Proses Hidrolisis Asam dan Enzim pada Polisakarida Eucheuma Cottonii untuk Bahan Baku Bioetanol

Abstract

Pemerintah Indonesia berencana menurunkan konsumsi bahan bakar minyak dari 51,66% pada tahun 2006 menjadi 20% pada tahun 2025 sehingga dapat mendorong memaksimalkan energi terbarukan salah satunya adalah Bioenergi sebesar 5% (Legowo et al. 2007). Bioenergi adalah energi yang di peroleh dari proses berbahan baku nabati, salah satunya bioetanol. Rumput laut tersusun dari bahan utama karbohidrat, pemanfaatannya sampai saat ini adalah untuk zat aditif pada industri makanan, minuman dan industri farmasi. Akan tetapi potensi luas lahan yang cukup besar khusus untuk budidaya rumput laut seluas 769.452 ha (Master Plan Program Pengembangan Kawasan Budidaya Laut-Ditjen Perikanan Budidaya, 2006) diharapkan tidak mengganggu sektor pangan dan industri farmasi. Berdasarkan data publikasi dari Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011, produksi perikanan budidaya nasional pada 2010 mencapai 6.277.923 ton. Kontribusi produksi rumput laut menyumbang 62,22 persen dari total produksi perikanan budidaya atau hampir sekitar 2/3 dari total produksi perikanan budidaya. Produksi rumput laut Indonesia selalu mengalami pertumbuhan setiap tahun, pada 2006 sebesar 1,37 juta ton dan pada 2010 mencapai 3,9 juta ton. Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri menargetkan pencapaian produksi rumput laut sebesar 10 juta ton pada 2014. Oleh karena itu bioetanol rumput laut di prediksi akan memegang peran besar dalam upaya mencapai tujuan diversifikasi energi. Salah satu kandidat yang menonjol adalah rumput laut E. cottonii. Bahan baku yang melimpah, terjangkau dan berkelanjutan merupakan jantung dari perkembangan industri bioenergi saat ini. Rumput laut memiliki beberapa keuntungan dibandingkan sumber bahan baku lainnya, antara lain : (a) memiliki produktifitas yang tinggi dan waktu panen yang relativ tidak lama, (b) pemanfaatan lahan tidak bersaing dengan lahan permukiman, industri atau lahan produktif pertanian dan perkebunan, (c) menghasilkan bioetanol dan produk samping yang bernilai sebagai pupuk organik. (d) kandungan lignin yang rendah. (e) kandungan gula yang tinggi (Meinita, et al. 2012) (f) dapat mendaur ulang emisi CO2 (Roesijadi, et al. 2010).

The Indonesian government plans to reduce fossil fuel consumption from 51.66% in 2006 to 20% in 2025 to maximize the use of renewable energy one of them is bioenergy by 5% (Legowo et al. 2007). Bioenergy is energy obtained from vegetable raw material process, one of which is bioethanol. Seaweed is a carbohydrate-based materials, their utilization at presents is for additives in food, beverage and pharmaceutical industries. However, the potential area specifically for seaweed cultivation was 769,452 ha (Master Plan Marineculture Area Development Programme-Directorate General of Aquaculture, 2006) to be expected not to interfere with the food sector and the pharmaceutical industry. Based on the published data from the Directorate General of Aquaculture Ministry of Maritime Affairs andFisheries in 2011, national aquaculture production in 2010 reached 6,277,923 tons. Contribution of seaweed production accounted for 62.22 percent of the total aquaculture production or nearly 2/3 of total aquaculture production. Indonesian seaweed production increased every year, in 2006 amounted to 1.37 million tons and reached 3.9 million tons in 2010. Meanwhile, the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries of Republic Indonesia was targeting the achievement of seaweed production up to 10 million tons in 2014. The role of seaweed bioethanol in the future is expected to have a major role in achieving the goal of energy diversification. One prominent candidate is E. cottonii. Raw materials are abundant, affordable and sustainable is the heart of the development of the bio energy industry today. Seaweed has several advantages among other sources of raw materials of bio ethanol production which are: (a) having a high productivity and relative have a short time for harvesting, (b) the land use does not compete with residence, industrial or productive agricultural land and plantations, (c ) producing bioethanol and by-products as a valuable organic fertilizer. (d) a low lignin content. (e) the high sugar content (Meinita, et al. 2012) (f) the ability in recycling CO2 emissions (Roesijadi, et al. 2010).