Penurunan Rasa Pahit Biji Kelor (Moringa oleifera) serta Potensinya sebagai Pangan Pencegah Hiperkolesterolemia

Abstract

Hiperkolesterolemia adalah suatu keadaan tingginya konsentrasi kolesterol dalam darah. Hiperkolesterolemia dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit degeneratif seperti aterosklerosis yang merupakan penyebab terjadinya penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner dan stroke. Sepertiga dari kematian akibat penyakit kardiovaskular terjadi sebelum usia 75 tahun, yang kurang dari harapan hidup rata-rata yaitu 78,8 tahun. Dengan demikian, pencegahan penyakit kardiovaskular adalah prioritas kesehatan masyarakat. Di Indonesia sendiri, penderita penyakit jantung koroner diperkirakan sebesar 883.447 orang. Tanaman kelor (Moringa oleifera) merupakan tanaman yang banyak tersebar di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Tanaman kelor tahan terhadap kekeringan, tumbuh cepat, serta salah satu pohon yang paling berguna karena nutrisi dan sifat farmakologisnya sehingga disebut sebagai ‘miracle tree’. Kelor juga dipromosikan oleh WHO sebagai alternatif sumber makanan untuk mengobati kekurangan gizi. Selain memiliki kandungan nutrisi yang baik, biji kelor memiliki kandungan senyawa fitokimia, serat, asam lemak tidak jenuh, dan fitosterol yang dapat menurunkan kadar kolesterol. Akan tetapi beberapa senyawa fitokimia yang terdapat pada biji kelor menyebabkan rasa biji kelor menjadi pahit. Oleh karena itu perlu dilakukan proses pangan yang dapat menurunkan rasa pahit tersebut sehingga dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Penurunan rasa pahit dilakukan dengan perlakuan perendaman dalam air atau NaCl 3,5%, diikuti dengan perebusan (20 menit; 40 menit; 80 menit). Nilai penurunan rasa pahit tersebut kemudian diuji menggunakan uji sensori QDA dengan menggunakan panelis terlatih. Pengaruh perlakuan biji kelor terpilih hasil uji sensori dengan komponen pencegah hiperkolesterolemia kemudian diketahui dengan analisis kapasitas pengikatan kolesterol in vitro, kadar lemak, komposisi asam lemak, kadar serat pangan (TDF, SDF, IDF), serta kandungan fitosterol. Perlakuan perendaman biji kelor kupas dalam air maupun garam NaCl 3,5% selama 24 jam diikuti dengan perebusan terbukti dapat menurunkan intensitas rasa pahit pada biji kelor secara signifikan, hingga menyisakan sedikit rasa pahit yang masih terdeteksi oleh panelis terlatih. Perlakuan ini meningkatkan kadar total lemak dengan komposisi asam lemak oleat pada minyak masih tetap tinggi yaitu 71%. Kandungan fitosterol, salah satu inhibitor penyerapan kolestrol, dari tepung biji kelor perlakuan sebesar 27,47 – 28,68 mg/100 g bk jauh lebih tinggi dibandingkan tepung kontrol(14,64 mg/100 g bk). Kandungan serat pangan biji kelor (TDF, IDF, SDF) secara umum tidak mengalami perbedaan setelah perlakuan. Biji kelor yang diberi perlakuan perendaman biji kelor dalam air selama 24 jam diikuti dengan perebusan selama 80 menit memiliki kapasitas pengikatan kolesterol paling baik yaitu sebesar 25,54% dan tidak berbeda nyata dengan tepung kontrol sehingga dapat digunakan dalam pengembangan pangan pencegah hiperkolesterolemia.

Hypercholesterolemia is a condition characterized by elevated cholesterol levels in the blood. Hypercholesterolemia can increase the risk of degenerative diseases like atherosclerosis, which is the underlying cause of cardiovascular diseases like coronary heart disease and stroke. One-third of cardiovascular disease-related deaths occur before age 75, which is less than the average life expectancy of 78,8 years. Therefore, cardiovascular disease prevention is a public health priority. There are an estimated 883.447 coronary heart disease sufferers in Indonesia alone. Moringa (Moringa oleifera) is a plant that is widely distributed, including in Indonesia. Due to their nutritional and pharmacological properties, Moringa plants are considered one of the most useful trees, hence the name 'miracle tree'. The World Health Organization promotes moringa as an alternative food source for treating malnutrition. Furthermore, moringa seeds contain phytochemical compounds, fiber, unsaturated fatty acids, and phytosterols that can reduce cholesterol levels. However, some of the phytochemical compounds present in Moringa seeds are responsible for their bitter flavor. Therefore, it is necessary to find a way to reduce the bitterness of the food so that it can be consumed. Various soaking treatments (soaking media: water; NaCl 3,5% ;) and boiling were used to reduce the bitterness of the seeds (20 minutes; 40 minutes; 80 minutes). The reduction in bitterness was evaluated using the QDA sensory test and trained panelists. The effect of bitter taste reduction treatment on antihypercholesterolemia components was determined by analyzing in vitro cholesterol binding capacity, fat content, fatty acid composition, dietary fiber content (TDF, SDF, IDF), and phytosterol content of selected moringa seeds, as determined by sensory evaluations. It has been demonstrated that soaking peeled moringa seeds in water or 3,5% NaCl for 24 hours, followed by boiling, significantly reduces the intensity of the bitter taste in moringa seeds, leaving only a faint bitter taste that can still be detected by trained panelists. This treatment increased the total fat content, with the proportion of oleic fatty acids of moringa oil remaining high at 71%. The content of phytosterols, one of the inhibitors of cholesterol absorption, in treated moringa seed flour ranged from 27,47 to 28,68 mg/100 g db, which was significantly higher than the content in untreated flour (14,64 mg/100 g db). The amount of dietary fiber in moringa seeds (TDF, IDF, SDF) did not change significantly after treatment. Moringa seeds treated with a 24-hour soaking in water followed by an 80-minute boil had the highest cholesterol-binding capacity (25,54%) and did not significantly different from control, allowing them to be used in the development of foods to prevent hypercholesterolemia.