masing sebesar 17,45%; 9,80%; dan 6,98%. Hasil tersebut
didapatkan dengan memakai acuan angka kecukupan karbohidrat sebesar 325
g/kapita/hari dan jumlah karbohidrat sagu per 100 g yang sebesar 84,7 g. Sago has the potential to be used as an alternative source of carbohydrates
in food diversification because of its higher carbohydrate content than rice.
Consumption of rice is increasing every year, but production is decreasing, so food
diversification is needed to reduce dependence on rice, with an example of food
being sago. This study aims to analyze sago consumption patterns and their
contribution to carbohydrate intake in Indonesia. The data collection technique
used was a survey using the Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire (SQFFQ) method. The survey was distributed in all provinces in Indonesia.
Papeda is the most widely consumed processed sago as a staple food and as
a snack, with an average consumption of 3.20 g/capita/day and 2.09 g/capita/day,
respectively. Provinces with the highest average consumption of sago are West
Papua, Papua, and Maluku with an average consumption of 66.94 g/capita/day,
37.61 g/capita/day, and 26.79 g/capita/day, respectively. This is different from data
on national sago production, where the highest is Riau, because sago in Riau is
exported to other regions and countries so consumption is still smaller. The average
consumption of sago as a staple food and a snack is 5.02 g/capita/day and 4.21
g/capita/day, respectively. This indicates that more sago is consumed as a staple
food. The overall contribution of sago carbohydrates is 2.40%. The contribution of
sago carbohydrates in the provinces of West Papua, Papua and Maluku is 17.45%
respectively; 9.80%; and 6.98%. These results were obtained using the
carbohydrate adequacy ratio of 325 g/capita/day and the amount of sago
carbohydrates per 100 g of 84.7 g