Please use this identifier to cite or link to this item:
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/171526| Title: | Komunikasi Resiliensi dan Pemanfaatan Modal Sosial Dalam Transformasi Adaptif Anak Pasca Perceraian Orang Tua |
| Other Titles: | Communication of Resilience and Utilization of Social Capital in Children's Adaptive Transformation After Parental Divorce |
| Authors: | Sumardjo Sarwoprasodjo, Sarwititi Herawati, Tin Mardiansyah, Iis |
| Issue Date: | 2025 |
| Publisher: | IPB University |
| Abstract: | Fenomena perceraian di Indonesia yang mencapai 516.334 kasus pada tahun 2022 telah menciptakan disrupsi multidimensional terhadap jutaan anak, terutama pada aspek psikososial, relasional, dan perkembangan identitas. Dalam konteks ini, penelitian ini bertujuan memahami bagaimana resiliensi dikonstruksi dan bagaimana modal sosial dimobilisasi oleh anak yang mengalami perceraian orang tua, melalui perspektif Communication Theory of Resilience (CTR) dan modal sosial dalam paradigma fenomenologi hermeneutik Heideggerian. Sebanyak 15 partisipan dewasa berusia 20 hingga 37 tahun yang mengalami perceraian orang tua pada masa kanak-kanak atau remaja diwawancarai secara mendalam. Narasi pengalaman hidup mereka dianalisis menggunakan Interpretative Phenomenological Analysis untuk menyingkap makna, strategi komunikasi, dan proses transformasi adaptif yang berlangsung secara dinamis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perceraian bukanlah peristiwa tunggal, melainkan slow-motion disaster yang terdiri atas tiga fase temporal: trauma antisipatif sebelum perceraian, keruntuhan sistemik saat perceraian berlangsung, dan viktimisasi sosial setelahnya. Pengalaman tersebut menghasilkan luka emosional yang berlapis, tetapi juga membuka ruang bagi munculnya strategi adaptif yang kompleks. Seluruh partisipan mengaktifkan kelima proses CTR secara simultan, crafting normalcy, affirming identity anchors, maintaining communication networks, putting alternative logics to work, dan emotional labor. Temuan ini menegaskan bahwa resiliensi bukanlah kapasitas individual yang statis, melainkan mekanisme komunikasi survival yang diaktifkan secara terintegrasi dan berkesinambungan. Resiliensi dipahami bukan sebagai bounce back, melainkan bounce forward menuju identitas dan pemaknaan hidup yang baru. Penelitian juga mengungkap adanya rekonfigurasi mendalam pada arsitektur modal sosial pasca perceraian. Bonding social capital dari keluarga inti cenderung melemah akibat fragmentasi relasi, tetapi bridging social capital melalui teman sebaya, komunitas, dan chosen family justru mengambil posisi dominan sebagai sumber dukungan emosional dan instrumental. Sementara itu, linking social capital berupa akses terhadap guru, konselor, beasiswa, atau mentor terbukti menjadi sumber daya yang paling sulit diakses, menunjukkan adanya kesenjangan struktural dalam dukungan kelembagaan bagi anak dari keluarga bercerai. Pola pemanfaatan modal sosial ini menjadi fondasi penting dalam proses transformasi adaptif yang memungkinkan anak menavigasi krisis, membangun makna baru, dan menemukan arah hidup yang lebih stabil. Secara teoretis, penelitian ini memberikan empat kontribusi utama: (1) memperluas CTR dengan menunjukkan bahwa seluruh proses resiliensi bekerja sebagai sistem terintegrasi dalam konteks adversitas ekstrem; (2) memperkenalkan konsep Paradoxical Resilience yang menggambarkan koeksistensi kekuatan dan kerentanan; (3) menegaskan peran nilai-nilai budaya Indonesia seperti bakti, kehormatan keluarga, dan spiritualitas dalam membentuk jalur resiliensi; dan (4) mengonseptualisasikan perceraian sebagai krisis temporal yang berlapis. Secara praktis, penelitian ini menekankan pentingnya penguatan dukungan institusional di sekolah dan komunitas, reformasi layanan konseling berbasis strength-based approach, peningkatan akses mentorship serta program beasiswa, dan kampanye destigmatisasi anak dari keluarga bercerai. Penelitian ini menegaskan bahwa resiliensi ekstrem bukanlah ideal, melainkan konsekuensi dari lemahnya sistem dukungan sosial. Dengan demikian, upaya pembangunan harus diarahkan pada pembentukan ekosistem yang memungkinkan setiap anak tumbuh tanpa harus menjadi terlalu kuat untuk sekadar bertahan hidup. |
| URI: | http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/171526 |
| Appears in Collections: | DT - Human Ecology |
Files in This Item:
| File | Description | Size | Format | |
|---|---|---|---|---|
| cover_I3602222029_d054aff8599d42efb11bcc125d650a35.pdf | Cover | 6.25 MB | Adobe PDF | View/Open |
| fulltext_I3602222029_237aefd045054ec38f1cf8bb59bf0d73.pdf Restricted Access | Fulltext | 5.16 MB | Adobe PDF | View/Open |
| lampiran_I3602222029_a48ec105679c4c20accce3e50427b684.pdf Restricted Access | Lampiran | 6.35 MB | Adobe PDF | View/Open |
Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.