Tipologi dan Strategi Resolusi Konflik Pengelolaan Hutan dalam Gapoktan Batawawi di KPH Maria Donggomassa

Abstract

Kabupaten dan Kota Bima termasuk kawasan dengan ancaman konflik pengelolaan lahan di bawah naungan KPH Maria Donggomassa. Wilayah ini menghadapi berbagai tekanan yang dapat memperbesar risiko konflik. Pertama, lebih dari 51% penduduk usia produktif di Bima bekerja pada sektor agroforestri, seperti pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan. Ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya alam menjadikan masyarakat sangat rentan terhadap perubahan kebijakan dan akses terhadap lahan. Kedua, tingginya tingkat kemiskinan di wilayah ini memperbesar potensi konflik sosial, terutama apabila masyarakat merasa tidak dilibatkan secara adil dalam proses pengambilan keputusan. Ketiga, kerusakan ekologis yang parah, yang tercermin dari tingginya luas lahan kritis, semakin memperbesar tekanan terhadap daya dukung lingkungan dan memicu ketegangan dalam pengelolaan serta distribusi sumber daya alam. Oleh karena itu, eksplorasi tipologi konflik dan strategi resolusi konflik pengelolaan hutan di dalam Gapoktan Batawawi sebagai salah satu kawasan strategis perhutanan sosial di Kabupaten dan Kota Bima perlu dilakukan. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder yang relevan dalam Gapoktan Batawawi. Dalam hal ini, profil kelembagaan dan sejarah kelompok Gapoktan Batawawi diurai secara komprehensif melalui analisis jejaring sosial. Hasil analisis jejaring sosial menunjukkan bahwa Gapoktan Batawawi tergolong lemah secara kolektif. Hal ini turut didukung oleh hasil observasi dan hasil wawancara dalam kelompok. Kerapuhan kondisi sosial ini merupakan salah satu indikasi awal kerawanan konflik dalam kawasan ini. Temuan penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa tipologi konflik yang terjadi dalam Gapoktan Batawawi, yaitu berupa konflik horizontal dan konflik vertikal dari pihak-pihak yang terkait langsung dengan sistem perhutanan sosial dalam kawasan tersebut. Satu konflik yang berpotensi berkembang dalam jangka panjang adalah konflik perebutan hak pengelolaan di antara pemegang izin hak pengelolaan perhutanan sosial. Berdasarkan tinjauan model GMCR, konflik ini terjadi antara pengurus dan anggota Gapoktan Batawawi, dimana pihak pengurus mempunyai kekuatan struktural yang lebih tinggi dibandingkan pihak yang berstatus sebagai anggota Gapoktan Batawawi. KPH Maria Donggomassa sebagai pihak yang berperan menengahi konflik tersebut perlu mengarahkan konflik tersebut ke arah kondisi keseimbangan konflik berdasarkan model GMCR. Hasil analisis menunjukkan bahwa KPH Maria Donggomassa bisa mengarahkan pihak yang berkonflik untuk mengikuti skema kemitraan kehutanan berdasarkan Permen KLHK Nomor 09 Tahun 2021 mengenai Perhutanan Sosial.

Bima is included in the areas at risk of land management conflicts under the auspices of KPH Maria Donggomassa. This region faces various pressures increasing the risk of conflict. First, more than 51% of Bima’s productive-age population works in the agroforestry sector, such as agriculture, forestry, hunting, and fisheries. This high dependence on natural resources makes the community highly vulnerable to changes in policy and land access. Second, the high poverty rate in this region increases the potential for social conflict, especially if the community feels unfairly involved in decision-making processes. Third, severe ecological damage, reflected in the large area of critical land, further increases pressure on environmental carrying capacity and triggers tensions in the management and distribution of natural resources. Therefore, an exploration of conflict typologies and conflict resolution strategies for forest management within the Batawawi Farmers' Group (Gapoktan Batawawi), a strategic social forestry area in Bima Regency and City, is necessary. This research was conducted by collecting relevant primary and secondary data within Gapoktan Batawawi. In this regard, the institutional profile and history of Gapoktan Batawawi were comprehensively analyzed through social network analysis. The results of the social network analysis indicated that Gapoktan Batawawi was classified as weak collectively. This finding was further supported by observations and group interviews. The fragility of this social condition was an early indication of the vulnerability to conflict in this area. Research findings indicated several conflict types within Gapoktan Batawawi, including horizontal and vertical conflicts between parties directly involved in the social forestry system within the area. One conflict with the potential to develop over the long term was the conflict over management rights between social forestry management permit holders. Based on the GMCR model, this conflict occurred between the administrator and member of Gapoktan Batawawi, where the administrator had greater structural power than the member. KPH Maria Donggomassa, as the mediator in this conflict, needed to direct it toward a state of conflict balance based on the GMCR model. The analysis showed that KPH Maria Donggomassa could direct the conflicting parties to participate in the forestry partnership scheme based on Ministry of Environment and Forestry Regulation Number 09 of 2021 concerning Social Forestry.